MELONGOK DIRI, MENEMU ILAHI

Djoko Saryono *

Teks adalah tenunan kisah dan berita-pikiran yang galibnya dijaga akal dan atau hati. Pada dasarnya ia otonom dan mandiri. Kendati tak terpisahkan, namun ia tak selalu dan melulu bergantung pada penulisnya, apalagi orang lain – pembaca awam ataupun orang ahli. Beda dengan tuturan atau omongan yang hidup dalam dunia kegaduhan banyak orang, teks lebih memilih hidup dalam dunia kebeningan, ketenangan, keheningan, kekhusyukan, bahkan kesenyapan yang bermakna. Justru di situlah teks dapat terus hidup berbiak, melintasi waktu dan zaman. Seolah memiliki kaki, ia bergerak dan berderap hingga jauh sekali, menyapa sekian banyak anak manusia sebagai subjek pembaca, penafsir dan atau penggubah.

Tak heran, teks-teks yang agung, indah, bermakna dan berguna bagi kehidupan manusia senantiasa awet, bahkan langgeng, melintasi zaman dan gugusan kebudayaan dan peradaban manusia. Teks-teks yang bernas, elok, dan memukau selalu dicari, dibaca, ditafsirkan, digali, dan didulang oleh banyak orang. Begitulah, setiap teks yang mencahayakan keagungan, keindahan, kecemerlangan, dan kegemilangan akan selalu digali, ditafsir, dirujuk, dan diteladani oleh banyak orang dari pelbagai lintasan zaman dan budaya berbeda.

Tentulah semua sepakat bahwa semua itu telah dibuktikan oleh teks al-Asmaul al-Husna atau kerap dieja Asmaul Husna. Teks Asmaul Husna adalah sebuah kisah dan berita-pikiran menakjubkan tentang nama-nama Allah yang agung, indah, cemerlang, dan gemilang yang perlu diketahui dan dijaga oleh setiap muslim. Jelaslah ia bukan pulungan atau comotan gagasan atau pikiran orang lain; jelas pula ia juga bukan jahitan gagasan atau pikiran orang lain. Ia adalah sebuah teks ilahiah atau religius yang orisinal dan otentik yang tiada duanya yang berhulu sekaligus bermuara pada kitab suci. Tak heran, teks tersebut mampu bergerak dan berderap melintasi masa-masa yang mengagungkannya dan menyepelekannya; menyapa sekian banyak generasi manusia yang berhasrat mengkhatamkan kisah dan berita-pikiran di dalamnya, sekian banyak anak manusia yang justru hendak melupakan, bahkan meninggalkannya. Ini semua lantaran horison harapan tiap anak manusia berbeda-beda dalam melihat teks Asmaul Husna.

Tak ayal, dalam sepanjang keberadaannya hingga sekarang, teks Asmaul Husna dirujuk dan dipedomani sekaligus dilupakan dan ditinggalkan oleh anak manusia; diawetkan dan diabadikan sekaligus dicoba dilupakan dan ditinggalkan. Tapi, kita tahu, teks adalah dunia keberaksaraan, yang tak gampang dilupakan, juga tak gampang dihilangkan atau dilenyapkan oleh siapapun makhluk. Telah terbukti, dunia keberaksaraan menjadi tempat berkubu dan bertiwikrama teks. Dengan gamblang sekarang kita melihat teks Asmaul Husna selalu bertiwikrama: kian lama kian membesar, menjelma beribu-ribu, bahkan berjuta teks. Ini membuktikan ia benar-benar awet, bahkan langgeng.

Kenapa sebuah teks dapat awet atau langgeng? Sebuah teks dapat awet atau langgeng lantaran keterbukaan teks itu. Ketertutupan sebuah teks hanya mengakibatkan kematian teks. Kita tahu, teks Asmaul Husna adalah sebuah teks terbuka, bukan tertutup. Sebagai teks terbuka, ia selalu siap dan bebas dibaca dan ditafsirkan, bahkan dirujuk dan dipedomani untuk berbagai-bagai kepentingan atau maksud, mulai penyembuhan sampai dengan puitik-estetik. Hingga sekarang, sudah barang tentu, telah ada beribu-ribu hasil pembacaan dan penafsiran teks Asmaul Husna.

Kumpulan puisi religius Tadjudin Nur bertajuk Senandung Sanubari ini adalah sebuah hasil pembacaan dan penafsiran terhadap bentuk, isi, dan fungsi teks Asmaul Husna. Kumpulan puisi religius Tadjudin Nur ini telah menjadikan teks Asmaul Husna sebagai rujukan dan pedoman tunggal puitika/estetika: teks Asmaul Husna adalah lautan yang diciduk puitika/estetikanya oleh Tadjudin untuk menghasilkan puisi-puisi dalam teks Senandung Sanubari. Kumpulan puisi ini tak lain adalah teks penerimaan puitis/estetis atas teks Asmaul Husna. Teks penerimaan puitis/estetis ini bisa menjadi energi kehidupan baru bagi teks Asmaul Husna pada satu sisi dan pada sisi lain teks Asmaul Husna menjadi energi utama kehidupan teks Senandung Sanubari. Begitulah, teks Asmaul Husna dan teks Senandung Sanubari senantiasa bersama menari-nari dalam permainan teks.

Kenapa teks Asmaul Husna awet atau langgeng dalam permainan teks yang terus-menerus dan malah melahirkan teks penerimaan yang demikian banyak, di antaranya teks Senandung Sanubari karya Tadjudin Nur ini? Pertama-tama, sebab ia teks religius atau ilahiah yang menyelamatkan kelangsungan hidup anak manusia yang membeberkan bukan saja keagungan dan keindahan nama-nama Allah, tetapi juga memberitahukan janji keselamatan manusia bilamana menjaga Asmaul Husna. Maka, tak heran, manusia senantiasa lebur atau sirna dalam pukau Asmaul Husna.

Tadjudin Nur adalah anak manusia yang juga lebur atau sirna dalam pukau Asmaul Husna yang kemudian menggerakkan pikir, hati, dan tangannya untuk menggubah teks Senandung Sanubari. Kedua, sebagai teks ilahiah yang bersumbu keagungan dan keindahan nama Allah, ia sungguh menyegarkan, menggugah, memberdayakan, dan bahkan mentransformasikan diri pembaca. Tadjudin Nur adalah anak manusia yang menikmati kesegaran, ketergugahan, keberdayaan, dan daya transformasi Asmaul Husna sehingga mampu menorehkan puisi-puisi dalam Senandung Sanubari. Selain itu, ketiga, teks Asmaul Husna ditenun dengan halus dan mulus sekaligus penuh-kuasa sehingga mampu memancarkan keagungan dan keindahan asma-asma Allah: tenunan kata-kata, kalimat-kalimat, dan gaya-gaya tutur yang hidup-bertenaga, cerdas-berdaya, dan membimbing pembaca untuk berdiam berlama-lama dalam teks.

Kuasa kata-kata, kalimat-kalimat, dan gaya-gaya tutur yang ada di dalam teks Asmaul Husna demikian otentik, orisinal, ekspresif, dan inspiratif sehingga mampu menggiring atau menggerakkan orang untuk bertindak menyusuri jalan-jalan kebenaran, keagungan, dan keindahan hingga tiba di palung diri. Tadjudin Nur pun mendulang hal tersebut secara total sehingga teks Senandung Sanubari gubahannya ini memanifestasikan puitika/estetika Asmaul Husna. Tegasnya, kumpulan puisi Senandung Sanubari ini berwajah puitika/estetika Asmaul Husna.

Puitika/estetika Asmaul Husna adalah puitika/estetika ketauhidan yang bersendikan ketuhanan dan kemanusiaan. Tak heran, puisi-puisi Tadjudin dalam teks Senandung Sanubari ini menyeru kepada pembacanya untuk melakukan perjalanan spiritual atau religius dan melakukan penelusuran jalan-jalan ketuhanan dengan cara membatinkan dan menghayatkan keagungan dan keindahan asma-asma Allah dalam diri manusia sekaligus mewujudkan dan menyosokkan tindakan-tindakan kemanusiaan dalam hidup bersama manusia.

Perjalanan ketuhanan beserta tindakan kemanusiaan tersebut harus dilakukan dengan penuh kelapangan, keriangan, dan kebahagiaan, bukan keterpaksaan, kesenduan, dan kesedihan. Sebagaimana tersurat jelas dalam judul kumpulan puisi ini, yaitu Senandung Sanubari, perjalanan ketuhanan beserta tindakan kemanusiaan itu perlu dilakukan dengan bersenandung yang keluar dari hati sanubari setiap anak manusia: senandung keagungan dan keindahan asma Allah, bukan teriakan-teriakan dan serapah-serapah kasar disertai acungan senjata dan kata-kata berbisa. Perjalanan ketuhanan beserta tindakan kemanusiaan itu akan berujung atau berakhir pada diri sanubari manusia sebab Tuhan ada di dalam diri sanubari manusia yang telah sempurna kemanusiaannya, bukan taman-taman indah buatan manusia, gedung-gedung megah ciptaan manusia, dan permainan menawan karya manusia.

Itulah sebabnya, demikian pesan pokok teks Senandung Sanubari, manusia yang telah menemukan Tuhan atau menemu ilahi adalah manusia yang telah mampu menghuni palung sanubarinya sendiri dan dari situ selalu mampu menyenandungkan keagungan dan keindahan asma Allah. Di sinilah kita menemukan sebuah tesis: manusia yang telah mampu melongok diri sanubari sendiri niscaya menemu ilahi; manusia senantiasa bersama Tuhan dan Tuhan senantiasa bersama manusia. Dalam istilah spiritualitas Jawa, inilah wujud warongka manjing curiga (curiga manjing warongka), bungkus bertemu isi (isi bertemu bungkus).

Teks Senandung Sanubari tampaknya hendak mewartakan kepada pembaca bahwa puitika/estetika Asmaul Husna bersumbu pada keselarasan, kebersatuan, dan keleburan, bukan bersumbu pada kekacauan, keretakan, dan keberjarakan antara teks spiritual/religius dan manusia yang mencerap dan mencecap pengalaman puitik/estetik. Dengan keselarasan, kebersatuan dan keleburan hati sanubari dengan objek puitik/estetik berupa keagungan dan keindahan ilahi, maka hati sanubari pembaca dengan tulus selalu mampu menyenandungkan keagungan dan keindahan ilahi.

Hati sanubari Tadjudin Nur juga telah selaras, bersatu, dan lebur dengan Asmaul Husna sehingga dia mampu menyenandungkan keagungan dan keindahan ilahi dalam teks puisi Senandung Sanubari ini. Tak mungkin Tadjudin Nur mampu menggubah teks Senandung Sanubari bilamana hati sanubarinya masih kacau, retak, dan berjarak dengan Asmaul Husna. Jadi, puitika/estetika Asmaul Husna yang dipraktikkan Tadjudin Nur merupakan sebuah puitika/estetika holistik (utuh) antara subjek dan objek puitik/estetik.

Sejalan dengan itu, dapat dikatakan, teks Senandung Sanubari adalah candi puitika/estetika Asmaul Husna yang ditawarkan oleh Tadjudin Nur kepada dunia puisi Indonesia. Tentu saja, harus diakui bahwa dalam dunia puisi Indonesia, Tadjudin Nur dengan teks Senandung Sanubari hanyalah salah seorang, bukan satu-satunya orang, yang memperkaya taman puitika/estetika Asmaul Husna. Sebelumnya telah ada berbagai penyair dengan teks Asmaul Husna masing-masing yang mengisi dan memenuhi taman puitika/estetika Asmaul Husna, di antaranya Emha Ainun Najib dengan 99 Nama Tuhanku.

Sekalipun demikian, Tadjudin Nur dengan teks Senandung Sanubarinya telah memberi arti penting puitika/estetika Asmaul Husna dalam dunia puisi Indonesia di tengah perkembangan puisi Indonesia yang kian beragam. Oleh karena itu, selamat kepada Tadjudin Nur yang telah mengumumkan teks puisi Senandung Sanubari kepada publik sastra. Semoga Allah memberkahi, semoga pembaca dapat mencecap keagungan dan keindahan ilahi yang disenandungkan Tadjudin Nur, bahkan mandi cahaya keagungan dan keindahan ilahi. Sekian. Allah Mahaagung dan Mahaindah dan puisi selalu dicinta Allah karena mencahayakan keagungan dan keindahan. Terima kasih.
***


*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Leave a Reply

Bahasa »