Aprinus Salam *
Yang saya bayangkan dengan merdeka bertualang sebenarnya setara dengan merdeka belajar. Merdeka belajar adalah satu paradigma melakukan hal belajar secara merdeka. Kebebasan, kemandirian, dan ketidakbergantungan hal apapun untuk belajar apapun.
Termasuk hal belajar di sini tentu saja merdeka untuk tahu, merdeka berpikir, merdeka memilih, merdeka berpendapat, merdeka berkeyakinan, merdeka melakukan berbagai aktifitas sebagai implikasi merdeka belajar.
Pengertian belajar di atas saya konversi untuk pengertian bertualang. Mungkin pengertian bertualang sedikit lebih leluasa. Yang satu belajar, mempelajari sesuatu secara bebas dalam berbagai cara. Belajar mencari, mengetahui, menerima, menganalisis, berpikir sesuatu dalam dan bersama kebebasan.
Sementara itu, bertualang diandaikan baik sebagai hasil belajar merdeka maupun tidak ada keharusan sekalipun sebagai hasil dari merdeka belajar. Merdeka bertualang menyiratkan kemerdekaan berjalan-jalan, mengarung ke mana-mana, menjelajah ke berbagai hal dan ruang-ruang yang berbeda, asing, dan baru.
Merdeka bertualang bahkan bebas dari tujuan dan kepentingan. Namanya juga merdeka, dalam bertualang seseorang tidak boleh dituntut atau dikondisikan atau dengan syarat tertentu. Jika hal itu masih terjadi, itu namanya tidak merdeka.
Kalau demikian, persoalannya adalah merdeka itu di mana dan bagaimana? Apakah merdeka itu ada secara eksternal atau sebagai nilai yang inheren dalam diri manusia. Hal itu perlu diklarifikasi agar pengertian merdeka bertualang menjadi lebih dapat dipahami.
Jika merdeka itu suatu yang ada secara eksternal, merdeka bertualang dengan demikian suatu kondisi masuk ke ruang kemerdekaan dan di dalamnya merdeka untuk melakukan apa saja. Pertanyaan berikutnya di mana “keberadaan” hal eksternal kemerdekaan itu.
Secara teori memang terdapat ruang-ruang yang bebas dari berbagai intervensi. Ruang-ruang yang dibayangkan sebagai ruang bebas adalah ruang-ruang kesunyian dan ruang kehampaan. Secara fisik mungkin dapat dibayangkan sebagai ruang yang terpisah dari kehidupan yang ramai. Suatu lokasi yang tidak berpenghuni seperti di hutan belantara yang belum terjamah atau di pegunungan yang sepi.
Di ruang itu, ketika kesepian, kesunyian, dan kehampaan menerpa, maka manusia bebas bertualang untuk bebas dan sekaligus tidak tahu bertualang untuk apa. Tidak ada tuntutan apapun untuk mengapa dan di mana. Bahkan duduk-duduk saja tidak mengerjakan hal apapun tetap telah melakukan tindakan bertualang.
Duduk-duduk tidak melakukan hal apapun sebagai bentuk kebebasan dan kemerdekaan. Dalam hal ini, kita sering mendengar kisah orang yang mengasingkan diri di suatu tempat sepi nan jauh di sana. Kisah para pertapa yang hebat dan menakjubkan.
Dalam ruang sunyi dan sepi seperti itu, manusia berani hidup sendiri. Hidup dengan mengandalkan alam. Alam yang terbentang luas menjadi sesuatu yang terintegrasi dengan subjek manusia bersangkutan. Subjek dan alam menjadi terpadu. Merdeka bertualang merupakan sesuatu yang secara otomatis ada di dalam dirinya.
Namun, jika kemerdekaan itu hal inheren dalam diri manusia, katakanlah dalam pengertian kebebasan hak asasi manusia (HAM), itu pun mengimplikasikan manusia yang mengeluarkan dirinya dari tatanan sosial dan simboliknya. Secara sosial dan simbolik, manusia yang berani keluar untuk tidak terikat dengan berbagai peraturan dan strukturasi kehidupan.
Dalam konteks yang lebih substansial adalah manusia yang mampu mengosongkan dirinya, manusia yang mampu menihilkan hasratnya. Hal pertama berimplikasi pada manusia yang hidup hanya mengandalkan nalurinya, bahkan hidup dengan tidak berpikir. Hal kedua manusia yang tidak memiliki keinginan apapun, tidak membutuhkan apapun dari hal-hal manusiawi terhadap hal-hal duniawi.
Hal itu pun bukan berarti tidak ada. Dalam kisah-kisah spritualitas Islam, misalnya, kita mendengar subjek yang disebut sebagai subjek tasawuf atau sufi. Mereka yang menjadi subjek sufi adalah subjek yang telah membebaskan dirinya dari ikatan duniawi dan hanya mengikat dirinya pada Allah. Allah sebagai yang Maha Merdeka. Manusia yang menyatu dalam kemerdekaan.
Ada juga masyarakat yang menyebutnya sebagai wali atau orang aneh, atau bahkan dalam pengertian lain dianggap seperti orang gila. Banyak hal di luar dugaan dari perilaku orang yang biasa disebut sebagai orang aneh tersebut. Artinya, merdeka belajar, merdeka bertualang, bukan tidak mungkin, tetapi memang cukup berat untuk dijalani.
***
*) Dr. Aprinus Salam, M. Hum., Sastrawan kelahiran Riau, 7 April 1965. Dosen FIB UGM, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM sejak 2013, Anggota Senat Akademik UGM 2012-2016, Konsultan Ahli Dinas Kebudayaan DIY (2013-2016). Pendidikan S1, Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM (Lulus 1992), S2 Program Studi Sastra Pasca Sarjana UGM (Lulus 2002, salah satu wisudawan terbaik), S3 Program Studi Sastra (Program Studi Ilmu-Ilmu Humaniora, Pascasarjana FIB UGM, lulus 2010). Alamat website https://aprinussalam.com/