Siapa bilang sepak bola cuma sekedar olahraga? Sepak bola adalah simbol ideologi, perlawanan, politik, semangat daerah (golongan), jati diri bangsa, candu, dan penggerak massa terbesar di planet bumi ini. Lebih dari itu, dalam lampauan batas lainnya, sepak bola juga menjelma ‘agama’ tidak hanya bagi pemainnya, tapi juga bagi para pendukungnya. R.N. Bayu Aji menarasikannya secara cerdik dalam bukunya yang berjudul “Mewarisi Sepak Bola, Budaya dan Kebangsaan Indonesia”.
Olahraga yang berhasil menghipnotis penduduk bumi ini, dipercaya sudah menghiasi peradaban umat manusia sejak berabad-abad silam dengan bentuk dan peraturan yang serba jadul. Kemudian, sebagaimana diriwayatkan R.N. Bayu Aji, sejak dikenalnya sepak bola yang lebih modern di abad ke-15, sepak bola berkembang hingga ke penjuru negeri. Prasasti resmi muasal adanya sepak bola di Indonesia (Hindia Belanda) ditandai dengan berdirinya Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia (PSSI) pada 19 April 1930.
PSSI, secara nama, adalah simbol perlawanan Bumiputera terhadap Kolonialisme Belanda yang juga memiliki organisasi sepak bola bernama Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB). Perlawanan? Ya, sebab di tahun 1930, Indonesia belum ada (belum merdeka) dan masih diakui dengan nama Hindia Belanda. Indonesia baru berdiri sebagai negara pada 17 Agustus 1945. Meskipun Indonesia belum ada di tahun 1930, namun para pionir berani melawan dengan mendirikan organisasi sepak bola dengan embel-embel “Indonesia”.
Berdirinya PSSI bukan melulu tentang aktivitas sepak bola. Di dalamnya juga ada muatan politis, jati diri bangsa, dan penggerak massa. Jargon inilah yang kemudian dimanfaatkan Soekarno dua tahun kemudian setelah berdirinya PSSI. R.N. Bayu Aji mengisahkan, selepas keluar dari pengapnya penjara Sukamiskin, acara pertama yang didatangi Soekarno adalah kejuaraan PSSI tahun 1932. Di kala eksistenti partai politik dibatasi oleh Tuan dan Puan Belanda, Soekarno menyadari bahwa sepak bola adalah alternatif lain untuk membakar semangat Bumiputera dalam melawan kolonialisme.
Tak hanya tentang jati diri bangsa (dalam plot besar), sepak bola juga menjadi identitas kedaerahan bagi para pelakunya—pemain dan pendukung. Merunut kronologi berdirinya PSSI di Yogyakarta, tercatat dalam sejarah ada tujuh klub yang ikut membidani: Voetbal Indonesische Jacatra (VIJ), Bandoengsche Indonesische Voetbalbond (BIVB), Persatuan Sepakbola Mataram (PSM Yogya), Voerslandsche Voetbalbond (VVB Solo), Madioensche Voetbalbond (VVB Madiun), Indonesische Voetbalbond Magelang (IVBM), dan Soerabaiasche Indonesische Voetbalbond (SIVB).
Sebagaimana bola yang terus menggelinding di atas permadani rumput kala mendapat tekanan, hingga kini organisasi sepak bola nasional (PSSI) dan organisasi sepak bola daerah masih terus menggelinding di jagat hiruk pikuk industri kompetisi di Indonesia. Dua komponen ini berjalan saling beriringan, dan kadang bersitegang—permisalan ketika ada regulasi PSSI yang dianggap tidak masuk akal oleh klub-klub daerah.
Dinamisnya geliat sepak bola, pun melahirkan tidak hanya konflik vertikal, tapi konflik horizontal yang melibatkan antar klub daerah. Bukan rahasia umum, gesekan pendukung bola antar daerah merebak tidak hanya di Indonesia, tapi juga di luar negeri, sebut saja di Spanyol, Inggris, Italia, Argentina, dan Turki. Namun, kembali pada sepak bola adalah candu dan jati diri bangsa, pendukung masing-masing klub akan bersatu kala Timnas mereka berlaga di sebuah pentas; sebab Timnas adalah wakil negara dan bukan wakil kelompok (daerah).
R.N. Bayu Aji memberi contoh yang sentimentil dan melankoli ikhwal jati diri bangsa dalam sepak bola. Peristiwa ini terjadi pada Piala Dunia 2014 di Brasil. Tanggal 16 Juni 2014 berlangsung laga Grup D antara Perancis vs Honduras. Terjadilah insiden yang membuat pendukung Perancis dan Honduras kecewa dan bertanya-tanya: Pada laga ini tidak dikumandangkan lagu kebangsaan kedua negara sebelum kick off.
Insiden memalukan ini tidak langsung mendapatkan tanggapan dari FIFA dan panitia penyelenggara. Keesokan harinya baru terdengar pernyataan resmi penyesalan dari FIFA bahwa insiden ini hanyalah kendala teknis akibat sound system yang tidak berfungsi dengan baik dan akan mengevaluasi sumber penyebabnya.
Peristiwa tidak mengenakkan yang menyelimuti pendukung Perancis dan Honduras ini tentunya wajar. Pasalnya, lagu kebangsaan dalam laga Timnas adalah sudah terlanjur menjadi ritual wajib seperti saat merayakan hari kemerdekaan—betapa pun pendukung Timnas sejatinya adalah campuran dari kelompok pendukung klub (daerah) yang menyatu di bawah bentang bendera negara.
Di Indonesia masa kini (bukan era Hindia Belanda), kelompok pendukung klub (daerah) rela bersatu ketika Timnas Indonesia bertanding. Ambil contoh dalam masa dekat ini, betapa antusiasnya pendukung Timnas kala mengawal Indonesia berlaga di Piala AFF U-16 di Sidoarjo, Asian Games 2018 di Jakarta-Palembang, dan Piala Asia U-16 di Malaysia. Mereka bersorak menyanyikan yel-yel pembakar semangat dengan amat heroik, bersikap khusyuk dan syahdu kala menyanyikan kidung Indonesia Raya sebelum kick off.
Sepak bola adalah segala-galanya dalam plot besar peradaban umat manusia. Dan betapa pun bisnis sudah menjadi ‘benalu sekaligus pupuk’, toh sepak bola tetap menjelma ‘agama’ sembari menyempil tabiat perlawanan di dalamnya.
Judul: Mewarisi Sepak Bola, Budaya dan Kebangsaan Indonesia
Penulis: R.N. Bayu Aji
Penerbit: Pagan Press
Cetakan: Pertama, Juli 2018
Tebal: viii + 135 halaman
ISBN: 978-602-0891-89-7
* Pernah dimuat di surya.co.id, suryamalang.com, dan tribunjatim.com 2 Oktober 2018