Taufik Ikram Jamil *
Riau Pos, 18 Des 2011
SUARA gambus, berjalin dengan akordion, marwas, dan bebano, yang melantunkan nada zapin, terdengar lincah di bawah cahaya temaram. Tak seberapa lama kemudian, dua remaja —beranting-anting dan bercelana ketat sampai ke lutut dengan kemeja yang molor pula— muncul dari arah berlawanan. Saling lambai dan senyum, mereka kemudian membuat gerak-gerak patah di kaki maupun tangan yang oleh “anak gaul” kini disebut dengan modern dance, seperti menyambut suara dari alat musik tradisional Melayu itu.
Tak pelak lagi, riuh-rendah terdengar menyambut perpaduan tradisi-temporer tersebut dalam Pentas Musik “Blacan Aromatic”, di Anjung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru, Jumat dan Sabtu (11/12/11). Penonton yang memenuhi gedung dengan kapasitas lebih dari 500 orang itu, sebagian besar memang remaja, hampir satu jam disuguhkan dengan musik Melayu garapan baru, dimainkan oleh 20-an orang yang juga masih belia dalam delapan komposisi musik dengan tajuk Kayuh Segala Muara.
Tari gaul yang pada dasawarsa terdahulu lebih suka disebut break dance itu, tampak tidak saja menyatu dengan musik zapin, tetapi juga tari zapin. Dengan gerak-gerak patah yang membuat garis sejajar dan berpencar, Iwan dan Dani —dua penari dimaksud— mengambil beberapa langkah yang dikenal dalam tari zapin tradisional seperti langkah anak ayam patah maupun alif. Mereka misalnya, melangkah dengan menekuk kaki yang bertumpu pada satu titik, kemudian berbalik dengan tangan mengembang seperti meniru gerakan kepak elang sedang terbang.
Bagi komposernya, Zalfandri, adegan yang hanya berlangsung sekitar lima menit itu, agaknya untuk memberikan aksentuasi bahwa musik Melayu tidak beku dan terpaku dengan pakem tradisi. Tidak hanya untuk didengar dan dilihat dalam pentas musik, cabang seni tersebut dapat mengiringi kecenderungan tarian remaja masa kini yang begitu hidup di sekolah-sekolah maupun di tempat umum semacam mall dan pinggir jalan. Musik zapin dengan gambus sebagai alat utamanya selama ini seperti hanya untuk acara adat, dan formal belaka.
Tentulah Zalfandri atau akrab dipanggil Matrock, ingin bersapaan dengan remaja kini terutama melalui musik itu sendiri. Alumni AKMR (Akademi Kesenian Melayu Riau) ini berusaha untuk memberi gambaran bahwa musik Melayu tidak hanya mendayu-dayu, tetapi dinamis dengan menyertakan suara drum, bas, dan gitar eletrik. Mereka gunakan pula berbagai kostum dari hanya berkain sarung sampai memakai dasi.
Ia juga memberi keluasan untuk mengeksplorasi alat musik tradisional Melayu. Ini juga tak mengurangi decak penonton, misalnya ketika jari-jemari Adi menggelinding di atas kulit bebano (gendang besar) yang menghasilkan suara menderu. Begitu juga ketika Rido membunyikan akordion yang tidak seperti biasa yakni dengan memijit tutsnya, tetapi justeru menggunakan kepalan tinju.
Tragedi, kepiluan, dan kelucuan, begitu menyentuh ketika Matrock “beradu” gambus dengan penggambus jemputan dari Riau Rhythm Chambers Indonesia, Rino Dezapaty Mby. Suara gambus yang dimainkan Rino meninggi misalnya, disambut dengan nada rendah oleh suara gambus yang dipetik Matrock —begitu pula sebaliknya dengan berbagai variasi. Di bawah judul Hungkal in A Minor, pada satu momen, Rino memetik gambus dengan musik latar film Unyil setengah bar misalnya lagi, disambut dengan petikan gambus Matrock yang berderai.
Alkisah, Matrock juga menjadikan garapan ini sebagai media berpikir dan perenungan, setidak-tidaknya ketika Riau berhadapan dengan pembangunan yang tidak adil. Judul-judul komposisinya seperti Membaca Riau, Jelatik, Ganjil Plus Drop Out, Menabuh Amuk, dan Serap, sejak awal menyiratkan hal itu. Di bawah judul Menabuh Amuk, ia bahkan sampai melantunkan lirik: ke mana nak pergi/ ke sungai tak dapat menjaring, ke darat getah dah ditebang.
Tentulah masih banyak yang harus diperbaiki oleh kelompok ini untuk penampilan berikutnya. Pengaturan panggung dan pencahayaan misalnya, tak bisa dianggap nomor dua karena mau tak mau, pentas musik berada dalam ranah seni pertunjukan. Acapkali misalnya, cahaya tidak mendukung suasana yang hendak dihidangkan. Katakanlah ketika komposisi Serap (trance) ditampilkan, suasana mencengkam kurang hadir karena cahaya lampu yang benderang biasa.
Cuma jangan-jangan, fasilitas pendukung semacam itu memang sengaja “dibiarkan” Matrock, seperti begitu juga keadaan alat pendingin yang tak hidup—untung hari hujan sehingga tak begitu panas—untuk memperlihatkan betapa minimnya fasilitas di gedung yang dibangun dengan menghabiskan dana lebih dari Rp 200 milyar ini; di provinsi kaya yang hendak menjadikan dirinya sebagai pusat kebudayaan Melayu tahun 2020, he he he…
*) Taufik Ikram Jamil, sastrawan, tinggal di Pekanbaru.