Catatan Perjalanan dan Kesunyian di Makam Sunan Giri (V)

Muhammad Yasir

Aku pernah memelihara seekor anjing kampung, anjing pemburu, yang tidak perlu diperdebatkan kehandalannya. Semula, anjing itu milik seorang pemburu tua di tanah-airku. Karena melihat aku kerap memberi makan anjing itu, pemburu tua itu memberikannya padaku. Dan, dalam waktu tidak lebih dari dua bulan, aku menjadi anjing itu, pun sebaliknya. Kami menjadi akrab dan sukar dipisahkan. Sebagaimana anak pedalaman dalam kepala seorang presiden dan kekuasaan, aku memberi nama anjing itu Lenge; taringnya tajam dan tidak pernah mendapatkan ajaran berkuasa yang baik. Namun demikian, setahun berlalu, Lenge terpaksa kubunuh dengan racun agar tidak dibunuh tangan para tetangga yang ketakutan, karena anjing-anjing pemburu di sana nyaris semua terserang rebias alias anjing gila. Tidak ada doa, tidak ada pemakaman, dan tidak ada airmata untuk perpisahan ini. Aku membiarkan Lenge hidup dalam pikiran dan nuraniku saja.

Di Gresik, belasan tahun kemudian, aku tiba di makam seorang yang telah lama mati dalam kemuliaan, Sunan Giri. Karena hidup dalam kebiadaban dan kebajingan, aku tidak mengenal siapa dan bagaimana perjuangan Sunan Giri di masa lalu – kukatakan kepada engkau seorang bahwa aku tidak pernah dididik untuk mengenal masa lalu, karena hari ini dan masa depan (kuketahui kemudian) adalah perjalanan menuju kematian sebagai apa dan bagaimana serta berapa hargaku di dunia yang seperti wajah jelekku ini. Namun, aku telah bertekad untuk menyambangi satu per satu makam para pejuang Islam ini, bagaimanapun caranya. Dan, makam Sunan Giri, adalah makam pertama dalam perjalanan ini.

Betapa indah pagi itu! Jalanan Gresik-Lamongan, bunga-bunga, semak belukar, taman, rumah Tuhan, dan pabrik hidup berdampingan begitu damainya. Truk-truk besar tampak tidak mengalami kesulitan membawa kayu-kayu besar, entah dari mana. Bunga-bunga akasia berguguran, dari jauh hampir seperti jelaga. Semak belukar yang tidak selebat rambutmu, menyembunyikan bunga puteri malu. Taman tampak sepi, mungkin sebentar lagi akan dijadikan pemakaman umum. Rumah Tuhan yang mewah seperti Istana Negara, tergembok rapat, seakan-akan orang-orang sepertiku dilarang menginjakkan kaki ke sana! Pintu gerbang pabrik terbuka setengah, para buruh masuk seperti bebek petelur. Semua itu terjadi pada suatu pagi yang indah! Aku menyukainya dan menikmatinya dari sebuah warung kopi alakadarnya di tepi jalan perlintasan.

“Apakah engkau dari Kalimantan?!” Tanya seorang juru parkir ketika aku turun dari kuda besi dan menyulut sebatang rokok sebelum menuju makam Sunan Giri.

“Ya, karena tatoku?!”

“Ya! Bagus. Apakah aku bisa memilikinya juga?!”

“Tidak.”

“Mengapa?!”

“Karena engkau ingin memilikinya!”

Juru parkir itu masam setelah mendengar perkataanku. Aku bukan seorang yang pandai berbasa-basi; jika engkau ingin, lakukanlah! Jangan bertanya. Jika tidak, biarkan orang lain dengan urusannya sendiri! Setelah menghabiskan sebatang rokok, karena memang hanya ada sebatang itu, aku mulai berjalan menuju jalan masuk makam. Aku tidak menghitung berapa banyak anak tangga yang harus kulalui untuk sampai ke pintu masuk makam. Tidak penting juga bagiku. Yang paling penting adalah sensasi ketika aku melaluinya. Aku merasakan sepasang kakiku dingin dan agak bergetar. Di pertengahan, aku berhenti untuk memeriksa apakah celana jeans-ku basah karena embun. Ternyata tidak. Dan, angin hanya berhembus malas. Jadi sangat tidak mungkin jika itu disebabkan angin. Hingga aku sampai di pintu masuk makam, kini sekujur tubuhku dingin dan bergetar.

Namun aku mencoba melawan sensasi itu semampuku, hingga pada ujungnya aku tidak kuat dan terduduk di makam Sunan Giri, persis di pintu sebelah kiri. Sial, gumamku. Bagaimana aku bisa melupakan wudlu?! Lihat! Betapa biadab dan bajingannya seorang buta dan bebal ini. Aku bangkit, berjalan lemah menuju tempat wudlu, kemudian kembali lagi. Sensasi dingin dan getaran di tubuhku semakin hebat. Di sana, mungkin karena terlalu pagi, hanya penjaga makam tampak membersihkan setiap sudut area makam. Jadi, aku tidak perlu khawatir jika terjadi sesuatu padaku. Setelah selesai mendoakan yang baik-baik untuk Sunan Giri, aku tafakur; aku kenal tafakur dari al-Ghazali, seorang kawan di Pandaan, Pasuruan, memberi buku tentang itu padaku tahun lalu:

Sunan Giri… kedatanganku ke sini bukan sebagai seorang peziarah utuh. Maksudku, tidak ada doa-doa yang istemewa yang bisa kubacakan. Kukatakan kepada engkau, aku pernah memelihara seekor anjing pemburu, tetapi kemudian kubunuh karena aku tidak ingin orang lain membunuhnya. Aku seperti anjing pemburu itu. Hidupku kini berada di jalan perburuan; harap-harap dapatlah kuselamatkan diri sendiri demi makanan untuk keluarga kecilku yang kutinggalkan di Surabaya. Apakah engkau menerima kedatanganku? Jika tidak, beri aku tanda. Sesuatu yang buruk! Yang mengerikan! Lebih buruk dari doa seorang presiden dan lebih mengerikan dari orang-orang mati sebelum mendapatkan kemerdekaan. Segera beri aku tanda! Jika dingin dan getar pada tubuhku ini tanda bahwa engkau menerimaku, aku akan mengatakan sesuatu kepadamu:
dunia yang engkau tinggalkan kini menjadi dunia yang ramai dan tidak terkendali. Orang-orang yang kutemui, kaum lelaki, sepanjang hari membuat meja panjang untuk makan malam. Sementara kaum perempuan, memasak di dapur sembari menangis. Mereka semua menangis! Karena kelaparan?! Tidak. Aku merasakan diriku berada di perjamuan makan malam itu. Semua orang tampak murung dan mata mereka berkaca-kaca. Kaum perempuan kemudian datang dan menyuguhkan makanan yang tampaknya lezat bukan main. Benar saja! Aku menghabiskan semangkuk sup seperti kesetanan. Akan tetapi, setelah makanan habis termakan, seorang perempuan tua berdiri dan berkata: “Kita membesarkan mereka dengan cinta dan kasih, tetapi takdir membawa mereka ke panci dan wajan dan, oh! Katakan kepadaku, betapa lezat daging, lemak, dan tulang mereka ini! Bukan demikian?” Sontak, aku memuntahkannya, Sunan! Aku mencolok-colok tenggorokanku tapi tidak ada yang keluar. Jadilah aku sebagai pemakan mereka! Demi Tuhan.

Wahai Sunan Giri… aku telah menjadi bagian atau sesuatu yang menjijikkan! Apakah engkau akan menerimaku?! Beri aku tanda jika tidak. Dan, mengapa ketika aku bertanya demikian, dingin dan getar di tubuhku semakin menggila?! Apakah engkau akan… oh! Barangkali, Azazil tidak akan melepaskanku begitu saja. Apakah engkau… oh! Aku datang dari pulau seberang, Sunan. Sebuah pulau yang sedang menggeliat kesakitan tanpa suara. Aku mencoba melupakannya, tetapi dia adalah darah dan dagingku. Mereka hidup dan membuatku hidup. Namun hidupku, seperti engkau lihat! Tidak ada yang menarik dan tampak begitu menyedihkan. Ketidakmenarikan dan kesedihan ini kemudian dua tahun lebih yang lalu, mempertemukanku dengan seorang perempuan dari tanahmu; seorang perempuan yang menerima keadaanku; kebiadaban dan kebajingan. Dia kuat bertahan dan berjuang bersamaku. Engkau tahu, Sunan Giri, sebelum aku melakukan perjalanan ke sini, di atas kuda besi aku melelehkan airmata. Aku merasa kegagalan seperti bayangan diri sendiri. Ke mana kakiku melangkah, ke sana jua bayangan itu menuju. Tapi jangan engkau iba kepadaku! Aku bukan peziarah yang utuh. Doa-doaku untukmu hanyalah doa-doa yang kupaksakan, karena aku tidak bisa lagi selain itu! Jadi, kuharapkan engkau mengizinkan kehadiranku di sini.

Aku bangkit dan mulai meninggalkan makam, tetapi tidak dengan dingin dan getar pada tubuhku, hingga aku benar-benar meninggalkan makam Sunan Giri. Apakah ini semacam peringatan bahwa akan datang nasib baik kepadaku, pikirku meracau. Ketika menuruni tangga di jalan masuk makam, aku dapat menyaksikan bagaimana orang-orang Gresik akan segera habis tidak tersisa, seperti orang-orang yang pernah kutemui dalam perjalananku. Kemudian, di pintu keluar makam, sebelum berlalu pergi melaju di jalan raya, aku menoleh ke belakang. Dan, kurasakan, sensasi dingin dan getar di tubuhku mulai redam dimakan kesunyian. Sempat terpikir untuk tetap di sana barang sejam lagi, tetapi tidak. Perjalanan ini harus kulanjutkan agar tetap hidup. Dengar! Jalanan Gresik-Lamongan, bunga-bunga, semak belukar, taman, rumah Tuhan, dan pabrik bernyanyi menutupi kesunyian mereka sendiri!

Bersambung…

Surabaya, 2021

2 Replies to “Catatan Perjalanan dan Kesunyian di Makam Sunan Giri (V)”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *