Terus Menulis untuk Kesehatan Jiwa


Djoko Saryono *

Pagi tadi, sabtu yang basah oleh hujan malam, sekira pukul 06.00, kepadaku ayah menelepon. Dia menginformasikan bahwa sudah selesai menulis (tangan) satu naskah buku lagi — ayah malah tak bisa mengetik dengan mesin ketik, apalagi menulis dengan laptop. Buku kedua tahun ini yang dapat ditulisnya. Buku itu diberi judul Gaya Bahasa Indonesia. Naskah ini akan jadi buku kelima Seri Terampil Menulis Bahasa Indonesia.

Selain menjura, tentu saja aku bersyukur tiada kira. Pertama, karena dalam usia memasuki 88 tahun ayahku masih sehat, bugar, dan produktif menulis tangan (menulis halus). Dengan tekun dan telaten membaca dan menulis setip hari, dia dapat selalu menghasilkan 1 naskah buku selain bisa menjaga kesehatan terus prima. Baginya, membaca dan menulis telah menjadi medium membuat prima diri (pikiran, perasaan, dan raga).

Kedua, karena kreativitas dan produktivitas menulis (sebagai bagian terpadu membaca) ayahku senantiasa membuahkan hasil yang bermaslahat bagi orang lain selain manfaat bagi diri sendiri — manfaat jasmaniah, batiniah dan intelektual. Dalam usia lanjutnya ayahku masih memberikan kemanfaatan sosial dan intelektual atau ilmiah. Pendek kata, dalam batas kemampuannya, secara pribadi dan diam-diam ayahku masih bisa mendukung gerakan literasi atau kebijakan literasi yang paling dini dan dasar, yaitu literasi baca-tulis. Naskah buku yang baru selesai ditulisnya ini bisa menjadi panduan agar kita mahir atau cakap menulis dalam bahasa Indonesia.

Oleh karena itu, aku segera melesat ke rumah ayahku (yang hening di tengah kegaduhan suara) mengambil naskah buku Gaya Bahasa. Begitu tiba di ruang kesayangan ayah, sudah kulihat di meja setumpuk naskah buku yang ditulis tangan demikian rapi. Terus terang, saya tak sanggup menulis tangan seperti ayahku. Bayangkan, ratusan halaman folio bergaris berisi aksara-aksara bermakna guratan ayah. Orang sekarang menulis tangan 5 halaman saja sudah tak sanggup atau minimal akan mengeluh di samping hurufnya juga centang perenang. Ratusan halaman folia guratan ayahku bagaikan meledekku — kenapa aku tak bisa mendapat dua hal sekaligus, yaitu menghasilkan naskah buku sekaligus mendapat kesehatan-kebugaran.

Naskah buku kuterima sambil terus berbincang dengan ayahku. Kudengarkan ayahku berbicara hal-hal yang ingin dimasukkan dalam naskah buku, namun belum terlaksana (“kesampaian”). Misalnya, gaya bahasa yang umum ditemukan dalam bahasa Jawa, namun jarang disimak ada tidaknya dalam bahasa Indonesia. Usai berbicara, saya menyela, “Sudah nanti saja yang lain ditambahkan. Ini dulu saya ketik.” Kubawa naskah buku Gaya Bahasa untuk segera saya ketik menggunakan laptop.


26 Juni 2021

*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Leave a Reply

Bahasa ยป