SIAPAKAH MEREKA?

Taufiq Wr. Hidayat

Kisah ini bagaikan fiksi. Jangan-jangan memang fiksi. Konon kisah yang mirip fiksi atau memang fiksi ini, terjadi pada masa Khalifah al-Makmun (813-833). Tersebutlah seorang teolog agung. Namun kehidupannya sangat sederhana. Bersahaja. Ia yang kelak menjadi rujukan banyak orang dan ahli-ahli ilmu agama sesudahnya. Dia disebut dengan nama Tuan Hambal. Kesederhanaan hidupnya, membuat siapa pun tak pernah menduga bahwa dirinya adalah seorang teolog. Orang banyak mengenal kemashurannya dari mulut ke mulut, atau hanya dari karyanya yang menjadi buah bibir para ahli ilmu-ilmu agama di zamannya.

Dikisahkan oleh shahibul hikayat, sahdan pada suatu ketika, dalam pengembaraannya, Tuan Hambal singgah pada sebuah masjid di sebuah negeri nun jauh di sana, untuk mendirikan salat. Di dalam masjid itu terlihat banyak orang beribadah dengan khusyuk. Kekhusyukan para penghuni masjid itu menakjubkan. Mereka berdoa sambil mencucurkan air mata, atau bersujud begitu lama, atau membaca kitab suci dengan indah sekali. Melihat hal itu, Tuan Hambal mencari tempat paling tersembunyi dari perhatian, di pojok. Di pojok masjid itu, ia tertawa. Ia berusaha menahan tawa, tapi ia tetap tak bisa menahan, hingga tawanya seolah tersedak di tenggorokan.

Dalam sebuah buku kesaksian yang ditulisnya, Tuan Hambal menjelaskan perihal tawanya di antara orang-orang ahli ibadah yang khusyuk di rumah Tuhan tersebut. Siapakah mereka? Tulisnya. Kenapa membuatku tertawa sendiri? Tuan Hambal menjawab sendiri pertanyaannya. Merekalah ahli-ahli ibadah yang tak lagi membutuhkan ampunan. Lantaran mereka merasa tak pernah berbuat dosa. Padahal Tuhan lebih menyayangi seorang pendosa yang menyadari dosanya, lalu berharap ampunan-Nya daripada seribu ahli kebaikan tapi tak butuh ampunan karena merasa telah berbuat banyak sekali kebajikan. Ibadah formal mereka rajin dan sempurna. Tetapi mereka membiarkan penderitaan terjadi di sekitarnya. Masjid mereka megah, namun kemiskinan mengerikan di sekitarnya. Anak-anak terlantar. Keangkuhan dan kebakhilan melekat erat. Mungkinkah ibadah-ibadah formal itu sampai pada Tuhan, sedangkan persyaratan untuk sampai kepada Tuhan, yakni kelapangan dalam berbagi dan ketulusan hati, tak terpenuhi? Bisakah air mata dan ketundukan menjadi persembahan bagi Tuhan, jika air mata itu tak dicucurkan dari penderitaan hidup, dan ketundukan tak diperoleh dari gairah untuk saling menyelamatkan? Bukankah itu lucu? Dan kelucuan itu menghasilkan tawa, yakni tawa yang sangat menyedihkan.

Demikian Tuan Hambal menulis dalam buku kesaksiannya.

Sahdan sang shahibul hikayat kembali mengisahkan. Pada ketika yang lain, Tuan Hambal singgah di sebuah kedai. Di dalam kedai itu orang-orang melakukan maksiat. Menari. Minum minuman yang memabukkan. Perempuan-perempuan berbaju terbuka, berbaur dengan siapa saja laki-laki, berdansa, dan bersenang-senang. Tuan Hambal yang hanya singgah untuk melepaskan dahaga, kembali menyisih ke ujung sana, pada posisi yang tak mudah menjadi perhatian. Di situ, beliau pun menangis. Menangis haru dan bahagia.

“Apakah Tuan mendukung kemaksiatan?” tanya seseorang pada saat yang berlainan, ketika mendengar kisah itu secara diam-diam.

