Obrolan penerjemahan karya dari bahasa Prancis ke bahasa Indonesia bersama Yogas Ardiansyah (I)

Wawancara di bawah ini, diambil dari Grup Facebook Apresiasi Sastra (APSAS) Indonesia


Yogas Ardiansyah, penerjemah dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia. Belajar di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis pada Universitas Negeri Semarang, dan Prodi Ilmu Susastra Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang. Berasal dari Rembang yang kini menetap di Kudus, Jawa Tengah.
***

Nurel Javissyarqi “Sebagai pembuka salam kenal Mas Yogas Ardiansyah. ‘Prancis!’ Ah, jadi teringat satu buah puisi karya Baudelaire yang dulu sempat saya urai sepintas, dari buku Sajak-Sajak Modern Perancis Dalam Dua Bahasa, susunan Wing Kardjo, Pustaka Jaya, Cet II tahun 1975, seperti berikut:

MABUKLAH!
Charles Baudelaire

Meski selalu mabuk. Terang sudah: itulah masalah satu-satunya. Agar tidak merasakan beban ngeri Sang Waktu yang meremukkan bahu serta merundukkan tubuhmu ke bumi, mestilah kau bermabuk-mabuk terus-terusan. Tetapi dengan apa? Dengan anggur, dengan puisi, dengan kebajikan, sesuka hatimu. Tetapi mabuklah!
Dan jika sembarang waktu, di tangga istana, di rumput hijau kamalir, dalam kesepian guram kamarmu, kau tersadar dan merasakan mabukmu sudah berkurang atau menghilang, tanyakanlah pada angin, pada gelombang, pada bintang, pada burung, pada jam, pada segala yang lari, pada segala yang merintih, pada segala yang berputar, pada segala yang bernyanyi, pada segala yang bicara, tanyakan jam berapa hari, dan angin, gelombang, bintang, burung, jam bakal menjawab: “Inilah saatnya untuk mabuk! Untuk tidak menjadi budak siksaan Sang Waktu, mabuklah; bermabuk-mabuklah tanpa henti-hentinya! Dengan anggur, dengan puisi atau kebajikan, sesuka hatimu.”

Lantas melayanglah pertanyaan saya kepada sampean: 1. Sejak kapan ‘mabuk’ kata Prancis? Apakah kemabukan itu dihantarkan oleh film-film keluaran Prancis, atau buku-buku karya dari bahasa Prancis pada mulanya? Ke 2. Karya siapa dan atau hasil terjemahan siapakah yang pertama kali sampean baca, atas bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia? Sementara itu dulu, matur suwon sanget…”

Yogas Ardiansyah: “Assalamualaikum, salam kenal Mas Nurel Javissyarqi. Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadan bagi kawan2 yang menjalankannya. Kehormatan buat saya diundang dalam forum ini. Buku Puisi karya terjemahan Pak Wing Kardjo dari bahasa Prancis itu, pernah saya dapat dari kedai buku bekas Yaik nan legendaris di kompleks Pasar Johar, Semarang, pada tahun2 pertama 2000-an, sewaktu masih mahasiswa anyaran. Saya peroleh bersama ‘jodohnya’, yakni buku lawas berisi puisi karya penyair kita, seperti Subagio Sastrowardoyo, W.S. Rendra, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, bahkan Goenawan Mohamad, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, sebagai suvenir atas lawatan Presiden Suharto ke Prancis pada tahun 80-an. Ke dua buku menjadi teman saya berkenalan dengan susastra terjemahan Prancis-Indonesia dan sebaliknya. Dan membaca puisi karya Baudelaire yang sampeyan nukil, memori saya terlempar kembali ke tahun2 awal sekolah itu. Barusan saya mencari2 lagi buku Pak Wing Kardjo itu, lalu membaca lagi, dan tetap menemukan kebaruan -atas hal yang sudah saya baca belasan tahun silam-, terutama pada bagian Kata Pengantar yang beliau tulis, bahwa menerjemahkan puisi itu ibarat pekerjaan yang absurd, sebab puisi yang bagus, lanjut beliau lagi, adalah puisi yang tak bisa diterjemahkan. Sebuah pengantar puitis atas sekumpulan puisi…”

“Menjawab pertanyaan Sampeyan, Mas : 1) Saya ‘mabuk’ kata2 berbahasa Prancis, ya pada semestar awal kuliah itu, dan ‘sayangnya’ bukan dihantar oleh buku susastranya, tetapi oleh buku Grammaire dan buku saku Conjugaison, yakni dua buku tentang gramatika dan sintaksis bahasa tersebut. Betul. Sebagai pembelajar mula, saya sepenuhnya mabuk : oleh kosakatanya, oleh pelafalannya yang sengau dan ‘nyanggrok’ di langit2 tenggorokan -yang oleh sebagian orang dibilang romantis. Setelah hambatan2 teknis itu perlahan tersingkap, baru saya mulai bisa menikmati budaya dan susastranya : melalui lagu jadul Edith Piaf, film2 usang, figur2 sepakbolanya, dan menghafal nama2 penulisnya. Menghafal namanya dulu, sebab belum bisa mengerti apa arti tulisannya.”

“2) Baru pada pertengahan dan periode akhir kuliah, saya mulai tekun dan ‘ngeh’ membaca terjemahan Prancis ke Indonesia. Seingat saya, kalau tidak keliru, adalah kumpulan cerpen de Maupassant dan Antoine d’Exupery, yang berjudul Madmoiselle Fifi, terjemahan dari para mahasiswa studi Penerjemahan FIB UI, dieditori oleh Ibu Ida Sundari Husen, dan Petit Prince, saya lupa siapa penerjemahnya. Selepas itu, saya semakin suka dengan penerjemahan, ketika membaca Si Lugu, terjemahan atas L’Ingenu karya Voltaire oleh Ibu Husen. Saya benar2 menikmati kisah lucu, konyol, sekaligus tragis nan satir. Kegembiraan itu membawa saya membaca karya-karya selanjutnya, yang diterjemahkan oleh para penerjemah senior panutan saya, yakni Ibu Husen dan Pak Kardjo barusan, juga Ibu Apsanti, Pak Lesmana, Ibu almarhumah Nh. Dini dengan Sampar-nya Camus yang mahsyur, yang nama2 itulah telah membawa semacam tekad di dalam benak bahwa kelak semoga saya juga bisa menerjemahkan sendiri, pun oleh penerjemah lain yang secara kualitas tentu jauh lebih baik ketimbang saya. Maka sebetulnya, merekalah yang semestinya berkapasitas menjadi narasumber di sini. Demikian, Mas Nurel.”

Nurel Javissyarqi: “Mas Yogas Ardiansyah, setahu saya karya Voltaire yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia baru tiga buku tipis; Candide, Zadig dan L’Ingenu yang diterjemahkan Ida Sundari Husen, dan satu buku tipis mengenai Voltaire ditulis Will Durant PhD oleh penerjemah Shita Athiya. Pertanyaannya: Pernahkah sampean mendapati karya Voltaire yang lain, yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia? Sebab sejak awal mengenal ‘Suratan Takdir’ atau Zadig, saya kesemsem dengannya (Voltaire). Buku itu saya peroleh di tahun 2000-an awal di toko buku sekitar TIM, lalu seiringnya waktu saya peroleh Candide dan L’Ingene atas pemberian Pak Maman S. Mahayana sekitar tahun 2007. Terus terang saya suka pandangan2 Voltaire, dan barangkali termasuk pemacu diri ini berkarya hingga kini…”

Yogas Ardiansyah: “Ternyata Sampeyan Voltairien berat, Mas. Betul, tiga dongeng itu diterjemahkan Ibu Ida yang pada awalnya dalam rangka penyusunan disertasi, seperti yang beliau kisahkan minggu lalu saat peluncuran (ulang) buku Suratan Takdir. Namun kalau tak salah ingat, saya pernah membaca Traktat Toleransi. Sayangnya, saya lupa apakah itu terjemahan atas La Traite de la Tolerance, ataukah ulasannya. Pula, Will Durant rasanya nama yang tak asing dan mungkin ada hubungannya dengan buku Traktat Toleransi tersebut. Saya lupa2-ingat, Mas Nurel. Yang jelas, Voltaire adalah salah satu pionir sastra klasik Prancis yang pengaruhnya terbawa hingga ke generasi kontemporer. Terutama soal satirnya, humornya, juga -ini yang agak berat- soal nyinyirnya pada fanatisme perilaku beragama. Karena pengaruhnya yang luas, tak aneh jika karyanya banyak dibaca dan diterjemahkan. Dari sekian itu, barangkali ada satu-dua yang diterjemahkan ke dalam bahasa kita dan sayangnya tak terdeteksi. Itu bukan hal yang tak mungkin. Tetapi, membaca tiga dongeng yang sudah kita sebut di awal, saya rasa telah mampu memberi gambaran sebidang kecil pemikiran Voltaire. Dan sampeyan beruntung menerima buku-buku itu dari seorang budayawan ulung seperti beliau, Pak Maman S Mahayana.”

Nurel Javissyarqi: “Karya tulis Will Durant judul aslinya Voltaire and French Enlightenment, 1924, diterbitkan Portico Publishing, Surabaya, Maret 2011. Dan setelah saya lacak atas kabar dari sampean, ternyata La Traite de la Tolerance pernah diterbitkan LKis, semoga kelak saya mendapatkannya. Terima kasih sangat Mas Yogas…”

Yogas Ardiansyah: “LKiS menyebut penulisnya Voltaire, jadi itu sekaligus menjawab pertanyaan Sampeyan, bahwa selain tiga dongeng oleh Bu Ida Husen, ada tulisan Voltaire lain yang sudah dibawa menuju ke bahasa Indonesia. Tinggal ditelisik lagi, apakah diterjemah dari bahasa Prancis atau melalui perantara bahasa Inggris. Dan kalau begitu, Will Durant ini pasti pakar mengenai Voltaire. Dan kalau penerbitnya berada di Surabaya, pasti sudah pula diterjemahkan. Nah, jebul ramai, kan, Mbah Buyut Voltaire ini.”

Nurel Javissyarqi: “Ini saya sudah pesan Mas Yogas, cari harga yg murah dapat 52 ribu, sayangnya hanya ada stok -satu, sebab biasaanya kalau ada buku bagus belinya lebih dari satu, untuk jaga-jaga kalau hilang / ketlisut, atau dikasihkan ke teman… Voltaire di hadapan saya ibarat ‘nabi,’ hhhhh…”

Yogas Ardiansyah: “Wah, bonek Suroboyoan tenan, Sampeyan, Mas. Gak pakai lama langsung beli. Agar semakin greget, saya sarankan Sampeyan sekaligus membaca sejarah Prancis, terutama pada bab tahun2 di sekitar kehidupan Voltaire. Dengan begitu, Sampeyan akan sekaligus faham konteksnya. Dan jangan lupa, Voltaire tidak sendiri. Ada Jean Jacques Rousseau dan Montesquieu -dua nama yang saya kira lebih terkenal ketimbang Voltaire-, yang mereka bertiga ini berperan ngompori rakyat Prancis, sehingga berani mengobarkan revolusi. Fixed Sampeyan gak kalah sama mahasiswa Sastra Prancis.”

Nurel Javissyarqi: “Terima kasih sangat infonya Mas Yogas, ngomong2, karena saya juga jualan buku, hehe… ada toko tidak online. Jadi ingat stok buku Sejarah Kesusastraan Inggris terbitan UT ada banyak di rumah hehe… sekali lagi suwon sanget…”


***

Ida Fitri: “Apa kesulitan terberat saat menerjemahkan Hikayat Penguin?”

