Dor… Dor… Dor!


Muhammad Yasir

Dor… dor… dor! Seorang pelacur berumur 29 tahun tergelepar di lantai sebuah kafe – kata lain dari lokalisasi di Pal 12 yang tidak perlu engkau tanyakan kepadaku di mana itu berada – begitu saja. Darah bersimbah di dahi, dada, dan kakinya tanpa kata-kata terakhir. Sontak, pelacur-pelacur di dalam kafe itu berhamburan keluar tanpa bicara sekatapun!

Pemilik kafe, seorang lelaki jangkung, klimis, dan memikat, keluar dari ruangannya dan menanyakan apa yang sudah dilakukan seorang bajingan yang berani-beraninya mengambil nyawa salah satu pelacur terbaiknya.

“Dia meminta lebih! Sementara aku… aku hanya punya beberapa lembar rupiah!” Kata si bajingan, tanpa menyesal.

“Kau membunuh pelacur terbaik di sini, bangsat!” Teriak si pemilik kafe. “Kau… sungguh. Apa yang akan kukatakan kepada para pejabat yang menyukainya?! Sungguh pula, tidak ada ampun bagimu. Inilah pelajaran yang setimpal untukmu!”

Begitulah. Si bajingan akhirnya meregang nyawa di tangan si pemilik kafe dan para petugas pengamanan.

Sehari sebelumnya. Miarna, si pelacur, bertamu ke rumah si pemilik kafe untuk mengungkapkan bahwa dia ingin berhenti menjadi pelacur, karena seorang mandor berdarah Jawa bagian Timur, ingin menikahinya apa adanya. Mendengar itu, si pemilik kafe menggeleng kemudian memberikan peringatan kepada Miarna bahwa menikah hanya akan membuatnya kehilangan kebebasan sebagai seorang perempuan, sebagai pelacur. Menikah, katanya, hanyalah istilah lain dari menjual dan membeli diri seseorang. Akan tetapi, Miarna memiliki pendapat lain. Baginya, si pemilik kafe berbicara demikian karena dia si pemilik kafe. Keuntungan jauh lebih besar dia dapatkan ketimbang para pelacur.

“Jadi… anggap saja aku menjual diriku kepada mandor kebun itu, Bran. Atau… terserah kau hendak mengatakan apa.”

“Jika kau bersikeras, aku mengakui kekalahanku. Tapi, Miarna, katakanlah bahwa kau akan tetap bekerja malam ini. Dua orang penting, seorang pejabat dan seorang lagi pimpinan perkebunan, akan ke kafe malam ini. Aku ingin kau melayani keduanya dengan istimewa. Dan, tentu, aku akan membayarmu lebih. Bagaimana? Oh! Kau adalah yang terbaik di kafe. Jangan tolak, kumohon.”

“Hanya malam ini?!”

“Benar, Miarna. Hanya malam ini.”

Menjelang malam, langit berwarna oranye. Kerikil-kerikil di sepanjang jalan merah-darah membentang, bernyanyi, ketika truk-truk melintas kesetanan. Debu yeng terhembus angin, menempel di jendela kafe. Gerombolan burung teburak, bergegas masuk ke dalam semak; kegelapan membuat mereka rentan ditembak para pemburu. Dua, tiga orang pelacur mulai sibuk merias diri, menunggu kedatangan kaum derma. Di utara kafe itu, kanal limbah berbau busuk mengalir ke sungai-sungai utama dan perlahan-tapi-pasti membunuh orang-orang di selatan. Dan, dari kejauhan cerobong baja menderu sepanjang hari.

Aku akan pergi ke sana tengah malam ini. Betapa rindu aku pada kau, Miarna, tetapi para buruh di sini adalah bahaya yang mesti kuwaspadai. Mereka tidak akan melepas senjatanya ketika berpergian atau bekerja. Apakah di antara saudara sekalian membaca koran seminggu lalu? Para buruh berdemonstrasi di halaman kantor perkebunan untuk menuntut hak mereka – sesungguhnya, aku memihak pada para buruh itu, karena perkebunan membayar mereka begitu murah dan saudara sekalian tahu, tidak sedikit buruh mati karena sakit tapi dipaksa bekerja atau mati digigit ular kobra atau keracunan pestisida! Tidak seorang pun petugas perkebunan berani mendekat. Mereka hanya berdiri harap-harap cemas di pintu masuk kantor. Akan tetapi, tidak lama setelah beberapa orang orasi, sebuah truk berwarna hitam berhenti di tengah-tengah massa. Kemudian para serdadu berpakaian dan bersenjata lengkap turun satu per satu.

“Siapa pun di antara kalian yang menolak berhenti, akan ditindak tegas!” Kata si pimpinan serdadu.

“Jangan takut, Saudara sekalian! Kita datang ke sini, melakukan ini, demi pemenuhan hak kita sebagai orang asli dan buruh! Selama ini, perkebunan telah menindas kita sedemikian rupa, hingga kita telah kehilangan waktu dan tenaga untuk hidup sedianya, sebelum perkebunan dibuka dan merampas apa yang telah diwariskan para leluhur kita! Jadi, jika di antara saudara sekalian ada yang mundur, maka surga leluhur tidak akan menerima mereka!” Teriak salah seorang pemuda di tengah-tengah massa.

Dor… dor… dor… dor… dor… tolong! Dor… dor… dor… berani-beraninya! Dor… dor… dor… bangsat, ini rasakan! Dor… dor… dor.. sudah kami peringatkan jangan meneruskan demonstrasi ini! Dor… dor… dor! Dor… dor… dor… begitlah! Begitulah! Dor… dor… dor… 40 orang buruh mati di tempat dan 10 orang serdadu mati di pos jaga dan dalam bak truk. Demikianlah, Saudara sekalian, orang-orang mati demi mentega, margarin, sabun, shampo, dan kosmetik untuk kehidupan yang jauh di sana.

Saudara sekalian, setelah kejadian itu banyak para buruh ditangkap dengan tuduhan pembangkangan. Namun, penembakan itu tidak pernah diadili dan lenyap begitu saja menjadi kenangan belaka, karena kabar meninggalnya seorang selebritis atau dokter gigi yang kaya-raya jauh lebih penting. Oh! Aku berpikir untuk segera berhenti menjadi mandor kebun, setelah aku dan Miarna menikah.

Di kafe, setelah malam tiba tanpa bulan di langit, Miarna tampak baru saja selesai bersolek. Lihat! Betapa cantik dia di antara pelacur lainnya. Wajar, jika pejabat, pimpinan perkebunan, dan mandor kebun menyukainya dan berani membayar mahal. Bibirnya yang merah dan sesekali berkilau, mana mungkin tidak membuat birahi orang-orang yang berhadapan dengannya tidak bangkit dan bergelora. Tapi Miarna adalah secercah cahaya dan emansipasi perempuan yang dilupakan. Atau, barangkali, Miarna tidak semenarik seorang selebritis yang tidak laku di televisi, tetapi laku ketika berkamuflase di gerakan penyelamatan lingkungan. Oh! Lihatlah, Miarna! Bersiaplah membayar mahal untuk setiap tetes keringatnya!

“Mereka akan datang dalam sejam,” kata si pemilik kafe. “Berikan pelayanan terbaikmu kepada mereka, Miarna. Aku tahu, kau adalah seorang yang dapat diandalkan. Aku ingat… ah! Bagimana kita malam itu… kau! Bagaimana pun, penyelamat kafe ini! Terima kasih, Miarna.”

Miarna tersenyum manis. Kerling matanya seperti bara api di musim hujan, cahaya lilin dalam ruangan yang gelap, warna-warni pelangi di langit kelabu.

“Tapi tepati janjimu. Ini adalah kali terakhir aku di kafe ini.”

“Aku akan menepatinya, Miarna. Baiklah, aku akan ke ruanganku dulu. Minumlah bir barang sebotol sembari menunggu.”

Di salah satu sudut kafe, seorang lelaki berperangai serdadu, gagah, dan agak tampan tidak sekali pun mengalihkan pandang matanya dari Miarna. Ini kali pertama dia datang ke kafe itu. Sesekali pula Miarna menoleh ke sudut itu dan lekas-lekas mengalihkan pandang matanya. Si lelaki, setengah mabuk, bangkit dari kursi dan tanpa sengaja tangannya menyenggol botol wiski. Dan membuat Miarna terkejut.

“Berhati-hatilah, Bung!” Kata Miarna.

“Oh! Siapakah kau, sesungguhnya?” Tanya si lelaki.

“Miarna, namaku. Aku akan pergi sekarang.”

“Tunggu! Duduklah sebentar dan temani aku bicara! Boleh?”

Miarna bergeming.

“Aku akan membayarmu lebih.”

“Aku dibayar bukan untuk bicara, Bung.”

“Ah! Aku tahu itu. Ikut denganku!”

“Maaf, aku milik beberapa tamu malam ini. Kembalilah besok!”

Si lelaki tersinggung dan marah. Kemudian berkata, “Aku sudah menembak 10 orang manusia. Kau meragukan keperkasaanku?! Kau…”

“Aku milik beberapa tamu malam ini. Tolong, jangan membentak dan kembalilah besok!”

“Beraninya kau… kau tahu aku seorang pimpinan serdadu?! Akan kubuktikan!”

Dor… dor… dor! Malam menjadi begitu dingin.

Surabaya, 2021.

* gambar dari wallpaperflaredotcom

Leave a Reply

Bahasa »