PENGEMBANGAN BUDAYA MATARAMAN DI JAWA TIMUR

Djoko Saryono *

Budaya Jawa varian Mataraman (selanjutnya disebut budaya Mataraman) berkembang dengan subur di bagian barat Provinsi Jawa Timur terutama di daerah-daerah otonom di bawah naungan Bakorwil Madiun. Tentu saja varian budaya Jawa Mataraman ini perlu dikembangkan selain varian-varian budaya lainnya. Mengapa demikian? Paling tidak ada dua alasan utama. Karena hal ini selaras dengan kecenderungan mutakhir yang menempatkan kebudayaan sebagai modal utama pembangunan bangsa-bangsa dan komunitas-komunitas di dunia. UNESCO, Bank Dunia, UNDP, dan lembaga-lembaga lain di bawah PPB bukan hanya telah mengampanyekan dan mempromosikan modal budaya dalam pembangunan, melainkan juga sudah menjalankan program pembangunan bersumberkan kebudayaan. Demikian juga para pemikir pembangunan, seperti Soedjatmoko (mantan Rektor Universitas PBB di Tokyo) dan Amartya Sen (Peraih Nobel Ekonomi dari India), telah menegaskan bahwa dimensi terdalam pembangunan adalah kebudayaan sehingga pembangunan merupakan proses pembudayaan, bukan sekadar peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan material. Tidak mengherankan, kebudayaan dan pembangunan dipandang sebagai hubungan koordinatif atau berkedudukan setara yang berhubungan saling menguntungkan.

Kita ketahui bersama bahwa secara geokultural budaya Mataraman termasuk di dalamnya kearifan lokal Mataraman merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Provinsi Jawa Timur. Selain gugusan budaya Mataraman, di Provinsi Jawa Timur tumbuh dan berkembang gugusan budaya Arek, budaya Madura, budaya Pendhalungan, budaya Osing, budaya Tengger, dan lain-lain yang sampai sekarang tetap tumbuh dan berkembang. Berbagai gugusan budaya lokal tersebut membentuk keberagaman atau kebhinekatunggalikaan budaya di Jawa Timur. Di antara berbagai gugusan budaya-budaya lokal yang ada di Jawa Timur tersebut, budaya Mataraman terasa menempati posisi dan peranan unik, kalau tidak dikatakan istimewa. Dikatakan demikian karena budaya Mataraman di Jawa Timur bersambung secara historis dan sosiologis dengan budaya Jawa di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Timur sehingga saling mengeratkan, bahkan menyatukan ketiga provinsi tersebut dalam kebersatuan kebudayaan dalam perbedaan.

Kebersatuan kebudayaan dalam perbedaan ini menciptakan dialog dan kerja sama kebudayaan yang bermakna dan saling mengisi di antara ketiga provinsi tersebut. Di samping itu, persebaran budaya Mataraman juga demikian luas di berbagai wilayah Jawa Timur sehingga memunculkan kantong budaya Mataraman. Sebagaimana diketahui, budaya Mataraman tidak hanya menyebar di kabupaten/kota yang bernaung di bawah Bakorwil Madiun, melainkan juga menyebar di sepanjang wilayah selatan Jawa Timur hingga ke Banyuwangi bagian selatan. Kehadiran budaya Mataraman di sepanjang wilayah selatan Jawa Timur tersebut terbukti telah memperkaya, menginspirasi, dan menyegarkan budaya Osing dan Pendhalungan sebagaimana tampak pada berbagai reportoar kesenian, etika sosial, dan pola pergaulan, bahkan bahasa. Demikian juga kehadiran kantong-kantong budaya Mataraman yang muncul di wilayah budaya Arek telah memperkaya budaya Arek sebagaimana terlihat dalam pola komunikasi, ragam bahasa, dan tata krama sosial serta bentuk kesenian. Bahkan serat-serat terdalam budaya Mataraman – seperti keanggunan berbahasa dan kesantunan sosial – juga telah menginspirasi budaya Madura sebagaimana terlihat dalam budaya Madura di Sumenep.

Semua itu menunjukkan bahwa budaya Mataraman telah berdialog dengan budaya-budaya lain yang ada di Jawa Timur pada satu sisi dan pada sisi lain telah memainkan peranan penting dalam transformasi budaya-budaya di Jawa Timur. Bahkan dapat dikatakan bahwa budaya Mataraman menjadi salah satu sumber inspirasi bagi perubahan budaya-budaya yang ada di Provinsi Jawa Timur tanpa harus dicurigai sebagai bentuk dominasi atau represi budaya Mataraman terhadap budaya-budaya lain yang ada di Jawa Timur.

Budaya Mataraman yang berakar pada budaya Jawa ada di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah mampu bertahan dan berkembang pada satu sisi dan pada sisi lain mampu memberi inspirasi dan kontribusi berarti bagi budaya-budaya lokal lain di Jawa Timur karena dua alasan pokok. Pertama, seperti halnya kebudayaan Jawa pada umumnya, budaya Mataraman mengalami pencanggihan (sofistikasi) dan pencendekiaan (intelektualisasi) yang tergolong mengagumkan sehingga mencapai puncak-puncak kebudayaan Jawa baik berupa pusaka budaya bendawi (tangible heritage) maupun pusaka budaya tak bendawi (intangible heritage); baik berupa bidang tata negara, tata sosial politik, dan tata sosial budaya maupun berupa bidang kesenian dan pengetahuan; baik berupa basis nilai dan norma (mental) kebudayaan Jawa maupun basis sosial dan material kebudayaan Jawa; baik berupa spiritualitas dan falsafah maupun moralitas (etika) dan estetika Jawa.

Sebagaimana ditelaah oleh Benedict Anderson, Fachri Aly, dan Soemarsaid Moertono, pada masa lalu budaya Mataraman mampu mengembangkan paham kekuasaan dan seni bina negara yang khas Jawa-Mataraman. Sebagaimana dikemukakan oleh G. Moedjanto, pada masa lalu budaya Mataraman sanggup mengembangkan tata krama sosial budaya yang bertumpu pada ungguh-ungguhing bhasa, yang pada masa Demak belum terbentuk.

Menurut Benedict Anderson, Paul Stage, Douglas E. Ramage, dan Max Woodward, budaya Jawa-Mataraman juga sanggup mengembangkan ideologi toleransi beralaskan rasa dan penghormatan sesama manusia yang efektif menciptakan harmoni sosial. Begitu juga Umar Kayam menyatakan bahwa budaya Jawa-Mataram berhasil mengembangkan ideologi keselarasan dan kebersamaan yang sanggup menjaga keutuhan kehidupan sosial masyarakat Jawa.

Secara komprehensif Koentjaraningrat dan Clifford Geertz menemukan bahwa budaya Jawa-Mataraman terbukti juga mampu mengembangkan pengetahuan spiritual, filosofis, etis, dan estetis yang demikian canggih sehingga berbagai pihak mengemukakan adanya spiritualitas, falsafah, etika, dan estetika Jawa-Mataraman, misalnya Frans Magnis-Suseno menulis tentang etika Jawa-Mataraman, Jennifer Lindsay menulis tentang spiritualitas dan estetika Jawa-Mataraman, dan Paul Stage menulis tentang spiritualitas dan falsafah Jawa.

