VAN DER TUUK, RAJA PAKAR BAHASA-BAHASA NUSANTARA


Mashuri *

“Herman Neubronner van der Tuuk tumbuh di Surabaya, di tengah-tengah masyarakat berbahasa Belanda, Melayu, Jawa, dan Madura. Meskipun Herman pasti duduk di Europese Lagere School (Sekolah Dasar Eropa), mungkin saat remajanya dia telah belajar bahasa Melayu, bahasa Jawa, serta sedikit bahasa Madura. Barangkali dia bahkan telah belajar bahasa Portugis dari ibunya sebab banyak orang (Indo-)Eropa yang dilahirkan dan dibesarkan di Malaka saling berbicara dalam semacam bahasa Portugis Kreol”.

Begitulah ungkapan Kees Groeneboer, akademisi Belanda yang pernah bergiat di Lembaga Bahasa Belanda, dalam tulisannya tentang linguis eksentrik Herman Neubronner van der Tuuk, dalam “Dari Radja Toek sampai Goesti Dertik; Herman Neubronner van der Tuuk sebagai Linguis Lapangan di Indonesia pada Abad Kesembilan Belas”. Versi lain tulisan Groeneboer ini pernah menjadi bahan kuliah di Universitas Malaya, Kualalumpur, pada 2 September 2002. Dari tulisan tersebut diketahui sumbangan van der Tuuk menjulang dalam dunia bahasa-bahasa Nusantara dan dianggap sebagai linguis legendaris.

Namun, sangat sedikit yang tahu bahwa perintis ilmu bahasa perbandingan, pembuat kamus bahasa Nusantara, pengumpul dan penyelamat naskah kuno tersebut dimakamkan di Pemakaman Belanda di Peneleh, Surabaya. Kompleks makam itu dibangun pada tahun 1814 oleh pemerintah kolonial Belanda dengan nama resmi De Begraafplaats Peneleh Soerabaia atau Makam Peneleh Surabaya. Memang, ia seorang pengelana, tetapi pada akhir hayatnya, ia kembali ke sebuah kota, ketika ia mulai tumbuh sebagaimana cuplikan ungkapan Groeneboer di awal tulisan. Sayangnya banyak orang yang mengelirukan identitasnya, sehingga keberadaannya di Makam Belanda Peneleh sering dianggap sebagai makam tentara Indo-China. Apalagi, bila melihat kondisi makamnya sekarang, yang bisa membuat siapa saja mengelus dada. Kusam dan kumuh.

Herman Neubronner van der Tuuk lahir di Malaka, 24 Oktober 1824 dan meninggal dunia di Surabaya, 17 Agustus 1894 pada umur 69 tahun. Bagaimana van der Tuuk sampai meninggal dan dimakamkan di Surabaya? Pada bulan April 1825, setelah Malaka ditukar oleh pemerintah Hindia-Belanda dengan koloni Inggris Bengkulu sebagai dampak dari Perjanjian 1824, keluarga van der Tuuk menuju Surabaya. Pada tahun 1826 ayah van der Tuuk diangkat menjadi anggota Raad van Justitie (Kejaksaan Agung) dan pada 1836 menjadi presiden lembaga itu. Di Surabaya pada tahun 1827 lahir adik van der Tuuk, Johanna Catharina Henriëtte, diikuti oleh Gerhard Jan pada tahun 1830, dan akhirnya pada tahun 1832 Louise Antoinette. Dia memiliki darah campuran Jerman, Belanda, dan Jawa.

Van der Tuuk tumbuh di Surabaya, di tengah-tengah masyarakat yang menggunakan beragam bahasa. Selain Belanda, Melayu, Jawa, dan Madura, dia telah belajar bahasa Portugis dari ibunya sebab banyak orang Indo-Eropa yang dilahirkan dan dibesarkan di Malaka saling berbicara dalam semacam bahasa Portugis Kreol. Tak heran, ketika ia belajar ke Universitas Groningen, di Fakultas Hukum, ia lebih dekat dengan mahasiswa teologi dan bahasa-bahasa Klasik. Bahkan, ia tidak menyelesaikan studi hukumnya.

