Fauzi Sukri *
100tahunhbjassin.wordpress.com
/1/
“Nah, Saudara pembaca. Jassin sudah digantung,” kata Jassin dalam akhir esai surat yang sangat pajang kepada M. Balfas, bertanggal 31 Desember 1952. Ini adalah pernyataan otokritik paling keras yang pernah ditulis oleh kritikus sastra Indonesia. Tak pernah ada, bahkan sampai sekarang.
Pada saat itu, para sastrawan dan kritikus sastra ternyata sudah resah terhadap aktivitas kritik sastra Jassin. Posisi Jassin sebagai redaktur beberapa majalah dan terutama sejak dia membahas Chairil Anwar dan Idrus, membuat namanya semakin menjulang dalam tata hierarki kritik sastra Indonesia: seakan menjadi penentu siapa yang berhak atau pantas disebut sastrawan dan karya siapa yang pantas diulas dan akhirnya yang pantas diapresiasi publik pembaca Indonesia. Posisi Jassin memang tampak terlalu kuat dan terlihat dominatif, untuk memunculkan dan menghilangkan sastrawan. Inilah yang akhirnya membuat Siagian mencemooh Jassin sebagai “Paus Sastra”.
Namun, sejauh sepengetahuanku, barangkali hanya Jassin yang sampai sekarang berani berkata bahwa dirinya, sebagai kritikus sastra modern Indonesia, sudah digantung. Tak ada kritikus sastra yang berani berkata demikian. Sampai saat ini, setelah setengah abad lebih, setelah sekian banyak polemik kritik sastra di Indonesia.
/2/
Posisi itu, pada tahun 50-an, memang cukup pantas. Jassin berada dalam posisi puncak sangat kritis terhadap karya sastra. “Saya bertanya: sampai di mana perbendaharaan kata penyair dan pengarang kita satu-satu sekarang ini? Bagaimana luas daerahnya, pengalaman, dan pengetahuannya, yang diletakkan dalam hasilnya? Dikumpulkan segala tulisan penyair dan pengarang seorang demi seorang, dibikin statistik penggunaan kata-katanya, berapa banyak macamnya, berapa kali dipergunakannya masing-masing perkataan itu dan dibagi-bagi menurut daerah ilmu pengetahuan. Sebab bagi perkembangan kesusastraan adalah juga perkembangan bahasa yang mendukung kebudayaan. Pencipta sastra adalah juga pencipta bahasa. Saya kira di sini ternyata miskinnya mereka seorang demi seorang, baik tentang jumlah ciptaan, maupun tentang perbendaharaan katanya, yang akan menunjukkan pula betapa miskinnya dalam pengalaman dan ilmu pengetahuan. Bagaimana dalam keadaan ini mereka mau menciptakan sesuatu yang monumental?”
Ini sungguh pertanyaan yang sangat fundamental terhadap setiap penyair dan sastrawan, bukan hanya untuk tahun 50-an, tapi sekarang, dan untuk masa depan! Yang kita tahu, sering kali, terutama dalam pelatihan menulis kreatif, kita sering disodori tips dan trik menulis, bukan ilmu pengetahuan dan pengalaman. Dan inilah yang membuat sekian ribu pelatihan itu sering gagal memunculkan penyair atau sastrawan yang bagus.
Lanjut Jassin: “Kita sekarang sudah boleh menuntut pertanggungjawaban pengetahuan modern dari pengarang-pengarang Indonesia. Kita tidak bisa lagi cuma tunggu-tunggu ilham dari siliran angin lalu. Masyarakat Indonesia harus dibikin masak dengan hasil-hasil yang berat, hasil-hasil pengalaman yang sungguh-sungguh, dikarang dengan penguasaan teknik dan studi keilmuan satu estetika.”
/3/
“Jassin selama ini tahunya memuji-muji saja. Berdasarkan teori-teori yang dipelajarinya dia menggolongkan hasil-hasil kesusastraan Indonesia dalam aliran-aliran dan gaya-gaya yang telah mempunyai sejarah di negeri-negeri yang telah maju kesusastraannya. Ukuran-ukurannya tidak mendukung sepenuhnya isi apa yang diukurnya dan lebih merupakan impian keinginan bagaimana seharusnya kesusastraan Indonesia.
Di masa Jepang dia bertemu Idrus dan Chairil Anwar. “Coret-coret” Idrus yang anti-semangat Jepang ditulis Idrus atas anjuran Jassin yang selalu menggembirakannya bahwa tulisan-tulisan itu sangat berharga, sebagai dokumentasi sejarah masa Jepang dan dia menyimpannya dengan membahayakan dirinya sendiri. Jassin juga, yang sebagai redaktur kesusastraan Panca Raya, mengumumkan “Coret-coret di Bawah Tanah” Idrus dan mempertahankannya terhadap serangan seorang bekas Heiho yang merasa terhina dengan coret-coretnya yang bernama “Heiho”. Dalam pertahanannya itu ia mengemukakan karangan-karangan Idrus sebagai aliran bercorak Kesusastraan Baru yang memerlukan dinamik berpikir untuk bisa mengikutinya. Kemudian Idrus menulis “Surabaya” yang menghukum revolusi dan perjuangan dan mengapa Jassin masih juga mengemukakannya dengan pledoi yang hangat supaya diterbitkan oleh Balai Pustaka, sedang Jassin tidak setuju dengan tendensi cerita itu? Jassin tidak jujur terhadap dirinya sendiri apabila dia mempertahankan karangan Idrus itu dengan memajukan pernyataan untuk mendiamkan hatinya sendiri. “Apakah seorang dengan mengkritik kekurangan bangsanya sudah berarti membenci dan memusuhi bangsanya?” Jassin tidak berterus terang terhadap Idrus yang berterus terang dan dia menggantungkan ukurannya pada harapan-harapan.
Ada orang mengatakan Chairil Anwar dibesarkan oleh Jassin. Ini bohong. Baik Idrus maupun Chairil Anwar besar sendiri. Ia hanya kebetulan punya kedudukan sebagai redaktur yang berkuasa mengumumkan hasil ciptaan mereka. Jassin hanya tukang kumpul, sampai sekarang dia hanya tukang kumpul, tenaga administrasi yang rajin. Mana hasil ciptaannya sendiri? Kritik dan eseinya belum mencapai tingkat seni. Caranya seperti guru. Banyak mengutip dan menerangjelaskan. Dia tidak keluar dengan pribadinya sendiri.
Jassin hanya memperkenalkan Chairil Anwar di waktu Jepang. Sajak-sajak Chairil Anwar yang dibawanya ke Panji Pustaka tapi tidak bisa diterima oleh redaksi karena takut kepada sensor, disuruh tik oleh Jassin rangkap 6, lalu dibagi-bagikan kepada kawan-kawan yang berminat kepada kesusastraan. Dengan demikian “Kerikil Tajam” Chairil Anwar sampai ke tangan Sudjojono, Sjahrir, Sanusi Pane, Takdir Alisjahbana. Satu buat Chairil, satu buat Jassin berserta copy tulisan tangan Chairil Anwar dan dia dengan gembira berkata kepada Takdir: “Sudah lahir aliran baru dalam kesusastraan Indonesia!” Yakin akan kebaruannya, Jassin mencoba menggolkan sajak-sajak Chairil Anwar dengan menulis satu karangan yang lolos dari sensor dan kemudian dimuat dalam Panji Pustaka. Karangan itu bernama: “Beberapa sajak ekspresionistis” dengan beberapa sajak Chairil Anwar sebagai contoh.
Sesudah proklamasi sajak-sajak Chairil Anwar dimuat dalam Panca Raya, majalah yang seperti tadi dikatakan kebetulan H.B. Jassin redaktur kesusastraannya dan kemudian dalam Mimbar Indonesia, yang terbit bulan November 1947, lima bulan sesudah Aksi Militer Pertama yang mengakhiri hidup Panca Raya dan kebetulan H.B. Jassin pula yang memegang bagian kesusastraannya.
Di waktu itulah Chairil Anwar ketahuan melakukan plagiat dan Jassin mensinyalirnya dalam Mimbar Indonesia. Tapi caranya mengumumkan kesalahan Chairil Anwar begitu samar-samar dan malah diserahkan kepada pambaca untuk mengambil kesimpulan apakah Chairil Anwar betul-betul plagiat dan supaya publik menjatuhkan hukuman. Jassin tidak tegas. Orang yang salah mesti dihukum. Dia wasit. Sebagai wasit dia tidak boleh menyerahkan hukuman kepada publik. Ini kesalahan Jassin yang besar. Dia selalu sayang kepada Chairil Anwar dan terlalu banyak memperhitungkan sebab-sebabnya Chairil Anwar melakukan plagiat. Chairil perlu uang. Dia punya terjemahan. Tapi terjemahannya tidak ada harapan akan diterima. Karena itu dia bubuhkan namanya. Tapi ini tetap satu kesalahan.
Untung Chairil Anwar meninggal dunia. Dan Jassin tulis lagi kata-kata peringatan enak buat orang mati. Tatkala nama Angkatan 45 jadi pertikaian, Jassin muncul lagi mempertahankan. Angkatan 45 ada. Angkatan 45 lain dari Pujangga Baru. Kesusastraan sesudah perang lain dari kesusastraan sebelum perang. Dan Chairil Anwar dilambung-lambungkan lagi sebagai pelopor Angkatan 45. Idrus, Asrul Sani, Rivai Apin, Nuraini, Pramoedya Ananta Toer, adalah pahlawan-pahlawan kesusastraan. Meskipun masing-masing mereka tidak suka penamaan Angkatan 45, kecuali Rosihan Anwar, Sitor Situmorang, Mochtar Lubis, dan Chairil Anwar masa hidupnya. Mereka tidak suka penggolongan karena mereka takut akan menjadi tua dengan angkatan yang pasti akan berlalu. Mereka mau tetap hidup terus sebagai pribadi pengarang seorang-seorang dan pembagian dalam angkatan ialah pembagian kesejarahan yang perlu buat ahli kesusastraan. Buat Jassin sendiri di samping itu apakah tidak ada kompleks terhadap Takdir Alisjahbana yang dikiranya telah mempermainkannya waktu membayar honorarium penerjemahan Renungan Indonesia karangan Sjahrazad? Tahulah kita sekarang bagaimana ukuran Jassin. Dia tidak selalu bisa mempertahankan kemurnian pendasaran petimbangannya. Jassin harus digantung.
Nah, Saudara pembaca. Jassin sudah digantung.
Dan 1953 adalah permulaan hidup baru.”
/4/
Otokritik seorang kritikus sastra dalam kritik sastra Indonesia masih belum menjadi sesuatu yang lumrah. Barangkali memang wajar. Seorang kritikus mengkritik dirinya sendiri adalah semacam tindakan pengguntingan terhadap esai, apresiasi, atau buku kritik sastra yang telah ditulisnya. Bahkan, ini semacam pengkhiatan terhadap otoritas dan objektivitas seorang kritikus sastra itu sendiri. Selama ini, sejauh yang aku tahu, kritik terhadap kritikus sastra hanya beredar dalam bentuk gosip, kritik lisan dalam lingkaran pertemanan.
Dan, pada taraf tertentu, model terhadap kritik inilah yang membuat kritik sastra di Indonesia tak cukup menumbuhkan semangat untuk saling mengkritik demi mutu kritik sastra itu sendiri. Dalam kasus Jassin itu, kita bisa menduga bahwa selama ini Jassin sudah banyak dikritik oleh beberapa sastrawan dan kritikus sastra. Namun, semua itu hanya beredar secara lisan. Medium surat yang digunakan Jassin jelas menunjukkan hal itu, meski akhirnya surat itu dimuat Zenith, Februari 1953. Pada 24-25 November 2015, di UGM, memang ada acara besar pengadilan dan penghakiman terhadap kritik(us) sastra. Namun, hal ini, sayangnya terlalu didominasi kritikus sastra generasi muda. Praktis, hampir semua kritik adalah kritik terhadap kritikus sastra tua. Dan tidak terjadi yang sebaliknya.
Otokritik dari seorang kritikus sastra terhadap sejarah, politik, dan otoritas kritik(us) sastra masih kita harap dan tunggu pada tahun-tahun mendatang, sebagaimana dilakukan H.B. Jassin dan terhadap H.B. Jassin, dengan bobot yang seharusnya jauh lebih baik, lebih tajam, dan lebih berimbang.
*) Fauzi Sukri, Koordinator 100 Tahun H.B. Jassin.