Muhammad Yasir
Ada pohon besar yang tumbuh persis di tepi Sungai Elo dan Sungai Progo; dua sungai berair bening dan keruh – semacam simbol kehidupan orang-orang Indonesia Kecil masa lalu dan masa kini – yang bertemu dan mengalir bersamaan dan, aku pastikan, akan membuat engkau lupa tentang persoalan hidup, hingar-bingar kehidupan, dan kekacauan ekonomi dan politik di tanah terjajah ini. Telingamu juga akan mendengar dengan jelas riak dari pertemuan keduanya. Riak ini semacam seorang Agam Wispi tua yang sedang membacakan puisi “Pulang” untuk mendiang kekasihnya, Indonesia, dan pergulatan dirinya dengan kenyataan hidup sebagai seorang eksil di tepi kanal Amsterdam. Aroma rerumputan dan uap tanah ketika pagi hari tiba, seakan-akan mengharuskan siapa saja yang datang ke sana, duduk dan merenung – di sinilah kekuatan alam yang terkandung dalam sungai-sungai itu membawa engkau ke puncak kesadaran: engkau telah disangsikan sebagai seorang manusia, seorang Indonesia Kecil, asli dan kolot, dan kelemahanmu secara bersamaan akan digilas keheningan. Aku benar-benar menyukai ini. Maksudku, ketika aku melakukan permenungan di sana, dalam keadaan setengah sadar-setengah bermimpi, aku menikmati ejekan dari rerumputan dan kupu-kupu yang terbang bebas tanpa beban, walau hidupnya hanya seminggu saja! Jika engaku seorang pelukis dan kita bertemu di sini, aku yakin, engkau akan melukis keadaan ini lebih baik dari Joko Pekik dengan Berburu Celeng-nya itu. Kubayangkan, engkau akan melukis seorang anak kecil sebagai simbol kesucian dan kejujuran yang lahir dari riak sungai dengan roman wajah yang cantik dan belum dijajah tetek-bengek watak manusia terjajah yang jahat. Juga engkau akan melukis beberapa malaikat di bawah anak kecil itu sebagai simbol bahwa kesucian dan kejujuran, bagaimana pun kejahatan dan nafsu berkuasa menyerangnya, takkan mampu mencabut sehelai rambutnya pun! Oh, aku benar-benar menyukai keadaan di sini. Kelak, jika masih hidup seribu tahun lagi, aku akan mendirikan rumah di sini dan hidup bersama istri dan anak-anakku, tanpa dakwaan. Nasib buruk, biarkan sekali ini aku bermenung dengan tenang. Jangan melulu datang seperti kawanan anjing berdarah yang kekenyangan setelah menggonggongi kemudian memangsa seorang pedagang kecil yang berdagang karena takut kelaparan! Oh! Jika pedagang itu adalah pemburu yang handal, timah panas dari senapan laras panjangnya akan menembus perutmu! Terang sudah. Sial, entah mengapa pikiran semacam ini tak lekang-lekang dariku. Ini seperti diriku yang lain. Ini pula yang membuatku tidak benar-benar nyaman dalam menghayati kuasa alam di sini. Dan, aku hampir lupa tentang kisah ini.
Empat kilometer dari tepi sungai itu, Boroubudur yang menjadi simbol peradaban masa lampau masih berdiri tegak nyaris mengalahkan batas pandang mata. Si pemilik kawasan ini, seorang pelukis berumur setengah abad lebih, memang seorang yang pandai dan peka pula. Dia sadar dengan membeli lahan nyaris dua hektar ini, dia akan memiliki banyak waktu dan dukungan dari alam untuk melukis. Pada masa lalu, di sinilah Ajip Rosidi, seorang Sastrawan Indonesia yang pernah eksil ke Jepang karena menolak tunduk terhadap Orde Baru, rezim diktator Soeharto, hidup dan menulis beberapa karyanya. Jadi aku bisa merasakan semilir angin menghembuskan bau kesaksian kata-kata terhadap realitas sebelum aku dan mungkin engkau hidup sebagai generasi yang sungsang. Hal lain yang juga akan membuatmu lupa ketika berada di sini adalah pekarangan rumah kayu – semua rumah milik pelukis ini adalah rumah kayu – yang dinaungi rindang pepohonan besar dan juga bunga-bunga yang tumbuh tak seberisik bunga baja di pintu gerbang pabrik pengolahan minyak di desa-desa yang jauh, yang menerimaku hidup selama berpuluh tahun di sana. Pada suatu malam, Sony Santosa, nama pelukis itu, aku, dan Nundang Rundagi, anak lelaki mendiang Ajip Rosidi, duduk di pekarangan itu bersama sepasang kekasih muda dari Francis yang berkunjung untuk sekadar menikmati lukisan dan menghisap ganja. Aku adalah peminum sejak remaja di desaku. Karena itu, akulah yang ditunjuk Nundang untuk menuangkan Tuak dari Kalimantan bagian Timur sebagai pelepas dahaga dan perawat akal sehat. Terdengar jelas, sekali dua, Sony berbicara dalam bahasa Francis dengan sepasang kekasih muda itu. Sementara, aku dan Nundang asyik menenggak Tuak sembari mendengarkan Nundang membacakan puisi-puisinya. Nundang mengatakan bahwa dirinya adalah Penyair Celoteh. Dia lebih berkomitmen kepada celotehnya dari pada teks di kertas atau di mana saja. Kupikir, tidak seorang pun boleh keberatan dengan pilihannya itu. Penyair, tidak seperti pelukis. Pun sebaliknya.
Ketika alkohol yang terkandung dalam air warisan leluhur itu mulai bekerja membantu akal sehat dan ginjalku, perbincangan Sony dan sepasang kekasih muda itu serta kata-kata yang melasat dari mulut Nundang tak terdengar jelas di telingaku. Aku ingat tigapuluh kaki dari pekarangan ini, pintu galeri pribadi Sony senantiasa terbuka. Ke sanalah aku seorang diri dengan botol Tuak yang terisi setengah. Barangkali karena aku bukan seorang penikmat lukisan, aku tidak bisa memaknai beberapa lukisan Sony yang terpajang membisu dan kedinginan di dinding galeri. Akan tetapi, ada satu lukisan epik yang membuatku takjub; lukisan reflika relief yang ada di dinding Boroubudur. Jika aku tidak keliru mengingat, lukisan itu menunjukan barisan orang masa lampau entah akan melakukan apa. Memperhatikan dengan sayu lukisan itu membuat ingatanku bekerja ekstra dan membawaku kepada satu kenangan yang juga tak pernah lekang dariku. Ingatan tentang para buruh perkebunan kelapa sawit yang kehormatan diri dan kebijaksanaan hidup mereka dicengkeram begitu erat oleh tangan si pemilik perkebunan. Aku lupa berapa jumlah mereka. Aku ingat dalam barisan itu ada tiga perempuan paruh baya. Saat itu, sekolah menugaskanku untuk mengikuti magang di perkebunan yang sama. Jadilah aku berdiri di sebelah seorang asisten sebagai saksi mata kebengisan para petugas perkebunan. Mataku yang remaja dipaksa menyaksikan penindasan sampai habis dan terus menerus diulang selama seratus hari penuh tanpa perlawanan. Para buruh perempuan adalah orang-orang dikalahkan. Kolaborasi antara negara dan pemilik perkebunan berhasil membuat mereka benar-benar menjadi Indonesia Kecil yang bisu dan tertindas.
“Bangsat!” Maki asisten di sebelahku, seorang Batak. “Sudah kuperintahkan kalian semua untuk menebar pupuk lima blok dan kalian hanya mampu satu blok saja?! Apa yang akan kukatakan kepada Tuan Manajer? Kawanan binatang pemalas kalian ini!”
Seorang buruh, lelaki paruh baya, mengatakan bahwa beberapa orang di antara mereka sedang sakit dan pihak administrasi perkebunan tidak memberikan izin. Dengan terpakasa dan takut, beberapa orang turun bekerja. Akan tetapi, apa peduli seorang asisten. Yang paling terpenting adalah semua pupuk harus disebar hari ini. Aku yang berdiri di sebelahnya, mulai naik darah tapi sekuat tenaga kutahan agar tidak meletup. Tak lama kemudian, buruh perempuan paruh baya meminta agar asisten itu memberi mereka waktu untuk beristirahat. Apa peduli seorang asisten. Tidak ada waktu beristirahat diberikan. Mereka harus kembali bekerja demi kesehatan kelapa sawit dan nama baiknya di mata si pemilik perkebunan. Lagi-lagi, dengan terpaksa, para buruh perkebunan kembali bekerja dalam keadaan sakit. Tidak ada keadilan bagi mereka. Keadilan hanya ada dalam imajinasi belaka! Aduh, nasib buruk! Sial! Mengapa tidak seorang lelaki pun yang berani menghantam asisten itu. Termasuk aku?! Oh! Aku hanya menjadi generasi cengeng yang sama bisunya seperti mereka. Dan, tanpa sadar, aku berteriak parau yang entah tentang apa.
“Mengapa?” Tanya seorang perempuan dari Francis, seorang hippies, yang tanpa kutahu juga memperhatikan lukisan yang sama.
“Tidak begitu menarik untuk kuceritakan,” aku menjawab sembari menenggak Tuak.
“Mau?” Tawarnya sembari mengulurkan tangannya yang menjepit lintingan terbaik itu.
“Terbaik.”
Menjelang tengah malam, Sony dan Nundang mengajakku duduk di beranda rumahnya. Di sana beberapa kaleng bir tak sabar menunggu dibuka dan ditenggak. Angin berhembus sepoi-sepoi tanpa bau-bauan dari Kota Yogyakarta. Jangkrik mengerik terdengar seperti seorang teaterawan tua yang bermonolog di konser hall taman budaya dengan penonton sama tuanya. Dedaunan berguguran buku-buku bajakan di taman yang konon akan membuat engkau pintar. Di bawah sinar lampu, diapit dua tebing, Sungai Elo dan Sungai Progo tiada henti mengeluarkan riaknya. Kali ini, riak itu terdengar seperti suara tanpa energi, tanpa kekuatan dari orang-orang yang hidup dalam keterasingan di kaki Gunung Merapi dan Gunung Sumbing. Aku segera lupa barisan orang masa lampau dalam lukisan Sony dan para buruh yang sakit dan terus bekerja agar keesokan hari mereka terbebas dari kelaparan. Sony dan Nundang duduk persis di hadapanku. Jadilah ini semacam acara pembacaan putusan pengadilan hidup dari angkatan tua kepada angkatan muda yang meringsak dalam elegi pemiskinan sepertiku. Akan tetapi, aku telah menyiapkan diri dengan menenggak habis sekaleng bir. Selebihnya, aku memberikan penghormatan tertinggi terhadap orang-orang di hadapanku.
“Sebelum aku memiliki tempat ini,” Sony yang menjadi pengkotbah pertama, “Kota Jakarta sama sekali tidak memberikan dunia yang layak kepadaku. Aku menjadi bengal dan liar, sehingga itu yang membuatku memutuskan untuk meninggalkannya demi merantau ke sebuah tempat terpencil di Bali. Anak muda sepertimu, aku tidak yakin, akan mampu bertahan dengan uang empatpuluh ribu rupiah dan beberapa buah arang – aranglah yang membuatku jadi seperti sekarang ini. Sebagai pelukis muda yang hidup di kotanya para pelukis terkemuka, aku hanya memiliki satu komitmen: aku harus dilihat sebagai seorang pelukis yang sama. Untuk itu, aku bekerja di beberapa galeri. Pekerjaanku adalah mencari lukisan yang memiliki estetika dan nilai jual yang tinggi. Tentu saja, semua itu diatur oleh kebutuhan galeri, karena galeri memiliki pembelinya tersendiri. Setiap hari aku bekerja, bahkan hampir lupa bahwa aku seorang pelukis. Pada suatu waktu, engkau bayangkan sendiri! Seorang pelukis muda dengan arangnya memberanikan diri untuk menggelar pameran kecil-kecilan. Waktu itu, ekspresisionis adalah aliran yang kupilih. Dari pameran itulah, beberapa penikmat lukisan arang, tentu saja, memberikan apresiasi mereka terhadap karya-karyaku dengan membelinya. Dari hasil itulah aku dapat hidup dan membawaku kepada mendiang seorang perempuan, seorag Francis, yang pada akhirnya menjadi Istriku. Engkau juga harus mencatat, bahwa perjalanan yang engkau lakukan harus disertai dengan cinta dan keyakinan. Cinta akan meredam perasaanmu yang berkecamuk. Dengan catatan, engkau harus bersungguh-sungguh terhadap cinta itu. Sementara keyakinanmu jangan sekali pun engkau penjarakan di dirimu saja! Jadikan setiap langkah kakimu adalah keyakinanmu atas hidupmu. Nah, sekarang tenggaklah lagi bir itu!”
Karena dipersilakan, aku pun menenggak bir kaleng kedua.
Di sebelah Sony, Nundang tampak tak sabar memberikan kotbahnya. Rambutnya yang panjang dan berwarna putih, sekali dua mengganggu pandang matanya. Matanya menatapku sayu. Aku merasakan tatapan itu seperti tatapan seorang lelaki tua yang kehilangan banyak waktu di masa mudanya. Terkhusus Nundang, dia hidup dalam pengasingan bersama mendiang ayahnya di Jepang sebagai Indonesia Kecil yang turut serta melakukan penolakan untuk tunduk. Kadang, dia tampak seperti seorang pemuda yang dihantui dunia barunya sebagai seorang Penyair Celoteh. Celotehannya yang sudah terdengar di mana-mana, tidak lantas menyelamatkannya dari kesepian dunia barunya itu. Ah! Aku harus memekakan telingaku untuk benar-benar memaknai setiap celotehannya. Lihatlah! Nundang yang kesepian akan segera memulai kotbahnya.
“Hei anak muda dari Kalimantan!” Kata Nundang, “terbanglah seperti Enggang yang luhur. Terbanglah ke cakrawala dan tembuslah setiap pesakitan kehidupanmu yang menggumpal seperti awan-gemawan mendung. Jika engkau tidak bisa terbang, jadilah kuat dan tajam seperti mandau. Jangan sekali pun tunduk pada kegagalan hidup. Apalagi menangisinya! Cuih! Airmatamu sesungguhnya diciptakan Tuhan hanya untuk Tuhan, ibu, dan kekasihmu! Engkau harus hidup sebagaiamana yang kau ingin, bukan sebagaimana yang dikatakan orang dan negara ini. Selama aku hidup di Jepang, aku berkawan dengan orang-orang sepertimu, sepertiku, mudah terjerembab dalam persoalan hidup dan nasib buruk. Aku melihat mereka, sebagai orang-orang yang pernah menjajah kita, semacam memiliki kekuatan untuk bangkit. Meskipun, beberapa di antara mereka memilih bunuh diri setelah menenggak Sake. Ha-ha… apakah aku tampak seperti seorang Pastor bagimu, anak muda? Ha-ha… keterasingan kami telah membawaku kepada pilihan hidup yang sunyi, menjadi penyair. Bagiku, hanya seorang penyair yang bisa mengambil kata-kata dari airmata dan membuat orang yang mendengarkan akan mengalami katarsis. Karena engkau pun seorang penyair, jadilah liar dan pemberang terhadap nasib buruk yang katamu selalu datang dan enggan lekang itu! Orang seperti aku dan juga Sony tiadalah memiliki kemampuan menyelam ke dalam kehidupanmu. Engkaulah yang dititahkan Tuhan untuk hidup. Maka, hiduplah! Jika engaku menyerah dan tunduk, bukankah artinya kau melecehkan Tuhan?! Ha-ha…”
“Dengar! Engkau mendengar? Riak itu seperti ibu kita yang sedang menangisi kita!” Sony menyela.
“Ya! Dengarkan lebih lagi, itu terdengar suara istrimu yang merindukanmu, bukan?!” Tambah Nundang.
Pada tenggakan terakhir bir ketiga, aku undur diri dari pembicaraan itu. Sony dan Nundang mempersilakan. Aku pun turun dari beranda, berjalan menuju kursi kayu di tepi sungai. Di sana, aku benar-benar merasa sendirian dan ketika mendongak ke langit, aku melihat wajah Ibuku dikelilingi wajah para barisan para buruh perkebunan. Aku merasakan setiap tatapan mereka seperti menginginkan pembebasan. Akan tetapi, untuk membebaskan diri dari elegi pesakitan saja tiadalah aku memiliki kemampuan. Istriku yang jauh, bagaimana pun, begitu sabarnya menunggu kedatanganku dengan nasib baik tersemat dalam saku kemeja. Tidak sekali dua, dia menceritakan orang-orang menyebut namaku dalam hardikannya. Mendengar itu, aku merasa seperti dibawa kembali ke ingatan bagaimana para buruh perkebunan dimaki dan dilecehkan oleh seorang asisten tanpa perlawanan. Dan, ketika aku hendak menghantam asisten itu, para mandor di belakangnya menghantamku lebih dulu. Kurasakan, hantaman demi hantaman itu seperti nyata dan benar-benar membuatku sakit. Aku pun merasakan setiap hantaman seperti kata-kata ibu yang kuingkari, sehingga aku harus meninggalkannya seorang diri demi dunia baru yang menjijikan; dunia yang membuat kehidupan seperti lotere, siapa pun yang lebih dulu atau paling terakhir mencabut, kehormatan diri dan kebijaksanaan mereka seharga hadiah yang didapat. Oh! Kedua lelaki itu, Sony dan Nundang, tiba-tiba hadir dalam permenunganku. Hus! Bergegas aku mengakhiri permenunganku. Mereka, tidak kubiarkan mengejek dan menertawakanku, karena keduanya bagian dari masa lalu yang mengacaukan tatanan hidup masa kini.