“Menurut Doorenbos (1894), sesudah tahun 1843 van der Tuuk hampir-hampir tidak mengikuti kuliah hukum lagi, tetapi dia sibuk dengan studi ilmu bahasa, bahasa Arab, Persia, Portugis, dan Inggris. Dia memuja Shakespeare, yang saat itu belum sangat terkenal, dan menyibukkan diri dengan Bahasa Anglo-Sakson. Dari Doorenbos dia mulai belajar dasar-dasar bahasa Arab. Dia juga mengikuti kuliah bahasa Arab dan Persia dari guru besar bahasa-bahasa Semit, Th.W.J. Juynboll (1802-1861). Jelaslah bahwa van der Tuuk begitu terinspirasi oleh Juynboll sehingga ketika Juynboll pada tahun 1845 diangkat menjadi guru besar di Leiden, dia mengikutinya. Pada awal tahun 1846, van der Tuuk tinggal di Leiden,” jelas Groeneboer.

Pada tahun 1846, van der Tuuk telah mengadakan studi yang mendalam mengenai bahasa Melayu, tetapi mungkin juga sudah sejak masa studinya di Groningen. Pengetahuannya sudah sedemikian rupa sehingga dia pada musim gugur 1846 dapat mempublikasikan suatu telaah mengenai naskah Melayu karya J.J. de Hollander, dosen bahasa Melayu di Breda. Dengan publikasi itu, van der Tuuk, yang saat itu berusia dua puluh dua tahun, memperlihatkan bahwa dia sepenuhnya mengenal semua terbitan berbahasa Melayu. Jelas bahwa dia belum terlalu percaya diri karena telaah tersebut dipublikasikan anonim, ditandai dengan S.B., yang menurut Groeneboer berarti Surabaya.

Setelah itu, karya van der Tuuk terus bermunculan. Bahkan bisa disebut dia adalah peletak dasar linguistik modern beberapa bahasa di Nusantara, seperti bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Toba, Lampung, Kawi (Jawa Kuna), dan Bali. Sejak remaja, ia memang kenal sebagai orang yang sangat berbakat dalam mempelajari bahasa. Banyak kamus telah disusunnya, seperti kamus bahasa Melayu, bahasa Jawa, bahasa Toba, bahasa Lampung, dan bahasa Bali. Sebagai tambahan, sebuah buku Tata Bahasa Toba juga berhasil disusunnya untuk kali pertama. Motivasi yang terutama sebenarnya adalah dalam rangka misi penyebarluasan Bibel ke dalam bahasa-bahasa itu, meskipun van der Tuuk diketahui kurang menyukai kekristenan. Meskipun demikian, ia lah orang yang pertama kali menerjemahkan Bibel ke dalam bahasa Melayu. Magnum opus-nya adalah kamus tribahasa Kawi-Bali-Belanda, yang baru terbit sepeninggalnya.

Dalam “Mirror of the Indies”, Rob Nieuwehuys mengutip komentar seorang pendeta Bali (pedanda) yang sangat berpengaruh ketika itu, “Hanya ada satu orang di seluruh penjuru Bali yang tahu dan paham bahasa Bali, orang itu adalah Gusti Dertik (Mr. van der Tuuk).” Di kalangan masyarakat Buleleng, ia memang dikenal sebagai Gusti Dertik. Di kalangan koleganya, ia termasuk orang yang kontroversial, namun sekaligus dicintai. Bahkan, tercatat ia ikut menyebarkan semangat perlawanan terhadap Belanda. Sahdan, ketika dia di Bali, dia termasuk orang yang menentang cara berpakaian ala Belanda, penentang segala hal tabu dalam berbahasa, moralitas, masyarakat dan ilmu pengetahuan.

“Untuk jasanya di bidang bahasa dan sastra Hindia-Belanda pada tanggal 17 Juni 1861 van der Tuuk, tiga puluh tujuh tahun, menerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Utrecht. Dia dicalonkan oleh H.C. Millies, yang pada tahun 1856 diangkat menjadi guru besar Bahasa-Bahasa Semit. Sebelumnya van der Tuuk sudah dicalonkan oleh dosen bahasanya di Leiden, Juynboll, dan Rutgers untuk mendapatkan gelar doktor kehormatan, tetapi karena Roorda berkeberatan maka promosi di Leiden itu tidak dilanjutkan. Apa keberatan Roorda terhadap Van der Tuuk tidaklah diketahui. Yang jelas adalah bahwa Van der Tuuk dan Roorda pada saat itu sudah menjadi musuh bebuyutan,” jelas Groeneboer.

Sketsa hidup van der Tuuk memang penuh warna. Di Belanda, ia pernah bekerja untuk Nederlandsch Bijbelgenootschap (Persekutuan Alkitab Belanda) pada 1847—1873. Kepergian dan masa keberadaannya di kawasan Batak berlangsung antara 1849—1857. Periode saat dia di Belanda menyelesaikan karyanya mengenai Bahasa Batak tahun 1857—1868. Adapun tahun-tahun ketika dia bekerja untuk Persekutuan Alkitab di Bali pada 1870—1873. Tahun-tahun waktu dia selanjutnya meneruskan pekerjaannya di Bali untuk pemerintah Hindia-Belanda 1873—1894, yakni menyusun proyek ambisius kamus Bali-Jawa Kuno-Belanda.

Pada masa-masa menjelang akhir hidupnya, van der Tuuk hidup menyendiri di Singaraja, Bali dan menjadi bahan gunjingan kenalan-kenalannya. Namun demikian, dia sering dimintai bantuan oleh orang-orang Bali, yang menyebutnya Tuan Dertik. Sebelum meninggal, Agustus 1888, ia sempat menulis surat kepada seorang temannya. Ia mengaku setengah gila karena terdorong ambisinya untuk membuat kamus Kawi-Bali, “berserakan bentukan kata-kata, cukup untuk membuatmu gila; aku setengah gila karena sengsara.”

Dia terserang disentri parah di Bali, lalu dibawa ke Surabaya. Di RS Militer Surabaya, malam hari tanggal 16 Agustus 1894, tepat dini hari 17 Agustus 1894, dia menghembuskan napas terakhir. Sekitar seratus surat dan ribuan catatannya tergeletak di sebuah rumah bambu di Singaraja, Bali. Jenazahnya dikebumikan di pemakaman Peneleh, Surabaya. Memang, sulit untuk mencari makamnya. Namun, ketika saya blusukan beberapa waktu lalu, saya menemukan makamnya berada di Blok B.103. Meski kondisinya tak terurus dan kusam, tetapi prasasti makamnya yang terbuat dari marmar putih masih bisa dibaca dengan jelas.

Koleksi van der Tuuk terkait naskah kuno dan lontar Jawa Kuno dan Bali menjadi penyumbang sangat besar di Universitas Leiden dan di Perpustakaan Kirtya di Bali. Bahkan, ada yang menyebutnya terbesar. Tak heran ada seorang jurnalis Bali yang menyebut van der Tuuk sebagai penyelamat Bali. Adapun lebih jauh ihwal sumbangannya pada dunia bahasa-bahasa Nusantara, Groeneboer menegaskan, meski banyak ahli yang melihatnya eksentrik dan kontraversial, karya linguistik van der Tuuk dulu dan sekarang pun akan selalu dinilai begitu luar biasa. Pada masa hidupnya dia telah dihargai sebagai satu-satunya otoritas di bidang bahasa-bahasa Nusantara. Bahkan, Coolsma (1883) menyebutnya sebagai ‘raja pakar bahasa‘.


Makam van der Tuuk di Pemakaman Belanda Paneleh Surabaya

On Siwalanpanji, 2021

*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *