kepadapuisi.blogspot.com
BANDUNG
1
Ada seribu satu alasan untuk meninggalkan rumah
: Padang terbuka di kaki langit atau biru laut
Gelombang demi gelombang membuka cakrawala.
Lalu kau pun berkata: Alangkah pengapnya kota!
Saatnya tiba menghapus resah dan masa lalu
: Menghapus kota dari peta hidupmu. Saatnya tiba
Melupakan batas-batas dan jadi warga dunia!
Tak ada kota, katamu, bumilah tempat tinggalku.
Sampai di suatu saat, di suatu tempat di tanah asing
Seseorang menyebut nama itu, nama kota itu
Bagai ujung belati suatu tusukan menembus ulu hati
Kau pun mengaduh dan mengerti arti kata rindu.
2
Para pengembara berkata: Kita ini warga kemanusiaan
Mengapa kau mengurung dirimu dalam sebuah kota?
Negeri-negeri sudah kehilangan batasnya dan langit
Dibentangkan bagi semua sayap, bagi semua harap.
Di negeri asing pun hutannya hijau dan senyum gadis
Sama-sama kesumba. Bentang layar yang lebih lebar
Julang anjung yang lebih akbar! Dermaga berjuluran
Dari segala pelabuhan, menjanjikan petualangan.
Tinggalkan kota dan masa lalu! Kata mereka. Tetapi
Kemarin akan terbawa dalam esok hari dan kau
Tak mungkin melarikan diri dari dirimu sendiri
Dari kota yang jalannya uratmu, udaranya nafasmu.
PERCAKAPAN DUA ORANG IBU
Sekuntum bunga liar, bapaknya angin lalu,
kaupetik dengan durinya, dengan durinya
Siapa mengusap lukamu nanti, darahmu nanti?
(Kenangnan manis, Bu, ‘kan menawarkan sakitku.)
Anak yang jatuh cinta bagaikan batu
jatuh ke dasar kali, lupakanlah
sebab ia lupa akan dirinya. Ah kepala batu
betapa keras, betapa dalam tenggelam.
Ya, biarkanlah dia pergi, namun bukalah pintu
dan nyalakan lampu di jendela. Siapa tahu
ia datang di malam buta, melepas sepatu dan masa lalu
dan lahir kembali anak lelakimu untuk kedua kali.
1977
SONETA MERAH JAMBU
Dua impian melayang di udara
bersatu dan memberat, lalu jatuh
di atas bumi, jatuh dan buyar
di atas batu.
Dua titik embun bergayut
di kuntum bunga yang sama
di pagi hari dunia
sebelum panas matahari melerainya
Keluh-kesah hanya angin pagi.
Air mata hanyalah embun, dan hati
adalah kuncup bunga.
Sekali ia harus berkembang
Setelah hari menciuminya
Setelah kelopaknya terluka.
1974
SEBUAH WAJAH
datang ia bagai fajar
naik di puncak setiap bukit
barapa pun bibir bunga diciumnya
adalah ciuman pertama
lalaki semampai bintang di matanya
meletakkan cinta di ujung lidah
lelaki coklat seruling di lehernya
mereguki hidup dari piala dusta
pergi ia bagai fajar
turun di kaki setiap bukit
berapa pun janji diucapkannya
adalah janji yang pertama
1960
RUMAH CERMIN
Sebuah rumah cermin dan kita terperangkap di dalamnya
Sosok dan wajah pecah bertabur dalam bingkai
dan warna beribu kaca. Janganlah bertanya
karena kata-kata pun berubah arti, layu bagai bunga.
Layu dan pucat bagai bibirmu, pada suatu kali:
walau kini satu-satunya bentuk yang dapat kuhayati
dalam kemayaan semesta, antara mimpi dan kenyataan:
dua kerajaan yang sama-sama menolak kehadiran kita.
Cetak-biru kemanusiaan telah lama dimakan bubuk
bersama buku dongeng kanak-kanak. Beginilah kita sekarang
wajah yang berebut bentuk dengan bayang-bayangnya
dalam rumah cermin, tempat kita terperangkap di dalamnya.
1971
RINDU
Kata-kata bermimpi tentang diri mereka sendiri
dan jadi lebih cantik, lebih berwarna-warni.
Sementara kita kusut tergesa, diburu waktu
dalam udara bergolak, cemar dan kelabu.
Di kantor, kelas, atau kafetaria yang sesak
saya menghirup wangi kata-kata: Cuma sejenak.
O gunjing politik, kuliah slogan, dan lelucon cabul!
Betapa kata-kata terbunuh dan layu di daun telinga
Pada suatu kali mungkin kita lolos dari sini.
Berbaring di suatu tempat, tertawa dan bercinta;
di antara kata-kata yang asyik bermimpi
tentang diri sendiri, dan jadi serumpun bunga.
1989
Saini K.M., lahir di Sumedang, Jawa Barat, 16 Juni 1938. Menyelesikan pendidikan kesarjanaannya di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Keguruan Sastra dan Seni Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Bandung. Naskah dramanya yang mendapat hadiah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Pangeran Sunten Jaya (1973), Ben Go Tun (1977), Serikat Kaca Mata Hitam (1979), dan Sang Prabu (1981). Naskah dramanya yang lain, Kerajaan Burung (1980) dan Kalpataru (1981) mendapat hadiah Direktorat Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sebuah Tumah di Argentina (1980) mendapat hadiah Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa DKI Jaya, dan Ken Arok (1985) mendapat hadiah Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1991). Naskahnya yang lain, Pengeran Geusan Ulun (1963), Siapa Bilang Saya Godot (1977), Restoran Anjing (1979), Panji Koming (1984), Syekh Siti Jenar (1986), Dunia Orang, Mati (1986), Madegel (1987), dan Orang Baru (1988). Kumpulan esainya, Beberapa Gagasan Teater (1981), Dramawan dan Karyanya (1985) serta Teater Indonesia dan Masalahnya (1988). Kumpulan puisinya, Nyanyian Tanah Air (1968), Rumah Cermin (edisi 1, 1979), Sepuluh Orang Utusan (1989), dan Rumah Cermin (edisi 2, 1996). Sajak-sajaknya telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman. Saini sempat mengasuh kolom “Pertemuan Kecil” di harian Pikiran Rakyat. Kumpulan esai dan bahasannya dalam “Perteman Kecil” telah dibukukan dalam Puisi dan Beberapa Masalahnya (1993). Atas jasanya menumbuhkan kreativitas kepenyairan di kalangan penyair muda, mendapat Anugerah Sastra dari Forum Sastra Bandung (1994). Tahun 1995-1999, pendiri Jurusan Teater Akademi Seni Tari Indonesia, Bandung, ini menjabat Direktur Direktorat Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.