Lamongan menjadi kota pertama yang kudatangi setelah petualangan keluarga kecilku yang kesekian. Tidak ada yang menarik hatiku sekali pun aku telah melewati sebuah gapura dengan nama Lamongan terpampang lebih tinggi dari badan seorang buruh remaja yang baru saja keluar dari pintu gerbang pabrik menjelang dunia benar-benar gelap. Wajahnya murung dan khawatir seakan-akan semangat hidupnya luntur, perlahan dan pasti. Buruh remaja itu melangkah dan sesekali mendongak ke langit; harap-harap warna oranye menyelimuti langit gugur menjadi emas. Aku bertanya-tanya, di sinikah orang-orang hidup dengan luka di sekujur tubuhnya kemudian datang semacam bayangan terkutuk untuk memerah mereka hingga kering kerontang lalu melempar mereka ke tambak garam? Atau dengan terpaksa mereka memasukan diri mereka sendiri ke dalam pipa berkilo meter untuk selamat dari kehidupan adalah kutukan? Pertanyaan-pertanyaan ini justru menggiring kuda besiku ke warung kecil yang hidup segan mati-tak-mau yang dijaga seorang anak lelaki menyedihkan, sepertiku. Karena sama-sama menyedihkan, tangan kiriku memeriksa isi saku celana dan aku menemukan uang lima ribu rupiah, kemudian segera kugumpal. Perasaan malu muncul. Bagaimana pun, aku telah menghina si anak lelaki, sekali pun aku sebenarnya ingin membeli rokok ketengan. Diriku yang lain merasa iba kepada si anak lelaki. Dalam hukum akal sehat, hal demikian tidak lantas memerdekakan diri sendiri dan juga orang lain.
Sebelumnya, aku telah membuat kesepakatan dengan seorang Penyair Penyendiri yang berhasil keluar dari parabel estetika yang diciptakan serampangan oleh kaum Penyair “Iklan Kecap” yang bercokol di renda-renda batu kapur kekuasaan atau di jendela kaca gedung dewan kesenian; harap-harap mendapat proyek Antologi Puisi Jawa Timur Satu Miliyar Rupiah. Ini adalah pertemuan pertama kami, jadi sudah semestinya aku harus menyiapkan tata bahasa, mimik, dan gerak tubuh agar mampu menepis kesia-siaan yang mulai tumbuh dalam perjalanan hidupku dan serentetan pertemuan dengan Pejalan Pedang dalam dunia Sastra Indonesia. Tidak lama setelah matahari tenggelam di balik atap Universitas Islam Darul ‘Ulum, seorang lelaki jangkung berbaju merah menyebrangi rel kereta api dan melangkah pasti ke arahku. Benar, bahwa dialah Penyair Penyendiri itu. Kemudian kami saling menyapa, diam-diam menyembunyikan masalah masing-masing. Setelah itu, kami melaju menuju sebuah toko buku kecil di tepi jalan miliknya. Kami sempat berbincang – tentu saja catatan ini bukan tentang apa yang kami perbincangan – dan sesekali tertawa terbahak-bahak ketika di ujung perbincangan nama Sutardji Calzoum Bachri yang konon Presiden Penyair itu muncul dari balik aspal dan kemudian dilindas truk fuso. Sebagai pemanasan, kami bersepakat bahwa atmosfir Sastra Indonesia di Jawa bagian Timur ini seperti roti bakar yang dipotong-potong kemudian disiram anggur.
Bagaimana Sastra Indonesia di Jawa bagian Timur ini menjadi seperti roti yang dipotong-potong kemudian disiram anggur? Penyair Penyendiri ini menjawab bahwa dirinya telah melakukan pembacaan, penghayatan, pemetaan, dan kritik-otokritik terhadap gelagat para medioker Sastra Indonesia yang tidak benar-benar mencintai Sastra Indonesia atau memanfaatkan dunia Sastra Indonesia sebagai tempat pelampiasan syndrom-narsistik mereka belaka sejak abad 20 hingga abad 21 ini. Dan, tentu saja, sebagai seorang yang bermoril, Penyair Penyendiri ini menerbitkan beberapa buku dan jurnal kritik sastra – yang terbaru “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”. Identifikasi yang matang terhadap syndrom-narsistik semacam di Jawa bagian Timur ini, baginya telah melahirkan mitos atau kebohongan besar dalam peradaban Sastra Indonesia. Pada akhir jawaban, dengan nada lirih dan sarat ironi, Penyair Penyendiri ini menganggap bahwa Sastra Indonesia di Jawa bagian Timur akan hancur oleh kekuasaan, apabila syndrom-narsistik yang diderita kebanyakan Sastrawan (banyak, tidak semua) tidak segera dibakar. Dalam fase mendengarkan ini, aku jadi teringat cerita pendek yang ditulis Leo Tolstoy dengan sangat epik yang bertajuk “Gandum Sebesar Telur” pada abad 19, 1886. Dalam cerita pendek itu, Tolstoy menggambarkan bahwa peradaban manusia sejatinya hanyalah persoalan ketundukan dan kepatuhan serta kemunduran yang mengerikan. Jika kita sama-sama mengingat cerita pendek itu, jelas di sana bahwasanya kritik Tolstoy terhadap semangat zaman kemunduran kehidupan manusia begitu menohok.
Setidaknya, ada tiga pola kemunduran yang menjadi pusat kritik Tolstoy. Pertama, ketika seorang lelaki – yang merupakan cucu dari tokoh pertama – yang berjalan dengan dua tongkat itu dipanggil menghadap Tsar untuk menjelaskan sebutir gandum yang diambilnya di tangan beberapa orang anak. Di sini, tampak bahwa peradaban baru manusia membuat banyak manusia itu sendiri mengalami ketidaktahuan sejarah. Kedua, ketika Tsar menyuruh pelayannya memanggil ayah lelaki itu. Rupanya, sama seperti anaknya, ayah lelaki itu berjalan dengan satu tongkat dan sama-sama mengalami ketidaktahuan sejarah mereka. Ketiga, Tsar yang teramat penasaran kembali menyuruh pelayannya untuk memanggil kakek lelaki itu. Kemudian datanglah seorang lelaki tua yang berjalan dengan gagah tanpa menggunakan tongkat seperti cucu dan anaknya sebelumnya. Kepada Tsar, dia berkata, “Hal ini bisa terjadi karena orang-orang sudah berhenti untuk hidup dari keringatnya sendiri, dan bergantung pada kerja keras sesama mereka. Di masa kami dulu, manusia hidup menurut Firman Tuhan. Kami berdiri di atas kaki kami sendiri dan tidak berhasrat merampas apa yang bukan menjadi hak kami.” Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa Gandum Sebesar Telur ini sebagai Sastra Indonesia dan si lelaki, ayahnya, dan kakeknya ini sebagai semangat zaman kemunduran kehidupan manusia di dalam Sastra Indonesia.
Selain Tolstoy, tentu kita sama-sama ingat kritik menohok yang ditulis Kuntowijoyo dalam novelnya yang bertajuk “Pasar”. Bahwa tidak ada kedamaian dalam kehidupan manusia – Sastra Indonesia – dewasa ini. Orang-orang senantiasa bertikai menyoal perut. Pagi bicara perut. Siang bicara perut. Sore bicara perut. Malam bicara perut. Seakan-akan, kehidupan hanya tentang perut. Mereka lupa bahwa ada yang menyebabkan kelaparan. Bagiku, begitu juga dengan Sastra Indonesia sekarang ini. Kenaifan mereka terhadap rezim dan realitas yang disebabkannya dan ketakutan mereka terhadap kelaparan telah membuat mereka karib dengan pelacuran dan tindakan hina lainnya. Tanpa sekali pun, atau barangkali sudah hilang, komitmen keberanian dalam diri mereka untuk keluar dari watak patronistik dan kapitalisasi teks. Kehidupan mereka seakan mengikuti konstruksi laku konsumtif yang apabila tidak melacurkan diri, mereka akan ditolak para tetangga atau mati kelaparan sebelum menjadi selebritis koran dan pasar, tentunya. Demikianlah, seiring gelisah menggumpal di dada masing-masing, Lamongan tetaplah tenggelam dalam aroma busuk limbah B3.
Surabaya, Juni 2021
One Reply to “Catatan Perjalanan untuk Menepis Kesia-siaan (I)”