Penyelundupan Buku-Buku Pramoedya Ananta Toer

: Telur Ayam Pulau Buru Menetas Jadi Bacaan Dunia

Eko Darmoko
Harian Surya, Juli 2015


Oei Hiem Hwie, kawan Pramoedya Ananta Toer selama mendekam di Pulau Buru, saat ditemui di Perpustakaanya, Medayu Agung, Surabaya, Jumat (24/7/2015).

Pramoedya Ananta Toer, lahir 6 Februari 1925 di Blora, wafat 30 April 2006 di Jakarta. Pembaca yang gemar mengunyah candu sastra pasti mengenal Pram—begitu sastrawan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia ini akrab disapa. Karya-karya magnum opus Pram justru lahir ketika ia menjadi tahanan politik (tapol) rezim Orde Baru (Orba) di Pulau Buru, 1969-1979.

Dari penjara di Pulau Nusakambangan, Pram dilayar ke Pulau Buru. Dalam sebuah surat yang ditulis Pram kepada anak perempuan pertamanya yang akan menikah—surat ini tak pernah sampai ke alamat yang dituju—Pram mengicaukan: “16 Agustus 1969, Kau berbulan madu di happy land yang sudah jelas. Aku ke happy land somewhere: Konon ke Pulau Buru di Maluku, sebuah pulau lebih besar dari Bali.”

“Dan besok kalau tidak dibatalkan oleh entah siapa, 17 Agustus, kami berangkat bersama lebih delapan ratus orang dengan Kapal ADRI XV sebagai hadiah ulang tahun Republik Indonesia.” begitu bunyi surat yang tak pernah tersampaikan ini, yang dikutip dari Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I.

Di Pulau Buru inilah, lahir karya, antara lain Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca), Arok Dedes serta Arus Balik. Karya-karya yang lahir di Pulau Buru inilah yang membuat nama Pram berkali-kali masuk dalam daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra. Namun sayang, Pram tak jadi menerima Nobel lantaran keburu dipanggil Sang Pencipta Semesta.

“Antreannya di depan gerbang Hadiah Nobel Sastra sudah semakin dekat, tinggal tiga meter lagi, tapi dia harus pergi meninggalkan Gedung Kehidupan ini.” tulis Taufiq Ismail dalam Catatan Kebudayaan di Majalah Horison edisi XXXXI/8/2006.

Pram masuk Pulau Buru tahun 1969, tapi baru di tahun 1973 Pram diperbolehkan menulis dalam predikatnya sebagai tapol di Pulau Buru. “Pram diperbolehkan menulis (di Pulau Buru) setelah pemerintah mendapat desakan dari dunia internasional,” kata Oei Hiem Hwie, kawan Pram selama mendekam di Pulau Buru, saat ditemui di Perpustakaanya, Medayu Agung, Surabaya, Jumat (24/7/2015).

Oei Hiem Hwie dilayar ke Pulau Buru setahun setelah kedatangan Pram, menggunakan Kapal Tobelo bersama sekitar 900 tapol lainnya yang dituduh komunis, November 1970. “Sebelum bertemu di Pulau Buru, saya sudah bertemu Pak Pram beberapa kali di Surabaya dan Jakarta. Di Pulau Buru kami memanggilnya ‘Pak Pram’,” ucap Oei.

Diceritakan Oei, ketika Pram belum mendapatkan izin menulis di Pulau Buru, Pram terlebih dahulu mendongengkan novel-novelnya kepada para tapol lainnya. Tentu saja, dongengan ini dilakukan Pram secara sembunyi-sembunyi, sebab selalu diawasi tentara yang berjaga.

“Pram menulis dengan tangan, menggunakan kertas bekas wadah semen. Waktu itu, saya bertugas membersihkan kertas semen ini. Lambat laun, Pram diberi mesin ketik,” ujar Oei yang pernah menjadi wartawan Harian Pagi Trompet Masjarakat di kurun waktu 1960-an ini.

Mesin ketik ini adalah hadiah dari Jean-Paul Sartre, filsuf dan penulis kondang dari Perancis. Namun, mesin ketik ini tak pernah datang ke Pulau Buru. “Pemerintah menggantinya dengan mesin ketik yang jelek,” tegas Oei.

Aktivitas menulis seorang tapol adalah sebuah hal yang berat. Sebab, di Pulau Buru, para tapol harus melakukan kerja rodi. Waktu luang bukanlah satu-satunya kendala ketika menulis. Namun, persoalan bahan baku juga menjadi momok yang harus ditaklukkan. Pram, melalui usaha yang ‘berbahaya’ dibantu para tapol, harus mencari kertas untuk mengetik. Kertas ini berasal dari telur ayam.

Dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I, diceritakan, Pram didatangi wartawan dan Tim Psikologi Universitas (tak dijelaskan universitas mana). Dalam sebuah wawancara, Tim Universitas ini bertanya kepada Pram: “Dari mana saudara mendapatkan kertas?” Kemudian Pram menjawab: “Saya punya delapan ekor ayam.”

Nah, di sinilah letak kecerdikan Pram dan para tapol yang membantunya. Mereka mengubah telur ayam menjadi kertas. “Kami memelihara ayam. Ayamnya bertelur, kemudian telur ini kami tukarkan dengan kertas di pasar Namlea (sebuah ‘kota kecil’ di Pulau Buru). Tentu saja, untuk membawa kertas-kertas ini masuk barak, harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi,” ujar Oei Hiem Hwie.

Persoalan waktu luang dan bahan baku untuk menulis sudah terpecahkan. Kini, yang harus dipikirkan adalah ‘membawa kabur’ manuskrip Pram dari Pulau Buru ke dunia luar untuk dicetak dan diterbitkan. Masih diceritakan Oei Hiem Hwie, penyelundupan manuskrip Pram untuk bisa keluar dari Pulau Buru ditempu melalui beberapa cara.

“Manuskrip Arus Balik dibawa Rohaniawan Katolik asal Australia. Manuskrip ini lolos sebab Rohaniawan memiliki ‘privasi’ yang tidak boleh digeledah tentara sewaktu meninggalkan Pulau Buru,” ujar Oei. Alhasil, Arus Balik—sebuah novel sejarah Nusantara berlatar Abad 16—pun terbit dan bisa dinikmati pembaca hingga sekarang.

Oei Hiem Hwie juga punya andil dalam menyelundupkan manuskrip Pram keluar Pulau Buru menuju dunia bebas. Oei bebas tahun 1978. Ketika bebas dan meninggalkan Pulau Buru, tapol hanya diperbolehkan membawa pakaiannya dan alat makan. Namun, Oei nakal; ia juga membawa serta manuskrip-manuskrip Pram.

“Manuskrip ini, di antaranya Bumi Manusia, saya campur dengan pakaian dan alat makan. Semua saya simpan dalam besek (keranjang bambu) yang dimasukkan dalam karung. Semua bawaan tapol yang bebas digeledah sebelum meninggalkan pulau, tapi saya tidak digeledah. Entah mengapa?” papar Oei yang lahir di Malang, 26 November 1930 ini.

Dari keberanian Rohaniawan Katolik, Oei, dan tapol lainnya yang (mungkin) juga ikut menyelundupkan manuskrip Pram, generasi zaman sekarang bisa membaca buku-buku Pram. Tidak hanya Orang Indonesia saja, Orang Asing dari belahan dunia lain juga bisa membaca buku-buku Pram.

Sebanyak 50-an buku Pram, termasuk yang ‘menetas’ dari telur ayam di Pulau Buru, sudah diterjemahkan ke dalam 42 bahasa asing. Karya-karya Pram mendunia dan selalu menjadi bahan kajian para kritikus sastra. Dan buku-bukunya selalu menjadi buruan para pengunyah candu sastra.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *