Ribut Wijoto *
beritajatim.com, 4 Mei 2021
Pengalaman membentuk jiwa manusia. Apalagi jika pengalaman itu melekat erat di ingatan. Sekuat apapun upaya melupakan hanyalah kesia-siaan. Merasuk jauh ke bawah sadar. Menjelma mimpi-mimpi berpeluh keringat dingin.
Enak bila pengalaman membahagiakan. Kenangannya indah. Tetapi bila kenangan pahit, lain lagi ceritanya. Ia menjelma trauma. Tak bisa dihapus dari ingatan. Semakin berusaha dilupakan, dianggap tidak penah ada, semakin ia menggumpal kental.
Kadang justru berubah jadi hasrat. Keinginan tak terbendung untuk mengulangi kepahitan. Mencipta kepahitan. Menikmati kepahitan. Dikutuk untuk selalu berkubang dalam kepahitan.
“Aku hadir sebagai kutukan turun temurun. Siapa yang menyentuhku, akan berubah menjadi pembunuh berdarah dingin tanpa welas asih. Balaskan dendammu! Balas sepuasmu!”
Kalimat itu dipegang erat oleh Saujana, tokoh dalam cerpen Winda Listyani berjudul “Candala, Sepasang Pembunuh Bayaran”. Salah satu dari 22 cerpen di buku Anomali terbitan Padmedia Publisher (2021). Kalimat bernada sadis yang memulai kisah tentang kehidupan para pembunuh bayaran.
Dengan cukup lugas, pengarang asal Sidoarjo ini mendiskripsikan sosok Saujana. “Seperti artinya, sejauh mata memandang, aku melesat jauh mencungkil tiap nyawa yang menjadi korbanku.”
Deskripsi model seperti ini mengingatkan saya pada pembukaan novel Saman dari Ayu Utami. Mungkin Winda sengaja mengeksplorasi ulang gaya Ayu Utami, mungkin juga sekadar kebetulan. Hanya saja, deskripsi obsesi dan karakter tokoh di awal cukup efektif membantu pembaca dalam mengarungi kerumitan kisah.
Tidak sebatas di awal. Founder komunitas Yuk Nulis Sidoarjo ini juga menyematkan paparan karakter dan latar histori belakang bagi tokoh-tokoh lain. “Sebab aku hanyalah seseorang yang tinggal di jalanan, tak pernah mandi kecuali menemukan ponten gratis. Aku hanya punya ibu. Kata orang, Ayah dibunuh oleh pembunuh bayaran.” Begitu Winda memaparkan tokoh Lokananta. Tokoh yang tampaknya menjalani masa kecil dengan tidak nyaman.
Ayah Lokananta dibunuh oleh pamannya. Ibu Lokananta lalu jadi korban hawa nafsu sang paman pula. Lebih menyakitkan lagi, sang paman yang jauh dari sikap tauladan itu lantas memerkosa juga kepada Lokananta. Perkosaan yang dilakukan, bahkan, sebelum bocah lelaki ini sempat tumbuh jadi remaja.
Sedangkan kepada tokoh Dersik, Winda memaparkan dengan latar belakang yang tidak kalah menyakitkan dibanding tokoh-tokoh lain. “Aku malaikat pencabut nyawa yang sebenarnya. Seperti angin, aku tak berbunyi, tak berisik sama sekali. Namun, kemunculanku mampu melayangkan satu atau lebih nyawa yang dibayar tunai untuk kucabut. Aku ada karena sebuah dendam kesumat.”
Begitulah, deskripsi obsesi dan karakter tokoh cukup efektif membantu pembaca dalam mengarungi kerumitan kisah. Menciptakan logika tekstual bagi hal-hal tak wajar dari perilaku dan tindakan tokoh. Masa lalu kelam menjadi dorongan bagi para tokoh untuk berbuat sadis. Jadi pembenaran pribadi saat memilih untuk menjalani profesi sebagai pembunuh bayaran.
Membaca cerpen Winda ini, saya seperti menonton film detektif. Adegan berlepotan darah. Tokoh-tokoh yang menyiapkan strategi pembunuhan bagi korban. Sedang mereka sendiri sebenarnya juga korban dari tindakan keji tokoh lain. Maka kekejian saling berkelindan. Tensi peristiwa sedemikian seram.
Menjelang klimaks cerita, ketiga pembunuh bayaran serempak menjalankan aksi. Saujana, Lokananta, Dersik. Kali ini sasarannya adalah sang paman.
Melalui perhitungan matang, hampir-hampir tanpa cacat, semuanya berjalan sesuai rencana. Paman ditemui ketika keluar dari kamar mandi. Lokananta duduk di kursi dekat ranjang dengan menyilangkan kaki. Usai pertemuan yang membikin kaget dan dialog yang menambah kaget, sang paman benar-benar berada pada situasi tersudut. Wajah pucat, tubuh gemetar, mulut mendadak gagu.
Oleh sebab dendam terlanjur kesumat, ketiga pembunuh bayaran itu tak hendak menghabisi nyawa sang paman dengan segera. Tembakan pertama diarahkan pada kaki kanan. Darah mengucur. Mulut paman tidak bisa berteriak karena dibekap tubuh kekar Saujana. Peluru kedua mengenai kaki kiri. Dan tembakan ketiga tepat ke ulu hati.
Tembakan pistol Lokananta dipersengit dengan umpatan-umpatan. Semburan teriakan Lokananta tentang perilaku korban di masa silam. Paman yang membunuh ayah Lokananta, paman yang memerkosa ibu Lokananta, paman yang memperkosa Lokananta, paman yang menjual Lokananta kepada para lelaki penyuka sesama jenis alias homoseksual. Segala dendam pun tumpah. Letusan peluru tidak henti berdesing.
Dalam ending kisah, Winda menghadirkan suasana sunyi sekaligus kelam. Tokoh ibu dari Lokananta mendatangi makam, yakni makam Lokananta. Air mata jatuh seperti gerimis. Ternyata, setelah peristiwa pembunuhan keji terhadap sang paman, Lokananta lantas membunuh Saujana dan Dersik. Lokananta lalu bunuh diri dengan cara memotong nadi.
Di depan makam Lokananta, sang ibu tercenung. Ia teringat dengan dirinya sendiri. Bahwa dia juga bukan wanita baik-baik. Dia semula berhubungan asmara dengan dengan tokoh paman. Tetapi karena godaan harta, dia berkhianat dan memilih menikah dengan kakak dari tokoh paman. Ternyata sang suami mandul. Adik dari suaminya, yaitu tokoh paman dari Lokananta, pun dendam. Dia membunuh sang kakak, yaitu ayah Lokananta. Dia juga berkali-kali memerkosa ibu dari Lokananta. Dan dari perkosaan itu, lahirlah Lokananta.
Teringat masa silam kelam dan kenyataan pahit tentang orang-orang terdekatnya yang saling bunuh, tubuh sang ibu goyah. Dia pingsan di tepi nisan Lokananta.
Sekali lagi, mengikuti cerpen Winda ini, saya seperti menonton film detektif. Winda tampaknya memang, mungkin, sengaja mengadopsi struktur film untuk menghidupkan kisah. Peristiwa dalam cerpen Winda terlihat seperti terbagi dalam scene-scene.
Dalam film, scene sering diartikan sebagai tempat atau setting di mana cerita dimainkan. Scene juga diartikan sebagai adegan. Sebuah film dibangun melalui rangkaian scene sehingga membentuk cerita utuh.
Pada scane awal, Winda menghadirkan latar belakang kehidupan tokoh Saujana. Dilanjutkan scane kehidupan tokoh Dersik, lalu scane latar belakang tokoh Lokananta. Klimaks muncul melalui scane adegan pembunuhan tokoh paman. Endingnya, scane adegan ibu Lokananta pingsan di tepi nisan.
Saya kebetulan sempat beberapa kali bertemu Winda, pengarang cerpen seram ini. Seorang ibu rumah tangga berkulit putih, bersih, terawat, sedikit bawel tapi ceria, dan selalu tampil sebagai pribadi yang menyenangkan. Maka, saya sempat heran pula. Bagaimana bisa cerpen seram keluar sedemikian lanyah melalui pengarang seperti Winda? Antara karya dengan pengarang seakan tidak kompak. Pengarang berjalan ke utara, karya bergerak ke selatan. Entahlah.
***
*) Ribut Wijoto, lahir di Tulungagung, 23 Maret 1974. Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda), anggota Teater Gapus, Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP), Bengkel Muda Surabaya (BMS), wartawan media online beritajatim.com, dan penjual buku bekas. Pernah mengeditori buku puisi ‘Ayang-Ayang’ (Gapus Press, 2003), ‘Ijinkan Aku Mencintaimu’ (Gapus Press, 2006), ‘Menguak Tanah Kering’ (Kumpulan puisi bersama Teater Gapus, 2001), ‘Permohonan Hijau, Antologi Penyair Jawa Timur’ (Festival Seni Surabaya, 2003), ‘Rumah Pasir’ (Festival Seni Surabaya, 2008), buku puisi ‘Pertemuan Penyair Jawa Timur’ (Disbudpar Jatim, 2009), ‘Wong Kampung’ (Festival Seni Surabaya, 2010), ‘Tenung Tujulayar’ (Gerilya Sastra, DK Jatim, 2014), mengeditori belasan buku puisi yang diterbitkan ‘Halte Sastra’ (DKS, 2009-2015), mengeditori buku puisi ‘Majelis Sastra Urban’ (DKS, 2018-2020), ‘Dan Di Genggaman Ini, Mengalir Sihir’ (BMS, 2019), ‘Di Tepi Jalan Pantura’ (Forum Sastra Maritim, 2020), dan beberapa buku puisi lain.