Kedua, berkat migrasi manusia Jawa-Mataraman, kemudahan transportasi ke berbagai wilayah Provinsi Jawa Timur, dan nasionalisasi urusan pemerintahan dan kemasyarakatan, budaya Mataraman mengalami persebaran dan perluasan wilayah dengan mudah tanpa mengalami stigmatisasi dan labelisasi negatif dari para pemangku budaya-budaya lokal lain di Jawa Timur. Bahkan budaya Mataraman dapat diterima oleh berbagai budaya lokal lain yang ada di Jawa Timur. Masuknya budaya Mataraman di Jember sebagai wilayah budaya Pendhalungan telah memperkaya daya ungkap budaya Pendhalungan. Dalam kondisi genting tak jarang budaya Mataraman menjadi pilihan di Jember. Dalam penelitiannya, Bambang Wibisono menemukan bahwa bahasa Jawa Mataraman telah menjadi pilihan bahasa masyarakat Jember (Pendhalungan, Jawa, dan lain-lain) dalam komunikasi lintas-etnis yang sanggup memberikan simbol keluhuran dan keanggunan diri. Demikian pula masuknya budaya Mataraman ke wilayah budaya Arek di Surabaya dan Malang semakin memperkaya dan mempercanggih budaya Arek. Bahkan tidak jarang justru wilayah tradisional budaya Arek menjadi kantong berkembangnya budaya Mataraman, misalnya Reog Ponorogo dan majalah berbahasa Jawa Jayabaya dan Panyebar Semangat justru dapat tumbuh dengan baik di Surabaya.

Semua itu menunjukkan bahwa budaya Mataraman memiliki keberterimaan yang baik di dalam budaya-budaya lokal yang ada di Jawa Timur sehingga budaya Jawa-Mataraman dapat hidup dan berkembang di wilayah manapun, tidak terbatas wilayah Mataraman yang di bawah naungan Bakorwil Madiun. Oleh karena itu, masyarakat Jawa-Mataraman terutama pimpinan daerah wilayah Mataraman yang berada di bawah naungan Bakorwil Madiun patut bersyukur atas kondisi tersebut di samping juga harus bertanggung jawab mempertahankan, menjaga, dan mengembangkan budaya Mataraman.

Kita ketahui bersama bahwa masyarakat Provinsi Jawa Timur tergolong pluralistis dan multikultural. Supaya kehidupan masyarakat [Jawa Timur] yang pluralistis dan multikultural tersebut tetap sehat, baik, dan bermaslahat pada satu sisi dan pada sisi lain tata kehidupan pluralistis dan multikultural tetap terjaga-terpelihara diperlukan kebijakan budaya yang tepat dan memadai. Ketepatan dan kememadaian yang dimaksud adalah bahwa kebijakan budaya yang dirumuskan, ditetapkan, dan dilaksanakan harus memungkinkan kehidupan masyarakat [Jawa Timur] dipahami, dikelola, dan dipelihara oleh semua pihak.

Di samping itu, juga harus memungkinkan tata kehidupan pluralistis dan multikultural terjaga dan terpelihara secara baik dan mantap agar kehidupan masyarakat pluralistis dan multikultural dapat bertahan, berlangsung, dan bahkan berkembang demi masa depan Provinsi Jawa Timur khususnya demi semua pemangku budaya di Jawa Timur – baik yang secara demografis besar maupun yang secara demografis sedikit. Untuk itu, dirumuskan, ditetapkan, dan dilaksanakan kebijakan budaya yang pluralistis dan multikultural yang mampu memberi tempat dan ruang berada [eksistensi] semua masyarakat beserta gugusan budaya lokal masing-masing di Provinsi Jawa Timur secara adil, proporsional, terhormat, dan berharga. Kebijakan budaya yang seragam dan monokultural akan menimbulkan diskriminasi, pencaplokan [hegemoni], peminggiran [marginalisasi], pengucilan [eksklusi], pencitraan negatif [stigmatisasi], dan pelabelan negatif suatu budaya yang dipangku komunitas masyarakat tertentu.

