Anak Inkubator

Yonathan Rahardjo *
Suara Karya, 19 Jan 2008

Bayi mungil itu meringkuk di dalam inkubator. Ia bernafas cukup berat, kembang-kempisnya dadanya yang di dalam rongganya meringkuk jantung dan paru-paru. Menjadi pratanda betapa organ-organ vital bagi si anak manusia yang baru dilahirkan ibundanya itu mesti menghadapi dunia yang belum tentu ramah pada kehadirannya.

Ibunya masih tergeletak di tempat tidur rumah sakit. Wajahnya yang dalam kondisi sehat berrona hitam manis semu kemerahan bila menunjukkan suatu reaksi sikap tertentu, kini pucat. Leher yang menyangga kepalanya tak bisa menolak ketika kepalanya yang pada tempatnya ditumbuhi rambut bergelombang itu terkulai lemas.

Ayahnya-lah yang harus menunjukkan sikap kasih sayang super penuh untuk menjadi penghubung antar insan yang disayanginya itu dengan insan-insan lapis kedua dan ketiga dalam lingkaran kehidupan mereka.

“Lik, anakmu bagaimana?”

“Masih di inkubator, Bu De..”

“Bagaimana ibunya?”

“Masih di ruang bersalin.”

Rona panik terpancar dari roman muka mereka. Perempuan yang bertanya kepada ayah anak mungil yang baru lahir itu pun menjadi salah satu pemerhati, bersama seorang lelaki, suaminya. Mereka menyediakan waktu untuk menjenguk mereka setiap hari. Bersama keluarga dan teman kedua orang tua si bayi.

Bobot si bayi yang di bawah rata-rata, dengan kekuatan jantung yang kerjanya mengkhawatirkan, mau tidak mau menyandera mereka untuk intensif ulang-alik rumah tinggal-rumah sakit.

Begitu waktu cepat berlalu.. Beberapa tahun kemudian anak inkubator yang lemah itu sudah tumbuh menjadi remaja yang gesit. Namun tetap saja ia disebut dengan julukan anak inkubator.

Suatu sore, ibunya yang telah melahirkan dengan susah payah di rumah sakit bingung.

“Di mana anakku?”

Ketidakadaan anaknya di rumah merupakan teka-teki. Anak masih belum dewasa, sudah lenyap tanpa ada pemberitahuan.

“Mungkin di rumah temannya.”

Tapi teman yang mana?

Perempuan itu pun bersama suaminya, mencari tahu pada anak yang dikiranya temannya. Tidak ada. Ternyata anak inkubatornya punya teman banyak. Dan belum tentu anaknya bersama salah satu di antara mereka. Hingga terbercik kabar, salah satu dari teman anak mereka itu telah pergi bersama ke ibukota propinsi. Naik kereta.

Maka lebih paniklah kedua orang tua itu. “Telepon Mas, Puteranya Bu De.”

Mas, keponakan mereka yang di ibukota provinsi pun menjadi tumpuan ikut dalam pencarian. Ia yang dianggap tahu seluk-beluk kota metropolitan itu pun membuang agendanya yang bisa diganti dengan agenda pencarian anak inkubator, adik sepupunya itu.

Keponakan orang tua itu memastikan ke mana sesungguhnya adik sepupunya itu kelayapan tak tentu rimba di kota besar macam ibukota provinsi. Dianggapnya adiknya masih terlalu kecil untuk bisa menghadapi hiruk-pikuk kota besar yang hanya mengenal orang-orang besar. Itu dalam pandangan rata-rata di keluarga mereka.

Namun, Mas anak Bu De Padahal berpendapat dengan relatif lebih mudahnya masyarakat memperoleh bahan makanan sumber gizi, kedewasaan fisik dan hormonal yang berpengaruh pada kedewasaan sel-sel otak anak inkubator akan menjadikannya pun lebih cerdas dari perkiraan orang tuanya yang mengkhawatirkan ketidakberdayaannya menghadapi keganasan kota. Meski, anak inkubator sudah lebih dari dua hari tidak pulang ke rumahnya di sebuah kota kecamatan kawedanan di antara Kota Besar dengan Kota Kecil kampung halamannya.

Mas anak Bude menjadi orang paling sibuk hari itu. Mas mencari adiknya di setiap sudut stasiun Kota Besar, Stasiun kereta api yang besar dan sibuk mengantar kepergian dan kedatangan orang dari dan ke arah barat pulau mereka. Menurutnya, kekhawatiran kedua orang tua anak inkubator sangat beralasan karena ia adalah anak satu-satunya. Ia pun masih tergolong darah dekatnya. Maka ia harus mendapatkan adik sepupunya dalam keadaan selamat dan baik-baik saja, kalaulah anak inkubator di stasiun itu.

Kedatangan dan kepergian kereta api di stasiun peninggalan penjajah Belanda itu ia rasakan dengan penuh selidik, apakah ada adiknya di tempat-tempat stasiun itu. Sejak matahari masih bersinar garang sampai yang berkuasa adalah keremangan dan kegelapan di tiap sudut stasiun yang tidak tersirami lampu, ia coba lebih teliti.

Di antara kerumunan penumpang yang datang dan pergi, ia harapkan tampak kepala adiknya yang rambut di kepalanya hitam kemerahan itu.

Pencarian Mas berbuah kesia-siaan karena adiknya itu tidak ia temui di stasiun itu. Ia laporkan hasil pencariannya pada ibunya di Kota Kecil melalui pesawat telepon yang saat itu kebetulan belum lama dipasang di rumah di Kota Kecil itu.

Tidak ada telepon genggam di tangannya masa itu membuatnya tak menerima kabar terbaru bahwa ibunya beberapa detik lalu baru mendapatkan kabar dari ibu anak inkubator. Bahwa, anak itu telah kembali ke rumah.

Benar, anak inkubator yang sepupunya ternyata telah menuju ke Kota Besar bersama temannya untuk nonton pertandingan sepakbola. Tetapi, cuma sampai stasiun ia pun kembali lagi ke kotanya, karena pertandingan antara Kesebelasan Kota Besar dengan Kesebelasan Kota Satelit ditunda. Anak inkubator telah pulang dengan pengakuannya.

Kelegaan orang tua itu telah berhari-hari, berbulan-bulan dan bertahun-tahun terlewati. Anak inkubator yang anak SMP itu telah menjelma menjadi pemuda perguruan tinggi di Kota Besar yang harapan orangtuanya bisa menjadi tumpuan hati mereka untuk suatu kedamaian dan ketenangan dalam lautan samudera harapan orang tua yang telah jungkir balik bernafkah untuk berteduhkan rumah besar dengan langit-langit tinggi.

Demikian juga, Mas sudah bekerja di Ibu Kota Negara. Saat inilah peristiwa hilangnya anak inkubator kembali lagi terjadi dalam versi terbaru. Ia hilang lagi ke Ibu Kota Negara untuk menonton pertandingan sepakbola antara Kesebelasan Kota Besar melawan Kesebelasan Ibu Kota Negara. Dan ia memang telah memberitahu orang tuanya, namun waktu keberangkatannya adalah seperti waktu kepergian pencuri.

Tiba-tiba saja ia telah di Ibukota Negara, tanpa uang yang cukup untuk perjalanan pulang-pergi Kota Besar-Ibu kota Negara. Tahu-tahu ia sudah di Stasiun Ibu Kota Negara dan seusainya nonton pertandingan bersama teman-temannya ia masih sempat ke rumah Paman Muda di Ibu Kota Negara.

Waktu pun berlalu. Sampai masa HP sudah memasyarakat.

Kakak sepupu tadi menerima telepon dari nomor yang tak dikenalnya, kode dari Ibukota Provinsi. Anak inkubator menelepon dari suatu tempat, bukan dari HP-nya sendiri yang telah non aktif terlambat masa isi ulang!

Suara adiknya itu masih cukup dikenalnya, apalagi terbantu untuk mengenal ketika ia menyebut siapa dirinya, “Saya, Mas..”

“Ada apa Dik?”

“Mas, saya minta maaf, ngganggu.”

“Apa ?”

“Boleh minta bantuan Mas?”

“Apa..?”

“Eemm.. Mas nggak marah?”

“Nggak…. apa dulu..?”

“Nggak marah kan?”

“Nggak..”

“Emm..”

“Apa Dik..”

“Saya mau meminjam uang.. boleh?”

“Berapa dulu..”

“Lima ratus ribu.”

“Untuk apa?”

“Untuk mbayar skripsi..”

“Hmmm.”

“Bagaimana Mas?”

“Ya, kalau nggak segitu nggak papa kan Dik..” “Emm..”

“Kalau saya nanti usahain seratus, nanti yang lain saya kontak dulu sama Om dan Mas yang lain,”.

“Emm..”

“Ngirimnya ke mana?”

“Ke rekening temanku.”

“Kok nggak rekeningmu..?”

“Nggak punya.”

“Rekening temanku nanti ku SMS Mas..”

“Tapi nggak lima ratus nggak papa kan..”

“Nanti ku SMS Mas.”

‘Gila, anak ini, pinjam uang tapi minta dikirim ke rekening temannya. Bukan rekeningnya sendiri.’

Kakak sepupu itu pun menelepon omnya yang disebut namanya oleh anak inkubator itu.

“Gini Om, anak inkubator habis telepon aku, ia minta tolong dikirimi uang lima ratus ribu?”

“Untuk apa katanya?”

“Skripsi.”

“Lho, bapaknya gimana?”

“Kelihatannya nggak tahu, ia minta supaya jangan memberitahu bapaknya.”

“Pak De gimana?”

“Saya belum telepon, saya cuma katakan akan coba ngasih tahu Om, barangkali nanti biasa minta bantuan Om juga. Jadi enaknya gimana Om?”

“Jangan-jangan anak itu memakai untuk yang bukan-bukan.”

“Ya, dia suka ngrokok.”

“Gawat, pengaruh lingkungan yang buruk.”

“Ya, bahkan mungkin lebih dari itu.”

“Apa itu Mas?”

“Mungkin main cewek.”

“Wah, gawat. Makin nggak bener.”

“Jadi gimana Om?”

“Nanti kalau kita kasih tanpa tahu bapaknya malah nggak ndidik.”

“Iya.”

“Coba tanya Bapak dulu Mas, supaya kita nggak salah langkah.”

“Iya Om. Aku juga katakan pada anak inkubator itu bahwa mungkin aku bagi peran sama Om dalam sumbangan untuknya itu.”

Telepon menelepon seperti itu pun ia lakukan segera dengan bapak Mas sendiri. Ia segera menelepon Kota Kecil.

Jawabnya bisa diduga.

“Nggak usah. Bocah nakal, pasti uang yang dikasih Bapaknya sudah dipake njajan dan ngrokok. Main aja. Nggak usah. Nggak Ndidik. Nanti biar Bapaknya dikasih tahu Bapakmu,” ibu Mas mengutarakan ini di telepon.

Dan mereka semua sepakat, “Nggak perlu manjain bocah nggak bener.”

Seperti yang dijanjikan, beberapa hari kemudian anak inkubator menelpon kakak sepupunya, ia langsung menanyakan apa Mas sudah mengirim uang ke rekening tabungan temannya.

“Nggak bisa Dik. Aku nggak punya uang.”

Anak inkubator kecewa, ternyata kakak sepupunya tidak perhatian padanya.

“Kurang ajar,” matanya berkaca-kaca, “Harus kepada siapa lagi aku minta bantuan?”

Ia SMS ke Om-nya, pamannya ini juga lebih dulu tanya Bapak Mas di KotaKecil. Tentu saja masukan dari Bapak sama dengan yang disikapkan oleh ibu. Mereka telah membicarakan hal ini.

Anak inkubator terpukul.

“Kurang ajar, saudara-saudaraku tidak ada yang mendukungku.”

Yang terjadi malah ia ditanyai Bapaknya, bahkan disemprot habis-habisan.

“Untuk apa uang yang sudah bapak kasih untuk melunasi biaya skripsi itu?!” perlawanan kata mulai dari sikap lunak sampai tindakan keras.

Ibunya membela lagi dengan jalan tengah. Dosen anak inkubator yang mengurus skripsi sudah ditanyai di Kota Besar. Memang belum menerima uang skripsi itu. Tak ada jalan lain, Bapaknya langsung membayarkannya.

Semoga skripsi anak inkubator segera kelar.

Tak berapa lama kemudian anak inkubator pun menggondol gelar sarjana. Ia kembali dekat dengan kakak dan om-nya yang telah menolak memberi bantuan lima ratus ribu rupiah. Ia bekerja di kota yang sama, di Ibu Kota Negara. Terlepas ada bantuan atau tidak dari kakak sepupu dan om-nya itu, anak inkubator kemudian berhasil bekerja dengan penghasilan yang besarnya jauh melebihi besar penghasilan Mas, kakak sepupunya dan om-nya yang menolak memberi bantuan uang krisis untuk skripsi pada sang bayi inkubator.
***

*) Yonathan Rahardjo, kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur 17 Januari 1969. Karya-karyanya diantaranya: Novel: Lanang (2008), Taman Api (2011), Wayang Urip (2012), Anak Turun Airlangga (2019), Pertobatan Seorang Golput (2019), Antologi Cerita Pendek: 13 Perempuan (2011), Antologi Puisi: Jawaban Kekacauan (2004), Kedaulatan Pangan (2009), Ilmiah Popular dan Jurnalistik: Avian Influenza, Pencegahan dan Pengendaliannya (2004), Air Sehat untuk Ternak Ayam (2012), Mengatasi Stres Ayam (2012), Flu Burung, Kajian dan Penanggulangan (2014), Beternak Ayam Petelur (2016), Sejarah Sastra dan Literasi Bojonegoro (2018).

Leave a Reply

Bahasa ยป