Yogas Ardiansyah: “Bu Ida Fitri, terima kasih banyak telah membaca Hikayat Penguin sekaligus membuat catatan atas pembacaan itu. Hikayat Penguin karya Anatole France adalah novel pertama yang saya terjemahkan, sekaligus pertama terbit. Jadi, sebagaimana pada yang serba pertama, ada semacam perasaan kuatir dan grogi. Itu salah satu hambatan yang saya alami. Selama bulan2 menulis terjemahan itu, nyaris separuh waktu saya habis dan terfokus pada kerja tersebut, meski sama sekali tak menjamin hasilnya bagus. Hambatan lain, berupa hambatan leksikal dan gramatikal, Alhamdulillah, hampir semua bisa teratasi, dengan bantuan kamus susunan Ibu Farida Soemargono dan Ibu Winarsih Arifin, berdasar kamus Le Petit Robert, yang memang menjadi senjata wajib bagi pembelajar bahasa Prancis di Indonesia. Jadi saya kira, hambatan terbesar yang saya derita adalah soal sejarah dan budaya. Soal sejarah, yakni bagaimana peristiwa sejarah yang terjadi jauh di masa lampau, yang dialami bangsa Prancis yang lumayan banyak berkelindan dalam narasi cerita : mulai era kekaisaran, pra-revolusi, sampai peta perpolitikan Prancis yang dimaktub dalam cerita. Juga pada peristiwa tertentu, misalnya Skandal Dreyfus, yang tampaknya tak begitu dikenal oleh masyarakat Indonesia, meski seorang pembelajar bahasa Prancis sekalipun. Maka riset dan pembacaan mendalam sebelum proses menerjemahkan, menjadi sebuah tahap yang teramat sangat penting. Contoh lain dalam hal budaya, yakni ketika saya yang muslim, musti bertemu dengan muatan teologi Katolik beserta istilahnya, tokoh dan terminologinya -Bu Ida pasti sudah membaca bab Sidang di Surga itu. Ini sulit buat saya. Belum lagi mengenai karya seni gerejawi, aliran2-nya, ataupun tentang Raphaelism, yang saya yakin meski seorang Katolik-pun belum tentu pernah mempelajarinya. Pada akhirnya, sekali lagi, riset dan belajar lagi, menjadi tahap yang tak boleh dan tak bisa dilewati. Untungnya semasa kuliah, sesekali selepas magrib, saya mendengar radio berisi ceramah Kristiani, setelah sebelumnya menyimak tausiyah almarhum Kiai Zainuddin MZ. Rupanya, Gusti Allah telah sejak jauh hari menuntun jalan saya. Demikian, Bu Ida.”

Ida Fitri: “Yogas Ardiansyah, haha pertama-tama, kalau masih panggil Bu, aku ngak mau baca buku terjemahan keduamu yang sudah kupesan. Macam ibu-ibu uzur saja aku. Kedua, Terima kasih sudah menerjemahkan buku bagus itu. Aku bayangin kalau ada penulis di kampungku berani menulis buku semacam itu terkait agama mayoritas di sini pastinya.”

Yogas Ardiansyah: “Jangan dong, Bu, eh, Mbak Ida. Saya ini juga silent reader-mu lho, suka membaca catatan2mu di medsos. Bangsa Prancis, singkat kata, punya luka yang amat dalam dan puuaaanjang soal keberagamaan. Sejak jauh sebelum revolusi, selama revolusi, dan makin parah setelahnya. Kalau diceritakan, wah, panjang sekali. Saking perihnya luka itu, gak tahu ya, mereka seperti biasa saja mengkritik dan mempertanyakan agama. Ya seperti di Hikayat Penguin itu-lah. Dan novel macam itu, ada banyak. Sedang kita punya sejarah berbeda, berkaitan dengan agama. Respon yang kita dapat juga jelas berbeda. Meski begitu, kita pernah punya Robohnya Surau Kami (A.A. Navis), yang bikin rame dizamannya, dan gaungnya masih tetap relevan hingga saat ini.”

Ida Fitri: “Ada temanku di Aceh sedang menulis Menikahi Atheis, aku sangat berharap hasilnya bagus. Kami di Aceh mungkin punya pengalaman cukup aneh juga, misalnya kami mengaku paling religius, tapi sampah berserakan di halaman surau. Kami mengaku sangat religius, korupsi diurutan pertama, kami mengaku sangat religius sekaligus jadi preman yang tak segan menggunting celana anak gadis orang di jalanan. Hal-hal semacam itu kalau berhasil diolok-olok cukup bagus.”

Sigit Susanto: “Mbak Ida di Acheh, menarik sekali ya bisa bertemu di sini dengan teman penyuka sastra dari berbagai belahan Nusantara. Aku kenal dua teman di Acheh, Azhari penulis ‘Perempuan Pala,’ dan Raisa. Pada tahun 2008, aku bertemu siswi SMA N I Aceh yang bernama Raisa di Swiss, sebagai siswi pertukaran pelajar oleh AFS, kata dia, di Aceh banyak keturunan Turki, kebetulan Orhan Pamuk akan datang ke Swiss, maka kuajak Raisa, dan dia tak hanya dapat tanda tangannya, tapi juga foto bersama Pamuk, aku yang memotretnya. Sekitar 5 tahun silam ketika Apsas bedah buku di Jogja, tak kusangka Raisa menemuiku dan dia study di UGM, setelah itu gak tahu lagi. Kisah dengan Pamuk itu kutulis di sini: https://www.kawaca.com/2017/10/orhan-pamuk-dari-dekat-sigit-susanto.html (Orhan Pamuk dari Dekat – Sigit Susanto)”

Ida Fitri: “Sigit Susanto, apa karena kedekatan masa lalu, saat ini sebagian orang kampung saya jadi pemuja Erdogan, Mas. Dan apa-apa yang berbau Turki laku keras semacam aplikasi BiP.”

Yogas Ardiansyah: “Maafkan, Mbak Ida, saya nyaris lupa menanggapi komentarmu yang substansial sekali. Soal perilaku beragama yang acap kali bertolak belakang dengan agama, alaaah, tidak melulu Aceh, Mbak, lainnya, buanyaaaak. Saking banyaknya, kadang kita juga musti meraba wajah sendiri. Tapi mempertanyakan religiusitas berresiko dianggap sama mempertanyakan religion, Mbak. Maksudnya belum tentu nyampe, ributnya yang sudah pasti. Bagi orang cemen seperti saya, kadang malas saja, kayak nyari perkara. Haha. Iya gak, sih? Lagi pula, kita juga musti sadar soal kapasitas dan otoritas diri. Tapi sebetulnya, bersuara melalui fiksi tetap asyik dilakukan sekaligus diperlukan.”

Ida Fitri: “Yogas Ardiansyah, harusnya Hikayat Penguin bisa lahir di sini.”

Yogas Ardiansyah: “Kan memang dia lahir di sini. Yang lahir di Prancis itu L’lle des Pengouins. Hehe maaf-maaf. Tetap jadi pesan Balzac, kan? Cus jadi buku ke sekian yang khatam tahun ini, dan ditunggu reviewnya.”
***

Muhammad Taufiqurrohman: “Mas Yogas Ardiansyah, saya mendengar pertama kali nama Anatole France dari Pak Pram (Pramoedya Ananta Toer). Kalau tidak salah, pada Nyanyi Sunyi 2. Salah satu penulis Prancis yang dibaca Pram masa kecil atau remaja. Artinya sudah sangat lama karya2 penulis Prancis (mungkin dalam versi asli atau terjemahan Inggris/Belanda) masuk ke Indonesia atau Hindia Belanda di masa itu. Mengapa ya, ada jarak begitu lama dengan penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia? Seperti yang Mas Yogas kerjakan pada Hikayat Penguin (2020).”

Yogas Ardiansyah: “Fiksi berbahasa Prancis pertama -yang tercatat- yang digubah ke dalam bahasa Nusantara ialah sebuah kisah petualangan karya Jules Verne, vingt-milles lieus sous la mer, pada awal abad ke XX, menjadi ‘doea poeloeh ribu mjl didalem laoet, tertjaritaken dalam bahasa melajoe renda’, yang bisa kita simak dalam penelitian Doris Jedamski dalam buku Sadur : Terjemah Bahasa Eropa Dalam Bahasa Asia Tenggara, terbitan Efeo, koreksi jika saya salah. Setelah karya itu, fiksi2 Hindia Belanda banyak memperoleh pengaruh dari bahasa Prancis, baik setelah melalui perantara bahasa Belanda atau bahasa Inggris, dan kisah yang digemari adalah formulasi petualangan, detektif plus misteri. Aktifitas penerjemahan dan penerbitan itu, ajaibnya, salah satunya berpusat di kota kita, Mas Taufiq, Semarang, digerakkan oleh penerbit partikelir yang dikelola oleh orang Belanda dan Tionghoa. Selanjutnya, proses itu terus berlangsung, sehingga tak aneh jika Pram muda bisa membaca Anatole France. Mengenai jeda jarak yang panjang membawa dia ke dalam bahasa Indonesia, saya kira tak bisa dibahas dalam lingkup seorang-per-seorang. Ile des Pengouins, menurut pak Eka Kurniawan, sudah tak lagi banyak di baca di Prancis sendiri. Sedang penerjemahan novel lain berbahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia masih lumayan banyak, meski untuk ukuran buku tetaplah sedikit sekali. Madame Bovary, La Peste, L’Aube dan Le Matin, Le Vol du Sud, L’Etranger, dll, menyebut beberapa novel kanon, sudah hadir dalam bahasa Indonesia sejak lumayan lama. Jadi, prediksi saya, mungkin karena selama ini tak ada yang cukup jeli melihat France dan karyanya saja, bukan terhadap penulis Prancis pada umumnya. Lebih ekstrim lagi, Voyage de Paris A Java (berkisah tentang Jawa pula lho ini…), yang ditulis Balzac dan terbit pada 1832, baru pada tahun ini tersedia dalam bahasa Indonesia, meskipun ada karya Balzac lain yang sebelumnya sudah diterjemahkan. Jeda waktunya jauh lebih panjang dibanding Hikayat Penguin yang terbit sekitar tahun 1914, pula penulisnya peraih Nobel. Dalam bahasa Inggris, kalau tidak salah Voyage… juga baru terbit pada tahun 2000-an, itupun oleh penerbit Singapura.
Demikian, Mas, uraian 2 sks dengan teknik pengawuran ini…”

Muhammad Taufiqurrohman: “Terima kasih jawabannya Mas Yogas, informasinya sangat kaya. Menambah pengetahuan saya tentang sastra Prancis yang sangat terbatas. Boleh kalau mau ditambah 2 SKS lagi.”

Yogas Ardiansyah: “Saya teringat alasan ini juga, Mas Taufiq -alasan yang sama sekali tak berhubungan dengan sastra secara langsung- yakni, belum banyak penerbit yang berani membeli hak cipta. Yang memang mahal. Sedangkan iklim perbukuan kita masih, ya begitulah, tanpa mengurangi rasa syukur atas kenyataan. Jadi, yang terbit biasanya adalah domaine publique, berupa buku2 yang telah berusia lebih dari sekitar 70-75 tahun seusai sang penulis wafat.”
***

Prima Ramdhani: “Salam kenal Mas Yogas Ardiansyah. Selalu menarik jika ada perbincangan tentang susastra terjemahan. Mengenai kesusastraan Prancis, sayangnya saya belum berkesempatan baca buku hasil terjemahan Mas-nya. Moga2 di lain waktu. Seingat saya baru 2 buku saja yang pernah saya baca (yang langsung diterjemahkan dari bahasa Prancis): novel Candide (Oak), dan Piramid (Marjin Kiri). Dan suka sekali dengan terjemahan Piramid, yang ditulis oleh Ismail Kadare yang sebenarnya bukan penulis/menulis dalam bahasa Prancis. Izin melemparkan beberapa pertanyaan:

1. Butuh berapa lama menerjemahkan novel ‘Hikayat Penguin’ dan kumcer (?) ‘Kembara dari Paris ke Jawa’?
2. Jika punya kesempatan menentukan naskah yang akan diterjemahkan dan diterbitkan, naskah apa yang akan dipilih Mas Yogas? (Pertanyaan yang sama yg pernah diajukan ke Mba Tiya Hapitiawati).
3. Siapa saja penulis2 favorit Mas Yogas dari negara Prancis (Klasik dan Kontemporer)?
4. Dan seperti biasa kalau boleh request, terlepas dari pemilihan naskah yang sepenuhnya ditentukan oleh pihak penerbit, pengen request karya2 dari penulis Mathias Enard, Emmanuel Bove, Julien Gracq atau Pierre Michon. Semata-mata karena rasa penasaran hehe…”

Yogas Ardiansyah: “Salam kenal, Mas Prima, salam Hari Buku Internasional yang dirayakan hari ini. Buku2 terjemahan saya masih tersedia di penerbit atau toko buku lain, dan siap dipesan kapan saja. Buku terjemahan berbahasa asing yang diterjemahkan dari bahasa aslinya, memang masih jarang. Semoga lambat laun, akan ada cukup sumberdaya, baik penerjemah maupun penerbit, yang bersemangat menggarapnya. Khusus buku2 berbahasa Prancis, selain Taman Moooi Pustaka, Yayasan Obor Indonesia juga kerap menerbitkannya. Habitat kecil ini semoga bisa makin berkembang.

Menjawab pertayaan yang Anda ajukan, Mas Prima:
1) Hikayat Penguin saya selesaikan kurang lebih sekitar enam bulan. Secara ngoyo. Haha. Sedang Kembara… selesai setelah sekitar empat bulan, lebih dengan ritme yang rileks.
2) Sampai saat ini saya tak punya preferensi nama penulis berbahasa Prancis tertentu. Jadi, pilihannya bukan pada nama. Namun, secara pribadi saya ingin menerjemahkan karya penulis Afrika yang berbahasa Prancis, atau dari negara2 Maghreb. Kita tahu negara Prancis pernah melakukan kolonialisme di wilayah2 tersebut, dan bahasanya masih menjadi bahasa resmi dan bahasa sehari-hari. Alasan saya, susastra Afrika masih amat sangat sedikit tersedia dalam bahasa Indonesia, padahal dua bangsa ini punya latar belakang sejarah dan budaya yang mirip, sama2 pernah menderita sebab imperialisme. Demikian pula terhadap susastra bangsa2 Maghreb. Selain itu, saya juga ingin menerjemahkan karya yang lebih terkini, tak melulu tulisan lama dari paruh pertama abad XX. Itu keinginan, ya Mas, bukan obsesi. Artinya tak harus terwujud segera.
3) Merujuk pada jawaban ke dua, saya juga tak terlalu punya preferensi. Siapa saja yang tersedia, akan saya baca, baik fiksi ataupun non-fiksi. Kita tahu, selain dalam hal sastra, bahasa Prancis juga memuat bidang lain, terutama bidang pemikiran, filsafat, termasuk buku akademis. Jadi, tak ada nama favorit tertentu.
4) Betul, nama2 yang Anda sebut adalah nama yang masih asing bagi pembaca di sini. Saya senang jika ada yang antusias menunggu mereka diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Itu artinya, ada semangat bagi kami, para pembelajar bahasa asing, para penerjemah, agar lebih giat meningkatkan kualitas dan kemampuan. Semoga harapan2 itu sampai pada kenyataan. Terima kasih banyak, Mas Prima.”
***

Bersambung…

3 Replies to “Obrolan penerjemahan karya dari bahasa Prancis ke bahasa Indonesia bersama Yogas Ardiansyah (I)”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *