POKOK PERSOALAN APRESIASI SASTRA (2)

Djoko Saryono *

Kita tahu, sastra menjadi pokok persoalan (subject matter) berbagai kegiatan yang bersangkutan dengan sastra. Bahkan bersangkutan juga dengan kegiatan di luar sastra. Disiplin ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, dan keagamaan sering menjadikan sastra sebagai pokok persoalan. Sebagai contoh, ketika hendak melihat perubahan-perubahan yang terdapat dalam pribadi-pribadi masyarakat Jawa, Niels Mulder menganalisis beberapa novel Indonesia yang kuat warna kejawaannya. Hal ini dapat disimak dalam bukunya Pribadi dan Masyarakat di Jawa terbitan penerbit Sinar Harapan. Sementara itu, kritik sastra, penelitian sastra, sosiologi sastra, psikologi sastra, dan lain-lain yang bersangkutan dengan sastra juga menjadikan sastra sebagai pokok persoalan. Demikian juga apresiasi sastra menjadikan sastra sebagai pokok persoalan.

Meskipun disiplin-disiplin atau bidang-bidang tersebut sama-sama menjadikan sastra sebagai pokok persoalan, apakah masing-masing tidak berbeda dalam memperlakukan keberadaan sastra? Ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, dan ilmu keagamaan (sosiologi agama, misalnya) pada umumnya memperlakukan sastra sebagai artefak, bahkan mentifact; sebagai segugusan fakta mental yang membentuk suatu mozaik utuh. Ilmu sejarah memperlakukan sastra sebagai segugusan fakta sejarah atau mengandung gugusan fakta sejarah. Babad Tanah Jawi, Kalatidha (Ranggawarsita), dan Max Havelaar (Multatuli) diperlakukan sebagai fakta sejarah. Sosiologi memperlakukan sastra sebagai gugusan-gugusan fakta sosial atau mengandung gugusan fakta sosial. Tretarologi Bumi Manusia (Pramudya Ananta Toer), Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), Gema di Ufuk Timur (Putu Praba Darana) dan Anak Tanah Air (Ajip Rosidi) dianalisis fakta-fakta sosial yang terdapat di dalamnya. Antropologi memperlakukan sastra sebagai gugusan fakta budaya atau mengandung gugusan faktual budaya atau minimal konstruksi budaya. Bako (Darman Munir), Celurit Emas (Zawawi Imron), Canting (Arswendo Atmowiloto), dan Pulung Gantung (Iman Budi Santoso) dianalisis nilai-nilai dan tradisi budaya yang terdapat di dalamnya dan nilai-nilai dan tradisi itu diperlakukan mirip atau indentik dengan nilai-nilai dalam kehidupan empiris. Ilmu keagamaan memperlakukan sastra sebagai mengandung gugusan fakta keagamaan. Sering sekali Langit Makin Mendung (Ki Panji Kusmin), Serat Wirid Hidayat Jati (Ranggawarsita), dan Perjalanan ke Akherat (Djamil Suherman) diperlakukan sebagai mengandung fakta-fakta keagamaan.

Kritik sastra, penelitian sastra, sosiologi sastra, psikologi sastra, dan lain-lain pada umumnya juga memberlakukan sastra sebagai artefak. Kritik sastra sering memperlakukan karya sastra sebagai barang mati yang perlu dibedah dan disayat-sayat, terdiri atas struktur formal yang bisa dihakimi, dan sebagai objek yang harus dihalangi oleh jarak. Demikian juga penelitian sastra. Sementara itu, sosiologi sastra memperlakukan sastra sebagai mengandung fakta-fakta sosial atau merupakan fakta sosial itu sendiri. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala dianalisis tokoh ronggeng Srintilnya sebagai tokoh yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Psikologi sastra memperlakukan sastra sebagai mengandung fakta-fakta psikologis yang bertautan dengan pengarang dan pembaca sehingga dianalisis dengan pelbagai teori psikologi, misalnya psikologi analitis Jung, psikoanalisis Freud, psikologi Gestalt, dan psikologi dalam lainnya. Perilaku tokoh-tokoh dalam novel Telegram dan Stasiun (Putu Wijaya), Raumanen (Marriane Kattopo), dan Rafilus (Budi Darma), misalnya, dianalisis dengan pelbagai teori psikologi. Hasilnya sudah tentu sejumlah deskripsi psikologi tokoh-tokoh dalam novel-novel tersebut.

Bagaimanakah apresiasi sastra memperlakukan sastra yang menjadi pokok persoalannya? Samakah perlakuan apresiasi sastra terhadap sastra dengan berbagai disiplin dan kegiatan keilmuan tersebut di atas? Berbeda dengan disiplin dan kegiatan keilmuan tersebut di atas, apresiasi sastra memperlakukan sastra sebagai universe, sebuah world of discourse; sebuah dunia-kewacanaan dan/atau dunia imajinatif yang memiliki kehidupan tersendiri, bukan artefak, barang mati yang siap disayat-sayat lapis-lapisnya. Sejalan dengan dalil kenyataan eksistensial bahwa ada-sebagai-manusia selalu merupakan ada-bersama (rumusan Heidegger: Mensch-Sein ist Mit-Sein) sehingga dunia-manusia harus dipahami sebagai dunia-bersama, maka dunia kewacanaan (sastra) dapat juga dipahami sebagai dunia-bersama.

Dalam pemahaman seperti tersebut dunia kewacanaan atau dunia imajinatif kebahasaan (sastra) sesungguhnya merupakan presensi dan representasi dunia manusia; merupakan penjabaran dan manifestasi dunia ma-nusia juga. Ketika kita berhadapan dengan dunia kewacanaan Madame Bovary (Flaurbert) dan Laskar Pelangi (Andre Hirata) sesungguhnya kita sedang berhadapan dengan dunia-manusia (yang subjektif); ketika berhadapan dengan dunia kewacanaan Gulaq (Tolstoy) Cambodian Odessey atau Neraka Kamboja (Haing S. Ngor dan Roger Warner) sesungguhnya kita sedang berhadapan dengan dunia-manusia (yang bukan empiris dan kasat mata).

Dunia kewacanaan sebagai dunia-manusia memiliki kehidupan tersendiri (yang berbeda dengan dunia-manusia secara objektif dan empirik). Ia mempunyai kemampuan dan daya untuk merengkuh, memikat, merangsang, menyeret, dan mengajak manusia masuk ke dalamnya, bertamasya ke dalamnya kehidupannya. Ia mampu menjadi tempat terselenggaranya percakapan-percakapan manusia dengan citra-dirinya (self-image). Bahkan ia selalu menyediakan dirinya untuk berdialog dengan manusia sehingga manusia bisa menghayati subjektivitasnya.

Dunia-kewacanaan Doktor Zhivago (Boris Pasternak), misalnya, mempunyai kehidupan tersendiri yang mampu dan berdaya merangkul, merengkuh, memikat, menyeret, dan mengajak manusia ke dalamnya, bertamasya menuruni lurah dan mendaki bukit yang terdapat di dalamnya sehingga manusia yang bersangkutan memperoleh sesuatu yang penuh makna (meaningfull) dalam kehidupan empirik sehari-harinya. Bahkan dunia-kewacanaan Doktor Zhivago itu bisa menjadi tempat terselenggaranya percakapan manusia-pembacanya (misalnya, Laila Kinanti) dengan citra-dirinya (baca: citra diri Laila Kinanti).

Sastra sebagai universe, dunia-kewacanaan, yang mampu dan berdaya merangkul, merengkuh, memikat, menyeret, dan mengajak manusia-pembacanya masuk ke dalamnya itulah yang menjadi pokok persoalan apresiasi sastra. Dalam hubungan ini “segala hal” di dalam sastra (struktur, tekstur, estetika, nilai-nilai, bahasa, dan sebagainya) yang bisa menggugah, merangkul, merengkuh, memikat, menyeret, dan mengajak manusia-pembacanya menjadi pokok persoalan apresiasi sastra. Dengan demikian, “segala hal” di dalam sastra yang tidak mampu dan berdaya sebagai tersebut tidak menjadi pokok persoalan sastra;mungkin menjadi pokok persoalan kritik sastra. Dikatakan demikian sebab dalam kritik sastra dan penelitian sastra tidak diperlukan adanya dan terjadinya dialog atau percakapan menjadi prasyarat berlangsungnya proses apresiasi sastra. Tanpa dialog atau percakapan mustahil proses apresiasi sastra dapat berlangsung dengan baik.

Bersambung ….


*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

2 Replies to “POKOK PERSOALAN APRESIASI SASTRA (2)”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *