CERITA, PEMBIMBING DISERTASI, DAN KEBEKUAN NILAI JAWA

Djoko Saryono *

/1/
Bertahun-tahun kemudian baru kusadari, mengapa pesan, nasihat, nilai, dan ajaran moral atau malah kultural dan keagamaan disampaikan melalui cerita. Kekuatan cerita atau kisah begitu luar biasa dalam diri manusia dibandingkan dengan angka-angka statistik dan infografis indah menawan. Dibandingkan angka-angka statistik dan infografis indah menawan, sesungguhnya cerita (storytelling, narrative) yang baik lebih efektif memperkuat ingatan seseorang atau sekelompok orang. Di samping itu, juga lebih efektif menghunjamkan dan menyebarkan pengetahuan-pengetahuan tersembunyi (tacit knowledge).

Temuan kajian Jennifer Aaker dari Stanford University menunjukkan, sebanyak 63 persen mahasiswa yang ditelitinya mampu mengingat cerita dengan baik; dan hanya 5 persen mahasiswa yang mampu mengingat angka-angka statistik. Pelbagai kajian perihal ingatan manusia juga menginformasikan bahwasanya fakta kritis, data cermat, dan analisis kuantitatif lebih mengunggah diri manusia, bahkan menggerakkan manusia bilamana disampaikan dengan cerita. “Manusia berpikir dan bermenung dalam cerita ketimbang dalam fakta, angka atau persamaan…,”cetus Yuval Noah Harari saat membuka buku 21 Lessons for the 21st Century (2018).

Tak mengherankan, terbilang sejak beribu tahun lampau, manusia digelari sebagai homo fabulans, sang makhluk bercerita. Cerita menjadi medium paling utama mengalihkan, menyebarkan, melesakkan (menghunjamkan), dan/atau mewariskan tradisi, kebudayaan atau peradaban di pelbagai bentangan dunia. Pesan-pesan, nilai-nilai, dan norma-norma moral sosial dan keagamaan diekspresikan dalam cerita. Tiap-tiap puak, suku, dan/atau bangsa di semua penjuru dunia merangkai dan mengungkai cerita untuk mewariskan dan menyebarkan pesan, nilai, dan ajaran budaya dan agama masing-masing. Demikian juga orang tua di mana pun cenderung mewariskan dan meneruskan nilai, ajaran, dan norma moral sosial kepada generasi berikutnya. Menurut kesan saya, orang tua dan pemimpin gemar bercerita kepada generasi berikutnya sebagai ahli waris. Orang tua dan pemimpin yang piawai bercerita bisa meneluh kita. Cerita mereka memiliki daya teluh luar biasa sehingga kita yang mendengarkan bisa terhanyut dalam keindahan cerita.

Berbilang lebih dua puluh lima tahun lalu, ketika kuliah doktoral, aku mendapat seorang pembimbing disertasi yang sangat gemar bercerita. Namanya Prof. Dr. Zuchridin Suryawinata, yang berpostur tegap jenjang dan tutur katanya lembut, jernih, dan tertata rapi. Setiap aku menghadap untuk bimbingan, dia lebih banyak bercerita daripada memberikan saran dan masukan akademis, misalnya menyarankan konsep atau teori tertentu. Ceritanya selalu mengalir lancar bagai arus air menuju muara – yang disesuaikan dengan konteks dan topik disertasi yang hendak aku tulis. Berhubung aku menulis disertasi tentang konstruksi nilai budaya Jawa dalam fiksi Indonesia, tak heran dia senantiasa bercerita yang bermuatan pesan, makna, dan nilai budaya Jawa. Biasanya ceritanya berandar pada pengalaman, penerimaan, dan pemikirannya tentang budaya Jawa. Salah satu ceritanya kuungkapkan berikut ini.

/2/
Kata sahibul hikayat, tersebutlah seorang anak bangsa — anak bumiputra. Dulu, beberapa tahun lalu, pada waktu masih kecil, dia mengetahui dan melihat sebuah tempat yang khusus bagi orang Belanda. Di tempat itu ada sebuah tulisan. Dalam bahasa Belanda, dengan jelas tulisan itu berbunyi: Inlanders en honden verboden! – kaum bumiputra dilarang masuk! Anak-anak bumiputra pun kesal, jengkel, dan marah. Akan tetapi, mereka tidak berdaya dan berani memberontak.

Selama itu anak-anak bumiputra – terutama anak-anak Jawa dan wong cilik Jawa – dididik untuk selalu pasrah, sumarah, nrimo, nrimo ing pandum (serba pasrah, menerima, menerima bagian yang diberikan kepadanya) agar tidak memberontak. Pada zaman penjajahan Belanda, pendidikan nilai-nilai ini sangat intensif diberikan kepada orang Jawa. Timbullah pertanyaan di sini: apakah nilai-nilai ini memang sengaja dieksploatasi oleh Belanda supaya anak-anak bumiputra tidak memberontak kepadanya?; agar orang kecil, wong cilik, selalu pasrah dan menerima nasibnya begitu saja, tidak pernah berpikir dan berani memberontak kepada Belanda? Apakah nilai-nilai Jawa ini memang dibuat atau direkayasa sedemikian rupa oleh Belanda sehingga kaum bumiputra tidak perlu dan tidak bisa berpikir dan berbuat apa-apa untuk mengubah keberadaan, keadaan, dan kedudukannya?

Begitu intensifnya rekayasa nilai pasrah, sumarah, nrimo, nrimo ing pandum, dan sejenisnya oleh Belanda sehingga nilai-nilai tersebut melekat dan menyatu ke dalam nilai dan falsafah Jawa yang kemudian juga bergabung dengan keselarasan (harmoni) manusia Jawa. Perlahan-lahan, tapi pasti, hal tersebut kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari nilai budaya Jawa. Sekarang kita selalu menyatakan bahwa nilai-nilai tersebut merupakan nilai-nilai Jawa yang sangat penting. Hal ini menyiratkan betapa manusia Jawa telah terjajah sedemikian lama, selama beratus-ratus tahun, oleh ideologi kolonial.

Pada waktu sudah dewasa, anak bangsa yang disebut pada paragraf awal di atas pergi ke negeri Belanda – negeri yang pernah menjajah bangsanya sekian lama. Di Belanda, dia melihat dan menyaksikan betapa sangat megah dan canggih teknologi Belanda. Di antaranya dia menyaksikan kota di bawah laut, menyaksikan bandar udara yang begitu megah dan canggih yang berada tujuh meter di bawah permukaan laut, menyaksikan bendungan kukuh dan besar yang panjangnya 42 km, membendung Noord zee. Si anak bangsa benar-benar terpukau dan kagum oleh kecanggihan teknologi dan organisasi yang telah berhasil dikembangkan Belanda tersebut.

Dia merenung, melihat kembali ke masa lalu, dan kemudian mempertanyakan: Dari manakah kekayaan yang sedemikian besar dan dana yang sedemikian melimpah didapatkan sehingga Belanda mampu membuat kota di bawah laut? Dari manakah kekayaan dan dana tersebut kalau bukan dari Indonesia? Tidakkah hal ini merupakan akibat para raja, pangeran, dan priyayi Jawa yang dibodohkan oleh Belanda dengan cara di-kepenak-an dan di-lela-lela atau ditimang-timang dan dinibobokan dengan kehidupan yang sangat mewah, berupa pemberian harta, tahta, wanita, dan perlindungan keku-asaan? Penimang-penimangan dan peninaboboan tersebut telah menjadikan para raja, pangeran, dan priyayi takut terhadap adanya perubahan, takut kehilangan kekuasaan dan kemewahan sosial ekonomis! Mereka sudah telanjur merasa enak dan aman hidup di bawah duli tuanku Belanda. Secara lugas atau terselubung, hal ini menjadikan mereka budak kekuasaan kolonialis.

Oleh karena itu, si anak bangsa tidak yakin bahwa orang Jawa memang pasrah, sumarah, nrimo, nrimo ing pandum, wani ngalah, dan sejenisnya semenjak dahulu. Hal ini hasil rekayasa kolonialis Belanda. Dalam Nusa Jawa: Silang Budaya (Jilid I), Denys Lombard menyebut rekayasa nilai tersebut sebagai bagian dari teknik pembinaan masyarakat oleh kolonial Belanda agar masyarakat selalu patuh dan tunduk kepadanya. Selaras dengan hal ini, dalam State and Statecraft in Old Java, Soemarsaid Moertono menyebut rekayasa nilai tersebut sebagai perlengkapan magis-kultural untuk mempertahankan dan melang-gengkan kekuasaan. Jika memang demikian, berarti rekayasa nilai tersebut telah menjadi bagian dari ideologi kolonial. Ideologi kolonial seperti inilah yang telah menyebabkan tertanamnya secara kuat feodalisme ke dalam budaya Jawa.

Umar Kayam dalam novel Para Priyayi sudah memberikan gambaran bagaimana sebaiknya priyayi sejati. Menurut Kayam, priyayi sejati itu di samping memikirkan atasan atau penguasa juga mengabdi kepada rakyat kecil secara total. Melalui tokoh Sastrodarsono, dikatakan oleh Kayam bahwa warna semangat priyayi sejati “bukanlah terutama warna halus, luwes, elegan, dari filsafat rumit…”. Warna semangat priyayi sejati adalah “pengabdian kepada masyarakat banyak… warna semangat kerakyatan.” Ada dua hal yang perlu dicatat dari pernyataan ini. Pertama, dalam pandangan Kayam, nilai kepriyayian yang sesungguhnya adalah pengabdian kepada rakyat. Kedua, bila selama ini nilai kepriyayian lebih diartikan pengabdian total kepada penguasa atau kekuasaan, misalnya terlihat dalam pemberian upeti, asok glondong pangareng-areng, hal ini merupakan bentuk feodalisme yang sudah ditanamkan oleh kolonial Belanda.

Pertanyaannya, tidakkah kita khawatir, sekarang tumbuh neofeodalisme? Kekhawatiran ini cukup beralasan. Sekarang banyak pembesar dan pejabat lupa bahwa tugas mereka memberdayakan dan mengangkat wong cilik, mandat mereka melayani dan menyejahterakan orang kebanyakan atau orang kecil. Elite kekuasaan sekarang banyak yang lupa diri bahwa mereka banyak dikelilingi oleh orang-orang yang memang sengaja ikut arus utama (mainstream) yang hanya bertujuan untuk tetap menegakkan dan melanggengkan kekuasaan – demi keuntungan lingkaran kekuasaan mereka sendiri. Dalam keadaan seperti ini, tak ada lagi satunya kata dengan perbuatan. Kata dan perbuatan semakin terpisah jauh, tak dapat saling bertemu. Di samping itu, banyak pembesar dan pejabat yang bersikap seperti raja, priyayi, dan birokrat Jawa masa lalu. Mereka minta dimanjakan dengan bentuk keistimewaan dan kemewahan sosial ekonomi. Sebagaimana diketahui, pada zaman Belanda, inlander, orang kebanyakan cukup hidup dengan 1 benggol (2,5 sen) per hari, sedang priyayi hidup dengan 7,5 guldern per hari. Bandingkanlah, betapa lebardan besarnya kesenjangan ekonomi ini! Bukankah kesenjangan seperti ini juga terjadi sekarang –orang kecil kebanyakan kalang kabut mencari rezeki dan sesuap nasi, sementara para pembesar dan pejabat korupsi tidak kenal batas henti?

Apakah hal tersebut ada hubungannya dengan sistem huruf Jawa? Dalam sistem huruf Jawa, bila /ka/ di-taling, di-tarung, di-pepet, dan di-cerek tetap berbunyi, tetapi bila /ka/ di-pangku menjadi mati. Tidakkah para kolonialis Belanda belajar dari simbol-simbol ini untuk menguasai orang Jawa? Tidakkah para kolonialis Belanda sengaja me-mangku atau memanjakan orang Jawa khususnya priyayi dengan berbagai keistimewaan dan kemewahan sosial ekonomi agar mereka mati? Tidakkah pembesar dan pejabat sekarang serupa priyayi masa lalu yang dicekoki keistimewaan dan kemewahan sosial ekonomi oleh para bandar mereka?

/3/
Mendengarkan cerita pembimbing yang mengalir lancar dan tertata rapi, aku takzim menyimaknya. Tak mengeluarkan kata, apalagi menyela dan kemudian bertanya. Aku bagaikan masuk labirin sihir cerita. Setelah sekian lama bercerita dan aku terhanyut-kesima tanpa kata, pembimbingku menghentikan cerita, lantas bertanya: Kira-kira cerita saya sudah dimasukkan apa belum dalam naskah? Kalau belum, coba dimasukkan ya; dan kalau sudah tolong dijabarkan lebih detail dengan bukti pendukung yang cermat. Setelah itu, dia biasa berujar, “Ya sudah, terus lanjutkan.”Aku mengangguk, lalu pamit pulang.

Begitulah pembimbingku membimbing lebih banyak dengan bercerita.

Selamat berlebaran sahabat semua. Hidup ini begitu indah – Indonesia kita pun sangat indah. Sayang kalau dilewatkan tanpa baku sapa, silaturahmi, dan cerita.
***


*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Leave a Reply

Bahasa »