Seharusnya seluruh bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Surabaya dan Jawa Timur, berbahagia karena salah seorang putra terbaiknya baru diakui pemerintah sebagai pahlawan. Siapa dia? Tidak lain adalah Sutomo, yang lebih dikenal dengan panggilan Bung Tomo. Ketika penjajah Belanda dengan sekutunya mau merebut kembali bumi Indonesia yang telah merdeka, Bung Tomo memimpin perlawanan, berperang melawan penjajah. Bumi Surabaya disirami darah para pahlawan yang tidak sudi negeri ini kembali menjadi tanah jajahan. Begitu banyaknya para pejuang yang gugur sebagai kusuma bangsa, maka pada 10 November 1945 dikukuhkan pemerintah sebagai Hari Pahlawan.
Sebelum Bung Tomo ditetapkan sebagai pahlawan pada 10 November 2008, banyak orang yang merasa heran karena Hari Pahlawan yang diperingati sudah lebih 60 kali itu, pemimpin dan penggeraknya tak kunjung diakui sebagai pahlawan. Itulah anehnya sejarah di negeri ini. Padahal, pahlawan-pahlawan yang lain –ada yang baru beberapa tahun meninggal– sudah ditetapkan sebagai pahlawan. Mungkin, karena sejarah dan kepahlawanan yang dianut sebuah rezim punya seleranya sendiri. Kadang, sejarah dan kriteria kepahlawanan ada muatan politisnya. Akhirnya sejarah tidak lagi mencerminkan sebuah fakta, tapi berdasarkan selera, sehingga kalau ada rezim berganti, buku sejarah yang diajarkan kepada anak di sekolah pun perlu diganti.
Meskipun terlambat, orang-orang yang punya pandangan murni tentang kepahlawanan dan memandang sejarah dengan kacamata nurani merasa lega, gembira, dan bersyukur, karena pencetus peristiwa ”10 November 1945” itu akhirnya diakui sebagai pahlawan. Selama sekian puluh tahun, sejak wafatnya Bung Tomo di Arafah, Arab Saudi, pada 7 Oktober 1981, para pengagumnya selalu bertanya, kapan Bung Tomo diakui sebagai pahlawan?
Agar sedikit mendapat gambaran tentang peristiwa pertempuran 10 November 1945, saya kutipkan surat Bung Tomo kepada Bung Karno (presiden saat itu) yang bertanggal 30 Mei 1966:
”Bung Karno, karena dasar Negara RI adalah Pancasila, maka pada tahun 1945 kita telah menyaksikan betapa hebatnya segenap bangsa Indonesia mempertahankan negara yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus itu!
Seolah-olah pecahan-pecahan bom, mortir, dan granat hanya merupakan mainan belaka. Peluru-peluru musuh yang dihambur-hamburkan dari kapal-kapal perang dan pesawat-pesawat terbang seakan-akan hanya dirasakan sebagai hujan gerimis belaka!
Saya menjadi saksi, Bung Karno, bagaimana di Surabaya kyai-kyai dan orang-orang muda Islam tak gentar menghadapi musuh yang jauh lebih kuat persenjataannya, banyak di antara mereka gugur dengan seruan ”ALLAHU AKBAR” disertai semangat jihad fi sabillilah yang tidak ada taranya.
Saya pun menyaksikan bagaimana anak-anak Maluku yang beragama Kristen mempertahankan Kota Surabaya di garis yang terdepan, mereka dengan posisi berdiri tegak memuntahkan peluru-peluru senjata mereka ke arah serdadu-serdadu Inggris dan Belanda yang bergerak maju sehingga gentar serdadu-serdadu asing tersebut!”
Itulah gambaran 10 November 1945 menurut pelaku yang memimpin di tengah-tengah kancah peperangan itu. Dari surat di atas, jelas bahwa Bung Tomo adalah orang yang berani dan berpandangan luas. Ia memang sebuah pribadi yang menarik, dan lebih dari itu, cerdas. Bayangkan, di usia 27 tahun ia dilantik Presiden Sukarno sebagai anggota pucuk pimpinan Tentara Nasional Indonesia dengan pangkat Mayor Jenderal (sama dengan Brigadir Jenderal sekarang).
Seandainya Bung Tomo tidak diakui secara formal sebagai pahlawan, karena ia memang tidak menuntut gelar dan penghargaan, secara substansial ia telah menjadi pahlawan sejati sejak 10 November 1945.
Kita sekarang merindukan orang-orang yang cerdas, cinta bangsa sampai ke tulang sumsum, yang di usia di bawah 30 tahun bisa dipercaya menjadi pemimpin sekaliber Bung Tomo.
***
*) D. Zawawi Imron, lahir di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep. Dia mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tahun 1982.