Tuan Hambal tidak menjawab. Ia menuliskan dalam sebuah buku kesaksiannya. Siapakah mereka yang di dalam kedai? Tanyanya. Ia menjawab sendiri pertanyaannya. Mereka adalah para pendosa. Para pendosa yang melakukan dosa karena kekosongan dan kebakhilan. Mereka tak sanggup menemukan kepuasan di dalam dirinya. Sehingga mengumbar diri, memuaskan diri, yakni diri yang tak pernah terpuaskan oleh segala kenikmatan dunia beserta segala isinya. Mereka telah mencelakai diri mereka sendiri. Betapa iba aku. Maka menangislah aku. Tulisnya.

Tuan Hambal melanjutkan kesaksiannya. Aku bersyukur kepada Tuhan seru sekalian alam. Bahwa hatiku tak sedikit pun memandang para pendosa itu dengan pandangan rendah. Mereka tak lebih rendah dari diriku, dan diriku tak lebih mulia dari mereka. Melainkan aku merasa, aku dan mereka adalah sama, yakni sama-sama makhluk Tuhan yang tak pernah ingin ditinggalkan meski sebagian kami begitu angkuh, sehingga tak bisa melihat kegembiraan yang mencelakakan dan kepedihan yang menyelamatkan. Kemudian aku pun menangis haru. Haru melihat mereka yang sangat menderita memuaskan dirinya yang tak pernah terpuaskan. Mereka menyiksa dirinya sendiri, mereka tidak selesai dengan dirinya sendiri. Perasaan haru itu aku tuangkan menjadi sehelai doa: “Tuhanku, mereka hamba-hamba-Mu jua. Kalau mereka Engkau laknat, mereka pasti tak akan sanggup. Maka ampunilah aku, ampunilah juga mereka. Dan biarkan mereka tetap menari sampai kelak ke dalam surga-Mu.”

Demikian kesaksian itu dituliskan Tuan Hambal.

Sadarul kalam, sebermula tersebutlah kisah. Seorang perempuan setengah baya meminta nasehat hukum agama kepada Tuan Hambal. Sang teolog agung yang kokoh ini, mendengarkan pengalaman seorang perempuan pemintal. Perempuan pemintal mengisahkan kehidupannya yang miskin dan ditindas struktur masyarakat yang tidak adil. Untuk membantu pendapatan suaminya dan menghidupi anak-anaknya, ia bekerja sebagai seorang pemintal. Pada malam hari, ia tidak dapat memintal karena gelap. Tapi malam itu, jalanan depan rumahnya disinggahi para kafilah yang membawa lampu-lampu terang di malam hari. Secara diam-diam, ia memanfaatkan lampu-lampu terang dari rombongan para kafilah itu untuk memintal hingga selesailah pekerjaannya.

“Dan pekerjaan saya selesai malam itu, Tuan Hambal. Saya mendapatkan upah dari pekerjaan saya itu, Tuan.”

“Bagus,” jawab Tuan Hambal yang agung.

“Tapi Tuan Hambal. Saya memintal dengan memanfaatkan lampu penerangan para kafilah tanpa meminta izin. Bagaimana hukumnya? Apakah uang dari pekerjaan saya itu tidak kotor dan dosa?” tanya si perempuan pemintal.

Sang imam yang luhur, Tuan Hambal yang agung, tercengang mendengar pertanyaan si perempuan pemintal. Pelan-pelan air mata meleleh di pipinya yang kokoh. Di tengah orang-orang menabrak segala hukum demi materi, kekuasaan, dan gundik simpanan yang muda, di tengah keserakahan para pemodal yang keji, masih ada seseorang yang tetap menjaga kesucian diri dan pekerjaannya walaupun tertindas. Setelah air mata mengalir di kedua pipinya, lalu seketika Tuan Hambal tertawa bahagia.

“Pulanglah. Tetap suci hasil pekerjaanmu. Kotor dan dosa jadi tanggungan penguasa dan orang kaya, karena kekuasaan dan kekayaan itu telah membiarkan rumahmu tanpa lampu.”

Tembokrejo, Muncar, 2021

Leave a Reply

Bahasa »