Oleh karena itu, kebijakan budaya yang ditetapkan dan dilaksanakan di Provinsi Jawa Timur adalah kebijakan budaya pluralistis dan multikultural, dalam arti kebijakan budaya berasaskan pluralisme dan multikulturalisme. Dalam kebijakan budaya pluralistis dan multikultural tersebut semua pemangku budaya beserta gugusan budaya lokal masing-masing diberi hak hidup dan berkembang di Provinsi Jawa Timur – baik komunitas masyarakat yang secara demografis besar dan tersebar luas maupun komunitas masyarakat yang secara demokratis kecil dan terlokasi di tempat tertentu. Dengan kata lain, hak budaya semua pemangku budaya dijamin dan dilindungi – sebagaimana telah diamanatkan dalam Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya [ECOSOC]. Dalam hubungan ini di Provinsi Jawa Timur semua pemangku budaya beserta budaya lokal masing-masing diberi tempat dan ruang publik yang terbuka dan demokratis. Selain ruang-ruang domestik yang memang telah menjadi ruang hidup tiap-tiap pemangku budaya beserta gugusan budaya lokal masing-masing secara internal, di sini dikembangkan ruang publik yang terbuka dan demokratis agar semua pemangku budaya beserta gugusan budaya lokal masing-masing dapat mengekspresikan diri, bahkan mengembangkan diri. Dalam ruang publik yang terbuka dan demokratis itu berbagai komunitas masyarakat beserta gugusan budaya masing-masing juga dapat berinteraksi, saling mengenal, saling menghormati, dan saling memperkaya sehingga mereka beserta budaya mereka dapat belajar hidup bersama secara bermakna; membangun semangat hidup bersama di dalam beraneka ragam komunitas masyarakat dan gugusan budaya; bahkan dapat melakukan perantauan budaya [passing over] ke dalam budaya lain. Dalam konteks inilah dapat dikatakan bahwa sampai sekarang ruang publik di seluruh wilayah Provinsi Jawa Timur relatif sudah terbuka dan demokratis, tidak ada pembatasan [restriksi] dan pengekangan tertentu – baik oleh pihak pemerintah maupun pihak masyarakat – sehingga semua pemangku budaya beserta budaya lokal masing-masing di Provinsi Jawa Timur dapat mengekspresikan diri, menampilkan diri, bahkan berinteraksi satu sama lain.

Di berbagai ruang publik di Provinsi Jawa Timur kita dapat menyaksikan masyarakat Madura mengekspresikan dan menampilkan diri dalam bahasa, sastra, seni, dan perilaku mereka; dapat menyaksikan masyarakat Osing mengekspresikan dan menampilkan bahasa, sastra, tatakrama, dan perilaku mereka; dan tentu saja kita dapat menyaksikan kelompok masyarakat Jawa Mataraman dan Jawa Arek mengekspresikan dan menampilkan diri mereka dalam bahasa, sastra, tata krama dan perilaku Jawa. Selama sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan etika sosial yang berlaku di masyarakat Jawa Timur, tidak ada pembatasan dan pengekangan di wilayah tertentu di Provinsi Jawa Timur yang mengakibatkan kelompok masyarakat beserta budaya lokal mereka tidak dapat mengekspresikan dan menampilkan diri. Dengan demikian, semangat hidup bersama di tengah perbedaan dan keragaman budaya lokal dapat tumbuh dan berkembang di Provinsi Jawa Timur; dan tumbuh dan berkembang pula kesediaan saling mengenal, menghormati, menerima, dan memperkaya berbagai komunitas masyarakat beserta budaya lokalnya oleh berbagai komunitas masyarakat di Provinsi Jawa Timur.

Dalam konteks kebijakan dan strategi kebudayaan Provinsi Jawa Timur yang pluralistis, multikultural, dan demokratis seperti tersebut, budaya Mataraman harus dikembangkan. Untuk itu, dialog dan kerja sama budaya di antara berbagai daerah otonom yang berada di bawah naungan Bakorwil Madiun perlu diintensifkan guna mengembangkan budaya Mataraman. Bahkan bila perlu daerah kabupaten/kota se-Bakorwil Madiun menyusun grand design pengembangan budaya Mataraman yang digunakan sebagai acuan dan panduan pengembangan dan pelestarian budaya Mataraman dalam bingkai keutuhan Provinsi Jawa Timur yang ber-bhineka tunggal ika (pluralistis dan multikultural).
***


*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *