Aprinus Salam *
Anggaplah keberadaan Indonesia mulai disepakati pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Bisa juga lebih awal sedikit pada masa kebangkitan nasional 20 Mei 1908, walau baru bersifat kesepakatan beberapa organisasi baik atas nama agama atau sosial-ekonomi.
Pada masa sebelumnya, belum ada kesepatakan yang secara eksplisit mengatasnamakan bangsa Indonesia. Bahkan sebagian masih menyebutnya sebagai wilayah atau kerajaan di Jawa, Sumatra, dan sebagainya.
Lebih dari itu, secara resmi Indonesia (NKRI) hadir pada 17 Agustus 1945. Belajar dari sejarah, pada masa-masa sebelum terbentuk Indonesia terjadi banyak konflik, perang, dan secara inheren terdapat pengkhiatan di dalamnya. Pertanyaannya adalah siapa yang pengkhianat dan siapa yang dikhianati?
Perang-perang internal di wilayah Nusantara sudah terjadi sejak zaman berdirinya kerajaan-kerajaan awal. Dapat diperhitungkan sejak abad ke-4 Masehi hingga hingga abad ke-15, telah terjadi berbagai perang dan pengkhinatan. Kita tidak bisa menyebutnya sebagai pengkhianat terhadap bangsa Indonesia.
Setelah itu, ada intervensi bangsa asing ke wilayah-wilayah Nusantara (artinya pulau-pulau dan kerajaan di Nusantara lebih dulu ada daripada NKRI). Apakah kemudian bangsa asing sudah bisa disebut sebagai penjajah bangsa Indonesia, jika gagasan tentang kebangsaindonesiaan baru hadir pada tahun 1900-an.
Kembali mengingat beberapa kejadian yang disebut pengkhianatan. Dalam setiap perang melawan intervensi asing, sebagai misal perang di Sulawesi, Jawa, Sumatra, Kalimantan, hingga perang-perang lain di Maluku, Bali, dan sebagainya selalu muncul kisah pengkhianatan. Apakah para pengkhianat tersebut bisa disebut mengkhianati bangsa Indonesia?
Kisah perang Makasar, perang Diponogoro, perang Iman Bonjol, dan berbagai perang di wilayah Nusantara menghadapi intervensi asing, selalu ada konflik internal dalam menghadapi intervensi asing. Konflik internal tersebut bisa didahului oleh pengkhianatan, tetapi bisa saja pengkhianatan terjadi setelah konflik internal (karena berbagai sebab) dalam satuan kerajaan atau kesultanan tersebut.
Sebagai akibatnya, banyak kerajaan pecah menjadi kerajaan-kerajaan yang lebih kecil. Sebelum masa intervensi Belanda, Sriwijaya dan Majapahit pecah dan terbagi. Setelah masuk Belanda, kerajaan-kerajaan di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, hingga beberapa kerajaan lain di pulau-pulau yang lebih kecil berhadapan dengan “penjajahan” Belanda.
Saya perlu mengklarifikasi apa itu pengkhianatan. Pengkhianatan terjadi jika ada pelanggaran terhadap “kesepakatan suci dan simbolik”. Kesepakatan tersebut bisa bersifat lisan dengan ritual tertentu, bisa bersifat tertulis, baik dalam satuan internal masyarakat tertentu, atau antara dua kelompok atau lebih dalam masyarakat yang berbeda basis keberadaannya.
Kata kuncinya adalah adanya pelanggaran, pencurian, perampokan, penyelewangan terhadap kesepakatan suci yang telah ditetapkan atau ditentukan.
Kesepakatan tersebut pun basisnya berbeda. Bisa berdasarkan agama, suku, ras, negara, bangsa, bahasa, dan nilai-nilai lain yang disepakati, termasuk di dalamnya berdasarkan batas-batas kekuasaan suatu kerajaan, kesultanan, negara, dan sebagainya yang menaungi kesepakatan itu tersebut.
Dengan demikian, jika pada masa intervensi asing ada pihak yang berpihak atau bersekutu dengan pihak asing, pihak tersebut tidak bisa disebut sebagai pengkhianat terhadap bangsa Indonesia.
Siapa pun pada masa-masa ketika bangsa Indonesia belum ada, mereka berhak bersekutu dengan siapa saja, dan belum tentu disebut sebagai pengkhianatan.
Pengkhianatan terjadi terutama dalam rangka adanya pelanggaran berdasarkan basis atau standar nilai yang mana. Jadi, bisa saja pengkhianatan terhadap kesepakatan beragama, bersuku, berras, atau berdasarkan kesepakatan internal berbasis kekuasaan tertentu.
Misalnya sejarah perjalanan kekuasaan atau kerajaan Mataram (setelah periode penetrasi Belanda). Berdasarkan catatan, perang atau konflik menjadi bersegi-segi, baik konflik internal maupun konflik eksternal (berhadapan dengan pihak asing).
Selalu di dalamnya ada yang disebut sebagai pengkhianat terutama ketika ada pihak yang bersekutu dengan Belanda, atau bersekutu dengan pihak-pihak yang dianggap musuh.
Akan tetapi, pengkhianatan tersebut tidak dapat, dalam perspektif sekarang, disebut sebagai pengkhianatan terhadap bangsa, apalagi negara, Indonesia. Banyak perang dan konflik persoalan utamanya adalah rebutan kekuasaan. Siapa yang menang, kelak mereka dapat saja dianggap lebih benar.
Sekali lagi, pengkhianatan terjadi berdasarkan apa yang dilanggar. Jika ada kerajaan tertentu perang dengan kerajaan tetangga, kemudian salah satu pihak bersekutu dengan pihak asing, maka dalam perspektif perang dan kekuasaan, bahkan sebenarnya tidak ada yang dilanggar. Kerajaan tertentu berhak mempertahankan kekuasaannya dalam berbagai cara.
Pengkhianatan terjadi justru yang menyebabkan perang internal itu sendiri karena ada pelanggaran di dalamnya, yakni kesepakatan untuk hidup bersama dalam kerukunan dan kedamaian.
Dengan demikian, berbagai kategori yang kemudian dikenal sebagai pengkhianatan terhadap bangsa Indonesia perlu diklarifikasi kembali. Pengkhianat sebelum Indonesia hadir mendapatkan konteks yang sesuai dengan sejarahnya. Siapa pengkhianat dan mengkhianati apa dan siapa.
7 Juni 2021
*) Dr. Aprinus Salam, M. Hum., Sastrawan kelahiran Riau, 7 April 1965. Dosen FIB UGM, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013, Anggota Senat Akademik UGM 2012-2016, Konsultan Ahli Dinas Kebudayaan DIY (2013-2016). Pendidikan S1, Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM (Lulus 1992), S2 Program Studi Sastra Pasca Sarjana UGM (Lulus 2002, salah satu wisudawan terbaik), S3 Program Studi Sastra (Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM, lulus 2010). Alamat website https://aprinussalam.com/