Sastra dan Negara: Pengalaman Tasikmalaya

Acep Zamzam Noor *
Makalah KIK HISKI XX 2009, Bandung, 5-7 Agu 2009

LAHIRNYA Indonesia sebagai bangsa tak bisa dilepaskan dari karya sastra, khususnya puisi. Pada tanggal 28 Oktober 1928 sejumlah anak muda yang mempunyai naluri kepenyairan berkumpul dan secara kolektif berimajinasi tentang sebuah bangsa. Secara kolektif pula mereka menulis sebuah puisi yang indah, yang sekarang kita kenal sebagai “Sumpah Pemuda”. Sebuah puisi yang mengimajinasikan sesuatu yang waktu itu belum ada, bahkan mungkin belum terbayangkan di pikiran banyak orang: bangsa, tanah air dan bahasa.

Sutardji Calzoum Bachri pernah menyebut “Sumpah Pemuda” sebagai puisi besar yang dihasilkan anak-anak muda zaman dulu. Selain karena memenuhi kaidah untuk disebut puisi, di mana unsur-unsur puisi terdapat di dalamnya, isinya pun sangat imajinatif bahkan futuristik. Mengungkapkan sesuatu yang secara realitas belum ada. Sesuatu yang masih berupa utopia. Meski para pemuda yang penuh imajinasi itu selanjutnya tidak dikenal sebagai penyair, namun sejarah mencatat bahwa kreativitas yang mereka ciptakan telah meletakkan pondasi bagi kemungkinan lahirnya sebuah bangsa, terutama dengan diikrarkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi.

Melalui tangan para penyair setahap demi setahap bahasa Indonesia menemukan bentuknya, melalui tangan para penyair pula bahasa ini membangun kewibawaannya sebagai alat pemersatu bangsa. Puisi-puisi yang membangkitkan kesadaran serta kecintaan terhadap tanah air tak henti-hentinya ditulis para penyair, dari generasi ke generasi. Sutan Takdir Alisjahbana, Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Rustam Effendi, J.E. Tatengkeng serta Amir Hamzah dengan puisi-puisinya yang romantik telah mengawal arah serta spirit perjalanan panjang bangsa ini.

Kemudian disambung Chairil Anwar, Asrul Sani, Sitor Situmorang, Trisno Sumardjo, Mansyur Samin, Hartojo Andangdjaja, Kirdjomuljo, Subagio Satrowardojo, Ramadhan K.H., Rendra, Ajip Rosidi, Toto Sudarto Bachtiar sampai Taufiq Ismail yang dengan caranya masing-masing telah ikut pula mengisi, mewarnai dan memaknai perjuangan dengan puisi-puisinya.

Pada masa-masa itu koran atau majalah yang menyediakan rubrik sastra tentu belum seperti sekarang, begitu juga dengan penerbitan buku. Namun pada masa-masa itu karya sastra justru banyak dibaca orang, terutama oleh kalangan terpelajar. Para pejabat, politisi atau aktivis pergerakan umumnya adalah mereka yang pernah mengenyam pendidikan kolonial, jadi mereka pernah merasakan bagaimana sastra diajarkan dengan sungguh-sungguh di sekolah. Juga bagaimana membaca dan menulis menjadi mata pelajaran yang sama pentingnya dengan pelajaran lain.
***

Taufiq Ismail pernah mengadakan penelitian mengenai pengajaran sastra bagi siswa sekolah menengah di sejumlah negara. Konon setelah kemerdekaan berjalan, lebih-lebih setelah Orde Baru, para siswa di Indonesia tidak lagi mempunyai kewajiban membaca buku sastra, padahal di sejumlah negara setiap siswa diwajibkan membaca antara 5 sampai 32 buku setiap tahunnya. Sementara sekolah menengah pada zaman kolonial mewajibkan para siswa membaca minimal 25 buku, di samping kewajiban mengarang tentunya.

Dengan data tersebut wajar jika kebanyakan pejabat dan politisi kita sekarang tidak suka membaca karya sastra. Apalagi mengapresiasinya dengan sungguh-sungguh. Wajar pula jika kemudian kita sangat sulit menemukan pejabat, politisi atau siapapun yang mempunyai kepekaan terhadap kondisi yang tengah dihadapi bangsa ini. Namun sastra hidup juga di luar sekolah. Meskipun tanpa diajarkan secara sungguh-sungguh toh puisi masih terus ditulis orang. Buku-buku puisi pun masih terus diterbitkan dengan berbagai cara. Kehidupan sastra masih berjalan meskipun rasanya semakin ekslusif. Hanya para penyair dan peminat puisi (umumnya calon-calon penyair juga) yang masih setia membaca dan mengapresiasi puisi.

Sementara kaum terpelajar, lebih-lebih para pejabat dan politisi, nampaknya sudah tidak punya waktu dan kepedulian lagi. Dengan demikian sumbangan pemikiran, renungan, ekspresi keindahan maupun sikap kritis para penyair mengenai kondisi bangsa ini efeknya semakin kecil saja. Bahkan seperti angin lalu. Para pejabat dan politisi sebagai pengelola negara tidak pernah mengambil inspirasi, manfaat apalagi hidayah dari apa yang telah ditulis para penyairnya dengan berdarah-darah. Begitu juga kalangan profesional seperti dokter, jaksa, hakim, pengacara, pengusaha, ulama, dosen atau semacamnya.

Sekarang sulit sekali mencari orang yang masih mau memelihara kepekaan dalam dirinya. Sulit menemukan manusia yang masih tekun mengasah batinnya. Agama menjadi persoalan yang tak ada hubungannya dengan perilaku sehari-hari. Sembahyang atau naik haji menjadi hobi, begitu juga korupsi dan kolusi. Dokter yang tugasnya melayani malah ikut bisnis obat. Jaksa, hakim dan pengacara kerjanya hanya jual beli perkara. Pengusaha bersinergi dengan penguasa. Ulama menerima pesanan fatwa. Gambaran di atas nampak sekali jika kita mengamati bagaimana para pejabat dan politisi berbahasa di televisi. Pidato-pidato yang diucapkan mereka terkesan datar, standar dan cenderung formal, baik dari sisi keindahan bahasa maupun kedalaman makna.

Bandingkan misalnya dengan para pemimpin kita dulu yang pernah mengenyam pelajaran sastra secara sungguh-sungguh di sekolahnya. Pidato-pidato yang disampaikan baik oleh Bung Karno, Bung Hatta, Sjahril, Bung Tomo, Natsir maupun Hamka bukan hanya hidup dan indah namun sangat dalam maknanya, yang membuat bulu kuduk siapapun akan merinding mendengarnya. Begitu juga dengan generasi yang berada satu lapis di bawahnya. Kata-kata yang diucapkan merupakan kata-kata yang telah mereka pahami, mereka hayati dan mereka jalani. Kata-kata yang keluar dari hati, penuh impresi dan imajinasi. Bukan seperti busa diterjen yang meluap di kamar mandi.

Belakangan kita menyaksikan sejumlah politisi muda mengutip teks sastra pada saat kampanye pemilu. Kutipan-kutipan tersebut ditayangkan televisi serta dipasang pada baligo-baligo ukuran besar. Namun entah kenapa sepertinya tak ada keselarasan antara teks (yang maunya bernilai sastra) dengan citra yang melekat pada pribadi mereka sebagai politisi masa kini. Kata-kata yang mereka ucapkan menjadi tidak maching dengan gerak bibirnya, dengan ekspresi wajahnya, dengan sorot matanya, dengan gestur tubuhnya, apalagi dengan suasana hatinya. Kata-kata yang mereka ucapkan sepertinya asing bagi kehidupan mereka sendiri. Kata-kata yang mereka ucapkan sepertinya belum benar-benar dipahami, benar-benar dihayati, apalagi dijalani.
***

Indonesia rasanya terlalu besar, terlalu luas dan abstrak. Sekarang izinkan saya berbicara dalam konteks negara yang lebih sempit, lebih kecil, lebih kongkrit dan tentu saja lebih saya pahami dan hayati. Izinkanlah saya berbicara tentang Tasikmalaya, sebuah wilayah yang sejak beberapa tahun lalu telah dipisah secara administratif menjadi kabupaten dan kota. Namun sebagai wilayah budaya, sebagai wilayah kesenian, sebagai wilayah sastra bagi saya tetap satu adanya. Budaya dan spiritualitas sebuah wilayah tak bisa dipisahkan begitu saja, apalagi oleh birokrasi.

Sanggar Sastra Tasik (SST) terbentuk setelah teman-teman yang menyukai sastra, khususnya puisi, berinteraksi satu sama lain. Awalnya mereka bertandang ke rumah saya, lalu kongkow-kongkow sambil minum teh poci di sebuah toserba yang ada kafetarianya, lalu minum kopi bareng di warung-warung pinggir jalan, atau di mana saja. Sebelum SST terbentuk, komunitas teater dan seni rupa telah hadir terlebih dahulu. Mereka bermarkas di Gelanggang Generasi Muda (GGM) yang berlokasi di kawasan Dadaha. Di GGM teman-teman teater berinteraksi dengan pramuka, paskibra, ormas kepemudaan serta sejumlah klub beladiri yang juga poskonya di situ.

Sementara teman-teman seni rupa menggunakan gedung yang bentuknya mirip GOR itu kalau berpameran saja. Dadaha merupakan ruang publik tempat masyarakat kota resik beraktivitas. Ada lapang badminton, lapang voli, lapang basket, lapang tenis, kolam renang, tempat bilyar dan studio radio milik pemda, yakni RSFD FM. Sampai tahun 1970-an komplek yang letaknya di pusat kota Tasikmalaya ini masih merupakan tempat pacuan kuda, namun secara bertahap berubah fungsi menjadi pusat kegiatan olahraga. Di bagian tengah terdapat stadion sepakbola yang dikelilingi ruang-ruang kosong serta pohon-pohon rindang.

Ketika SST mulai terbentuk, sekitar tahun 1996, gedung kesenian yang letaknya sebelah barat stadion masih terbengkalai pembangunannya. Yang pertama bergabung dengan SST adalah teman-teman teater dan seni rupa, lalu sejumlah siswa SMA masuk, lalu mahasiswa, dosen, guru, ibu rumah tangga, pemusik, penganggur, pedagang kakilima, kepala desa serta penarik becak. RSPD FM meminta bantuan kami untuk mengasuh siaran sastra setiap Jum’at malam, selama dua jam penuh. Lalu kami menjadikan radio tersebut sebagai satu-satunya media publikasi bagi karya teman-teman. Itulah pengalaman untuk pertama kalinya kami berhubungan dengan negara, dalam kontek kegiatan apresiasi sastra tentunya. Di acara yang kemudian dikenal sebagai Cakrawala Sastra Kita atau CS Kita, selain membaca dan membahas puisi, kadang diseling dengan talkshow budaya, sosial, agama dan sekali-kali politik. Kami tidak segan mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat lewat radio ini.

Aceng Hidayat dan Nazarudin Azhar yang mengasuh acara ini kemudian ditawari menjadi tenaga kontrak. Aceng kini sudah tidak aktif lagi karena sejak dua tahun lalu diangkat menjadi PNS setelah mengabdi sebagai penyiar lebih dari 15 tahun. Dalam siarannya baik Aceng maupun Nazar selalu didampingi Saeful Badar, saya atau teman lain yang bertugas mengulas puisi-puisi yang masuk. Tahun1997 puisi-puisi yang pernah dibacakan di radio saya seleksi kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Nafas Gunung, lalu disusul dengan penerbitan Orasi Kue Serabi (2000) dan Poligami (2003). Nazar sampai saat ini masih setia mengasuh siaran CS Kita, di samping menjadi redaktur budaya pada koran lokan. Begitu juga Saeful Badar.
***

Kreativitas membutuhkan sebuah pemicu. Banyak sekali cara yang bisa dan biasa dilakukan untuk memicu kreativitas, dari mulai yang serius, umum dan bahkan nyleneh. Kita mengenal bentuk-bentuk kegiatan seperti apresiasi sastra, diskusi sastra, sarasehan sastra, seminar sastra, bengkel atau workshop sastra. Di lain pihak ada juga pembacaan puisi serta dramatisasi puisi. Bentuk-bentuk kegiatan seperti ini selain untuk memasyarakatkan atau menggairahkan kehidupan sastra, pada batas-batas tertentu juga untuk memicu kreativitas. Paling tidak sebagai sarana aktualisasi diri para praktisinya. SST dalam satu dekade terakhir ini sudah melakukan berbagai cara dalam upaya mengenalkan dan memasyarakatkan sastra. Selain kegiatan-kegiatan seperti yang disebut di atas, juga banyak kegiatan-kegiatan lain yang mungkin tidak biasa, main-main dan terkesan seenaknya.

Awal tahun 1998 misalnya, di tengah krisis ekonomi dan kepanikan rezim Orde Baru sejumlah penyair yang didukung para mahasiswa mendatangi gedung DPRD Tasikmalaya dengan menggotong sebuah lukisan berukuran besar. Mungkin karena dianggap mau demonstrasi, rombongan penyair itu diterima secara resmi oleh ketua DPRD beserta jajaran fraksi dan komisinya. Bahkan sekda juga hadir mewakili bupati waktu itu. Tapi rupanya para politisi kecele. Rombongan penyair sama sekali tidak bermaksud demonstrasi atau menyampaikan aspirasi seperti halnya para aktivis, namun hanya ingin “menyatakan cinta” secara langsung dan terbuka kepada salah seorang anggota dewan termuda, Nur Islami Dini (19 tahun) yang waktu itu masih lajang dan rupawan.

Eriyandi Budiman, salah seorang anggota SST, memang jatuh cinta (dalam arti yang sebenarnya) pada politisi muda itu dan menulis banyak sekali puisi cinta untuknya. Setelah menyampaikan maksud kedatangan yang ditandai dengan penyerahan lukisan potret sang gadis kepada ketua DPRD, sejumlah puisi cinta karya Eriyandi Budiman dibagikan dan kemudian dibaca secara bergiliran. Bukan hanya para penyair yang membaca puisi tapi juga ketua DPRD beserta jajarannya, termasuk dari Fraksi ABRI. Bisa dibayangkan, bagaimana seorang pensiunan tentara yang berkumis tebal membacakan puisi cinta. Begitu juga seorang kiai dari PPP membacakan puisi patah hati.

Pertemuan kemudian berlanjut dengan diskusi yang penuh gelak tawa. Lucunya Eriyandi sendiri tidak ikut dalam “unjuk perasaan” ini, ia malah meriang panas dingin menunggu sendirian di sanggar. Begitu juga Nur Islami Dini, menghilang entah ke mana. Masih dalam hubungannya dengan DPRD, tahun 2001 buku saya Dongeng Dari Negeri Sembako yang berisi kritik-kritik nyleneh bagi para politisi, juga diluncurkan di gedung DPRD Tasikmalaya dengan mengambil ruang sidang utama. Buku tersebut dibacakan beramai-ramai oleh para penyair, mahasiswa sampai tukang becak. Juga digelar performance art oleh para penggiat teater, yang dengan merdeka menduduki tempat-tempat “sakral” yang ada di gedung milik rakyat itu.

Begitu juga dalam sesi diskusi yang menampilkan tiga pembicara dan seorang moderator, di-setting seperti halnya sidang paripurna, lengkap dengan palu di atas meja. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memicu para anggota dewan menunjukkan kreativitasnya sebagai wakil rakyat. Antara tahun 2002-2003 dilakukan kegiatan yang sifatnya berkesinambungan. Secara kebetulan kegiatan ini dinamakan “tradisi enam” karena setiap anggota SST dikelompokkan ke dalam grup-grup kecil yang masing-masing berjumlah enam orang. Ada waktu yang diberikan kepada setiap grup untuk mempersiapkan diri, mulai dari membikin workshop intern untuk menyiapkan dan mematangkan karya-karya mereka, mengusahakan penerbitan antologi sederhana dan kemudian menyelenggarakan acara berupa pembacaan puisi yang disertai diskusi dengan pembahas dari luar.

Sebagai upaya pemicu kreativitas kegiatan ini cukup menarik. Ada persaingan yang sehat antar grup, terutama dalam penyelenggaraan acara. Ada juga persaingan antar anggota masing-masing grup, khususnya dalam kreativitas dan produktivitas. Setiap grup diberi nama yang sesuai dengan kecenderungan puisi maupun karakter dari anggota grup itu sendiri, seperti “Enam Penyair Menembus Udara”, “Enam Penyair Membentur Tembok”, “Enam Penyair Meminum Aspal”, “Enam Penyair Mengisap Knalpot” dan semacamnya. Nama dari grup-grup tersebut sekaligus juga menjadi judul antologi puisi mereka. Dari kegiatan “iseng” semacam ini aroma kompetisi mulai terasa, bahkan terjadi pergesekan yang serius. Sayang kegiatan ini terhenti begitu sampai pada giliran “Enam Penyair Menunggu Ajal”, karena anggota-anggota baru sepertinya tak mau masuk ke dalam grup ini. Entah kenapa.
***

Menjelang perhelatan Pemilu 2004 yang mulai memanas, SST merespons dengan menggelar acara pembacaan puisi. Acara ini dipersiapkan agak matang, dimulai dengan semacam workshop mengenai tema acara serta puisi yang harus dipersiapkan. Dilakukan juga semacam investigasi terhadap nama-nama dan track record caleg dari partai-partai peserta pemilu, khususnya untuk daerah pemilihan kota dan kabupaten Tasikmalaya. Dari investigasi itu nyaris bisa disimpulkan tak ada caleg yang bisa dipercaya, semuanya adalah nama-nama lama yang perilakunya sudah diketahui umum. Ada pun nama-nama baru yang mungkin “masih” bisa dipercaya berada pada nomor sepatu.

Dari workshop ini lahirlah puisi-puisi kontekstual yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan, yakni kecenderungan yang sangat kuat pada “golput”. Puisi-puisi ini kemudian dibacakan dalam sebuah pagelaran yang bertajuk “Penyair Memilih Puisi Dalam Pemilu 2004” di Gedung Kesenian Tasikmalaya. Untuk memantapkan ekspresi ketidakpercayaan ini, dua hari menjelang pencoblosan, digelar “Karnaval Golput” yang melibatkan komunitas-komunitas kesenian yang lain.

Sesungguhnya karnaval ini sebagai reaksi atas berlangsungnya kampanye “brutal” yang dilakukan partai-partai peserta pemilu sebelumnya. Para seniman ingin memberi contoh bagaimana menggelar arak-arakan yang menghibur dan tidak membuat masyarakat ketakutan. Selain mengangkat teks-teks kritis namun lucu ke dalam pamplet dan spanduk, sejumlah kesenian digelar sepanjang jalan. Mulai dari drumband, kesenian-kesenian tradisional sampai performance art. Karnaval ini cukup mengejutkan (karena dilakukan pada saat minggu tenang) dan diliput banyak televisi, meski akhirnya harus berurusan dengan polisi.
***

Posisi saya dalam lingkungan SST sebenarnya lebih sebagai dewan syuro ketimbang mentor atau pembimbing. Jadi saya kurang bersentuhan langsung dalam urusan proses kreatif atau teknis penulisan puisi teman-teman. Saya hanya mendorong, memotivasi serta menciptakan atmosfir kreativitas bagi mereka. Urusan teori sastra maupun seluk-beluk kebahasaan lebih banyak ditangani Saeful Badar dan Eriyandi Budiman yang memang alumnus jurusan pendidikan bahasa dan sastra. Selebihnya teman-teman banyak melakukan diskusi sendiri, membahas karya masing-masing secara bergantian. Namun sesekali saya suka juga berbicara secara personal dengan mereka.

Saeful dan Eriyandi sekali waktu menghadap saya untuk melaporkan Kidung Purnama, salah seorang anggota SST, yang konon produktivitasnya sudah sampai pada tahap over dosis. Berbagai cara sudah mereka lakukan untuk bisa meredam semangatnya yang terlalu menggebu, namun tidak berhasil. Kidung terus saja merangsek dengan puisi yang jumlahnya semakin hari semakin menumpuk. Banyak hal yang ditulisnya, banyak tema yang garapnya, bahkan apapun yang dilihat dan temuinya dijadikan puisi. Gigi yang gingsul bisa mengilhaminya untuk menulis puisi. Nama yang tertera pada baju seragam seorang siswi SMA diabadikannya sebagai judul puisi. Begitu juga nasi tutug oncom, kopiah haji, tahi lalat atau celana dalam baginya semua adalah bahan baku puisi. Saeful dan Eriyandi merasa kewalahan.

“Repotnya setiap puisi minta dibahas satu persatu secara panjang lebar dan mendetail,” keluh Saeful sambil geleng-geleng kepala. “Beberapa puisinya memang cukup menarik, namun karena terlalu banyak kita jadi mabuk membacanya …” sambung Eriyandi dengan nada yang getir. Dan sebagai dewan syuro saya hanya bisa manggut-manggut sambil pura-pura serius berpikir. Tiba-tiba saya teringat pada Saini K.M. yang pernah mengatakan bahwa produktivitas yang berlebihan bisa menjebak seorang penyair pada suatu mannerisme atau pengulangan yang tidak kreatif. Saya merasa harus segera menyampaikan hal penting ini pada Kidung Purnama. Maka ketika kebetulan bertemu di Dadaha, saya langsung mengajaknya minum teh poci di sebuah kafe langganan kami.

Kidung saya persilahkan menceritakan sejauh mana pengalamannya menulis puisi. Ia nampak bangga dengan produktivitasnya yang luar biasa itu, lalu dengan penuh semangat bercerita tentang tema-tema yang sedang digarapnya. “Dengan menulis puisi saya merasa lebih sehat dan lebih hidup,” ujarnya seperti iklan rokok. Terus terang saya tak sampai hati mengusik kebahagiaan yang tengah dinikmati Kidung Purnama. Kebahagiaan karena rasa percaya diri yang mulai tumbuh kembali dalam hidupnya. Kebahagiaan karena ia bisa sedikit mengatasi penyakit yang dideritanya, yang diyakininya sebagai dampak positif dari aktivitas berkesenian.

Namun ada hal penting yang harus segera saya sampaikan, hal yang sangat berkaitan dengan kelangsungan proses kreatifnya. Saya harus mengingatkan dia. “Menulis puisi itu bukan seperti membuang ingus,” akhirnya saya berkata. Kidung Purnama langsung menyeringai, nampak deretan gigi kecoklatan yang kurang rata susunannya. “Maksudnya membuang ingus bagaimana?” ia bertanya sambil tetap menyeringai. Keningnya berkerut, alis matanya terangkat ke atas. “Membuang ingus biasanya spontan, tanpa penghayatan. Disemprotkan begitu saja,” saya mencoba menjelaskan sekalipun ragu karena telah memilih perumpamaan yang penuh resiko. Saya menyulut sebatang rokok, lalu mengisapnya dalam-dalam sambil berusaha mengatur tempo.

“Maksud saya menulis puisi tak sesederhana membuang ingus di jalan, menulis puisi butuh kekhusyukan, penghayatan, pengendapan dan pendalaman. Menulis puisi itu mencipta, jadi harus serius, khusyuk dan jelas pertanggungjawabannya,” sambung saya. “Kalau soal serius, rasanya selama ini saya sudah cukup serius, karya-karya saya juga sudah banyak,” jawabnya mantap. Lalu ia menyeruput tehnya yang masih hangat, mengisap rokok kreteknya dengan nikmat. Ia nampak sangat percaya diri dengan karya-karyanya yang telah dibuatnya.

“Proses menulis puisi itu lebih mirip berak ketimbang buang ingus,” ujar saya setengah berbisik. Kidung nampak melongo, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. “Apa yang kita makan, harus kita kunyah terlebih dahulu. Cara mengunyahnya jangan asal-asalan, harus penuh penghayatan sampai benar-benar halus, setelah itu baru ditelan pelan-pelan. Di dalam perut makanan tersebut akan digiling lagi, kemudian diendapkan beberapa lama sampai tiba saat yang tepat untuk dikeluarkan sebagai karya,” tiba-tiba suara saya menjadi parau. Kidung tetap melongo, keningnya semakin berkerut. Saya menengok ke kiri dan kanan, ternyata banyak orang yang sedang makan.

“Ide atau ilham yang muncul dari alam, dari lingkungan, dari kehidupan, dari realitas sosial dan politik, dari bacaan, dari suasana atau apapun harus dikunyah dulu sampai halus, lalu ditelan pelan-pelan. Setelah itu digiling lagi agar lebih halus, diendapkan sampai matang, baru dikeluarkan ketika momentumnya pas. Sehingga apa yang kita keluarkan tidak sama dengan apa yang sebelumnya kita makan. Jika yang kita makan berwarna putih, setelah melewati proses metabolisme keluarnya akan menjadi kuning kecoklatan. Atau misalnya kita menyantap hamburger, yang nanti keluar tentu bukan hamburger lagi, melainkan sesuatu yang lain, sebuah realitas yang lain. Kurang lebih begitulah proses menulis puisi,” saya berusaha menjelaskan dengan bahasa yang sederhana.

Kidung masih belum bereaksi juga. “Nah, kalau kita mengunyahnya dengan khusyuk dan pencernaan menggilingnya dengan sungguh-sungguh, maka ketika tiba saatnya harus melakukan persalinan kita akan merasa nyaman dan lega. Karya yang kita keluarkan empuk dan kenyal, proses keluarnya pun halus dan mulus, tidak terlalu keras namun juga tidak encer seperti kalau perut kita terserang diare…” ujar saya selanjutnya. Saya kembali menyutut sebatang rokok.

“Kalau begitu kedudukan puisi sama dengan tinja dong,” tiba-tiba Kidung menyela. Sejenak saya merasa tergagap, logika yang dipakai teman yang sebelumnya pernah bekerja di pabrik tekstil serta personil orkes dangdut ini ada benarnya juga. “Kalau dilihat dari asbabul nuzul-nya mungkin saja mirip, tapi bukan berarti menulis puisi sama dengan mengeluarkan tinja. Yang saya gambarkan tadi hanya perumpamaan saja,” ujar saya pelan. “Maka apa yang kita makan sangat menentukan kwalitas dari apa yang akan kita keluarkan. Jika makanan kita baik dan sehat, maka asupan gizi bagi proses kreatif kita akan baik dan sehat pula. Tapi sebaliknya, kalau yang kita makan setiap hari hanya jengkol, petai dan sambal terasi yang pedas, maka siap-siaplah sakit perut.

Dan kalau perut sudah sakit kemudian mencret artinya puisi yang kita hasilkan cair, puisi kita becek, tidak kental, hanya baunya saja yang serius…” saya menyambung sambil terbatuk-batuk. Kidung tersenyum. Saya menengok ke kiri dan kanan, masih banyak orang yang makan. Saya merasa risih juga, jangan-jangan pembicaraan kami didengar mereka yang sedang menyantap hidangan. Di sisi lain saya juga mulai kebingungan mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskan masalah berat dan serius ini dengan bahasa yang merakyat.
***

Lomba baca puisi merupakan salah satu agenda rutin yang dilaksanakan SST setiap tahunnya. Kegiatan ini penting untuk apresiasi sastra meskipun sering membuat kami pusing karena harus berurusan dengan birokrasi pemerintah, yang semua orang tahu kepeduliannya terhadap dunia sastra sangat rendah. Ketika mengundang siswa-siswa sekolah untuk menjadi peserta misalnya, maka surat undangan harus dilampiri rekomendasi dari kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Para kepala sekolah tidak akan berani mengizinkan siswa-siswanya mengikuti lomba tanpa adanya rekomendasi. Selain itu lomba semacam ini juga membutuhkan biaya yang tidak akan tertutupi oleh uang hasil pendaptaran. Untuk hadiah misalnya, terpaksa kami harus membuat profosal yang hasilnya selalu mengecewakan.

Tahun 1997 lomba baca puisi yang kami selenggarakan berlangsung meriah sekaligus menegangkan. Di akhir acara kami menampilkan Ratna Sarumpaet dari Teater Satu Merah Panggung, yang membawakan monolog Marsinah. Di sejumlah kota baik di Jawa maupun Sumatera, pementasan yang dianggap kontroversial ini dilarang atau dibubarkan aparat. Hanya di Tasikmalaya pementasan ini bisa lolos, bahkan disaksikan hampir seribuan orang. GGM yang ruangannya begitu luas penuh dengan penonton, termasuk para siswa yang mengikuti lomba. Waktu itu kami memang nekad, izin resmi dari kepolisian hanya untuk lomba baca puisi, sementara pementasan Marsinah sendiri tidak disebutkan sebagai bagian dari acara. Namun di luar itu kami bergerilya menyebarkan publikasi lewat para aktivis mahasiswa hingga pada saatnya ruangan penuh. Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa, polisi pun malah ikut menonton.

Saya percaya bahwa kebudayaan pada hakikatnya adalah kreativitas, maka sedahsyat apapun kekuasaan kadang bisa dikelabui dengan hal sederhana. Tahun 1999 lomba baca puisi yang kami selenggarakan sifatnya menjadi terbuka, jadi bisa diikuti oleh peserta dari luar Jawa Barat. Selain itu kami juga menyelenggarakan lomba penulisan puisi nasional serta temu penyair nasional, yang menjadi satu kesatuan acara dengan tajuk “Pesta Sastra Nasional 1999”. Kami mengundang teman-teman penyair seluruh Indonesia untuk hadir, berdiskusi dan membaca puisi ramai-ramai. Sebagai penyelenggara kami hanya sanggup menyediakan akomodasi dan konsumsi alakadarnya, sementara urusan tiket diusahakan sendiri. Ternyata yang siap datang banyak juga, mulai dari Medan, Jambi, Padang, Banjarmasin, Makassar dan Bali. Juga sejumlah kota di Jawa seperti Serang, Tangerang, Jakarta, Bandung, Garut, Ciamis, Cirebon, Tegal, Cilacap, Yogyakarta, Solo, Ngawi, Kudus dan Malang. Pendek kata acara berlangsung lancar dan sukses.

Untuk acara yang nekad ini tentu membutuhkan biaya. Seperti biasa kami menyebarkan profosal, namun kali ini bantuan yang kami minta bisa berbentuk apa saja. Kapolres menyumbang dua kamar hotel kelas melati serta meminjamkan tiga lembar karpet, Brigif meminjamkan sejumlah tenda dan velbed tentara, pemda mempersilahkan gedung Korpri untuk dijadikan barak peserta. Secara silkulir kami mendapat sumbangan dari beberapa anggota dewan yang kebetulan kami kenal, rata-rata mereka menyumbang antara Rp. 50.000 sampai Rp.100.000. Beberapa pihak yang peduli juga menyumbang secara sukarela, termasuk para pedagang pasar Cikurubuk. Tak lupa kami juga mengirimkan profosal kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Dinas yang paling terkait dengan acara ini menyumbang dalam bentuk uang sebesar Rp. 20.000. Setelah selesai acara kami mengirim surat ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu hingga acara kami berlangsung lancar dan sukses.

Tak lupa kepada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kami juga mengirim ucapan terima kasih, bahkan ditujukan langsung kepada kepala dinasnya. Hanya saja ucapan terima kasih yang terakhir ini sedikit berbeda dengan yang lain, di samping surat kami juga menyelipkan uang sebesar Rp. 22.000. Kalau tidak salah ingat beginilah kira-kira bunyi suratnya: “Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan yang Bapak berikan kepada kami sebesar Rp.20.000 (baca: duapuluh ribu rupiah) untuk acara Pesta Sastra Nasional 1999, hingga acara tersebut berjalan lancar dan sukses. Untuk itulah, dalam kesempatan ini izinkan kami memberikan penghargaan kepada Bapak berupa uang sebesar Rp. 22.000 (baca: duapuluh dua ribu rupiah) atas kepedulian Bapak terhadap kegiatan apresiasi sastra di daerah. Mudah-mudahan Bapak tidak melihat dari segi jumlahnya, tapi lihatlah sebagai ketulusan dari kami…”.

Di bawah surat tersebut kami sertakan daftar tembusan, yang antara lain ditujukan kepada Bupati, Ketua DPRD, Kapolres, Dandim dan seterusnya. Sungguh di luar perkiraan dan perhitungan kami jika tidak lama berselang kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan tersebut dicopot dari jabatannya. Sementara Kapolres yang menyumbang dua kamar hotel kelas melati pangkatnya malah naik, beliau ditarik untuk menempati jabatan strategis di Mabes Polri. Begitu juga anggota dewan dari PPP yang menyumbang Rp. 50.000, kini hidup makmur sebagai ketua DPRD.
***

Sejak tahun 2001 kegiatan apresiasi sastra yang kami lakukan tidak terlalu sering berurusan dengan negara atau birokrasi pemerintah lagi. SST, terutama Komunitas Azan yang saya dirikan kemudian, banyak melakukan kerja sama dengan sejumlah lembaga swadaya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan budaya di Tasikmalaya. Memang kegiatannya tidak hanya terfokus pada sastra, namun pada tema-tema aktual seperti multikultural, prularisme, toleransi beragama, gender dan semacamnya. Meskipun demikian, saya selalu mencoba mengaitkannya dengan kesenian, khususnya dengan apresiasi sastra.

Dalam kurun 2001-2005 kegiatan diselenggarakan hampir setiap bulan, bahkan sebulan bisa dua tiga kali. Setiap kegiatan kami selalu mengirim undangan kepada pemerintah, mulai dari bupati, ketua DPRD beserta jajaran fraksi dan komisinya, dinas-dinas yang terkait sampai RW dan RT. Dalam catatan saya bupati Tasikmalaya, Drs. H. Tatang Farhanul Hakim Mpd, belum pernah sekalipun datang menghadiri acara yang kami selenggarakan. Begitu juga ketika beliau terpilih kembali sebagai bupati untuk yang kedua kalinya. Jadi hampir sepuluh tahun kekuasaannya di Tasikmalaya belum pernah sekali pun beliau menginjakkan kakinya di gedung kesenian, apalagi berdiskusi dengan kami. Yang sering datang justru wakil bupatinya yang pertama, almarhum Drs. H. Dede S. Oeron. Sementara walikota Tasikmalaya sekarang, Drs. H. Syarif Hidayat Msi, sempat datang ketika masih menjabat wakil walikota dulu. Ada yang mengatakan mereka kurang berbudaya, ada juga yang berpendapat mereka malas bertemu dengan seniman karena kalau mengkritik suka seenaknya.

Kembali pada masalah apresiasi sastra. Selain pelajaran sastra yang harus dilakukan lebih serius lagi di sekolah, nampaknya dibutuhkan terobosan dalam upaya mendekatkan sastra kepada pembacanya, yakni masyarakat luas. Terobosan ini harus segera dilakukan untuk kembali menyadarkan kita, khususnya generasi muda, mengenai sikap kebangsaaan yang semakin hari semakin sirna. Terobosannya yang dilakukan harus kreatif dan imajinatif, kalau perlu nakal dan jeprut seperti yang dulu dilakukan para pemuda ketika mengucapkan sumpahnya, yang terbukti mampu menumbuhkan sikap kebangsaan yang kemudian berbuah kemerdekaan. Apresiasi sastra tidak cukup dilakukan dengan cara yang datar dan standar saja. Bagaimanapun sebuah bangsa tetap membutuhkan karya sastra, membutuhkan puisi, cerpen, novel dan esei. Sebuah bangsa tetap membutuhkan sastrawan, membutuhkan penyair serta masyarakat yang mempunyai minat baca tinggi.

Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yang selama beberapa tahun terakhir sempat menghibur rakyat dengan sepak terjangnya yang kreatif dan imajinatif, kini pelan-pelan mulai dilumpuhkan. Padahal apa yang telah dilakukan KPK sangatlah indah dan mencerahkan, terutama karena berhubungan langsung dengan hati nurani bangsa. Bagi saya memberantas korupsi yang serius sama indahnya dengan puisi. Sama indahnya dengan apresiasi sastra. Kini satu-satunya lembaga yang masih dipercaya rakyat tengah menjadi bulan-bulanan, yang tidak menutup kemungkinan sekali waktu akan benar-benar ditenggelamkan. Di tengah riuh-riuhnya kampanye pemilu legislatif beberapa waktu yang lalu, saya iseng menyebarkan SMS kepada teman-teman: Bangsa-bangsa lahir di hati para penyair, lalu mati di tangan para politisi.

(2009)

*) Acep Zamzam Noor adalah penyair kelahiran Tasikmalaya. Sehari-harinya bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Komunitas Azan. Kumpulan puisinya Di Luar Kata meraih Pengharggan Karya Sastra 2000 dari Pusat Bahasa, Depdiknas, Jalan Menuju Rumahmu meraih SEA Write Award 2004 dari Kerajaan Thailand, Menjadi Penyair Lagi meraih Khatulistiwa Literary Award 2006-2007. Eseinya Bercermin pada Kearifan Lokal mendapat Anugerah Kebudayaan 2007 dari Menteri Kebudayaan dan Parawisata (2007).

Leave a Reply

Bahasa »