WILAYAH GARAP APRESIASI SASTRA (3)

Djoko Saryono *

Wilayah garap (jangkauan) apresiasi sastra, kritik sastra, dan penelitian sastra sering rumpang dan berbenturan. Sering ditemui tulisan-tulisan yang disebut apresiasi sastra ternyata menggarap wilayah kritik sastra. Demikian juga sering kita lihat tulisan-tulisan yang disebut kritik sastra ternyata menggarap wilayah apresiasi sastra. Penelitian sastra pun sering menggarap wilayah kritik sastra dan apresiasi sastra. Bahkan kadang-kadang kita kesulitan membedakan apakah suatu tulisan itu penelitian sastra, kritik sastra, apresiasi sastra atau esai sastra.

Perbedaan wilayah garap apresiasi sastra, kritik sastra, dan penelitian sastra agaknya akan sulit diidentifikasi jika kita berhenti pada karya sastra. Dikatakan demikian karena baik apresiasi sastra, kritik sastra maupun penelitian sastra absah menjelajahi seluruh fenomena karya sastra. Perbedaan wilayah garap ketiganya baru jelas diidentifikasi jika kita memperhatikan ciri-ciri perilaku yang harus ada dalam ketiga kegiatan tersebut. Jadi, untuk melihat gambaran wilayah garap apresiasi sastra kita harus mengidentifikasi ciri-ciri perilaku yang harus ada dalam apresiasi sastra.

Sejalan dengan hakikat, pengertian, dan pokok persoalan yang sudah diuraikan di muka, kita memahami bahwa apresiasi sastra merupakan kegiatan internalisasi sastra, sementara kritik sastra dan apresiasi sastra merupakan kegiatan rasionalisasi sastra. Dalam internalisasi sastra, jarak harus dileburkan dan jurang harus ditimbun antara manusia-pembacanya dan karya sastra, sementara dalam rasionalisasi sastra, jarak justru harus diciptakan-direntangkan dan jurang mesti digali-dingangakan antara manusia-pengkritik dan karya sastra. Hal ini berarti bahwa kegiatan apresiasi sastra lebih merupakan suatu seni (kiat), sedang kritik sastra dan penelitian sastra lebih merupakan kegiatan keilmuan.

Sebagai suatu seni (kiat), apresiasi sastra menekankan perilaku pengindahan, penikmatan, dan penghargaan sastra. Dalam pada itu, sebagai kegiatan keilmuan, kritik sastra dan penelitian sastra menekankan hal lain. Kritik sastra menekankan perilaku pencarian, penilaian, dan penghakiman kebenaran nilai-nilai atau segala sesuatu yang ada dalam sastra. Penelitian sastra menekankan perilaku pengamatan (observasi), pemerian (deskripsi), dan penjelasan (eksplanasi) segala sesuatu yang ada dalam sastra. Hal ini mengimplikasikan, dalam apresiasi sastra berlangsung penerimaan sepenuhnya karya sastra, sedang dalam kritik sastra dan penelitian berlangsung pencurigaan atau penyangsian karya sastra. Dengan demikian, apresiasi sastra lebih meminta keakraban antara pembaca dan karya sastra, sedang kritik sastra dan penelitian sastra justru meminta keformalan antara pengkritik dan peneliti dan karya sastra. Hal ini dapat diibaratkan bahwa dalam apresiasi sastra, hubungan antara pengapresiasi dan karya sastra merupakan hubungan dua kekasih (bukan orang lain); sementara dalam kritik sastra dan penelitian sastra, hubungan pengkritik dan peneliti dengan karya sastra merupakan hubungan orang lain.

Agar wilayah garap apresiasi sastra, kritik sastra, dan penelitian sastra yang dijelaskan di atas lebih jelas lagi, marilah diperhatikan puisi berikut ini.

BALADA TERBUNUHNYA ATMO KARPO
W.S. Rendra

Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
bulan berkhianat gosok-gosokan tubuhnya di pucuk-pucuk para
mengepit kuat-kuat lutut punggung perampok yang diburu
surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang

Segenap warga desa mengepung hutan itu
dalam satu pusaran pulang-balik Atmo Karpo
mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri

Satu demi satu yang maju tersadap darahnya
Penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muda
– Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa
Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia karena padanya seorang kukandung dosa

Anak panah empat arah dan musuh tiga silang
Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang

– Joko Pandan! Di mana ia?
Hanya padanya seorang kukandung dosa
Bedah perutnya tapi masih setan ia
menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala
– Joko Pandan! Di mana ia?
Hanya padanya seorang kukandung dosa

Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
Segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
ridla dada bagi derunya dendam yang tiba

Pada langkah pertama keduanya sama baja
pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka
Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
Ia telah membunuh bapanya.
***

Jika kita melakukan apresiasi sastra terhadap puisi di atas, maka dengan penuh keakraban tanpa jarak kita menginternalisasinya dengan cara mengindahkannya, menikmatinya, kemudian menghargainya. Sesudah itu, kita menceritakannya atau melisankannya atau menuturkannya kepada diri sendiri atau orang lain. Contoh menceritakannya, misalnya demikian: Ada seorang perampok perkasa bernama Atmo Karpo. Suatu ketika ia mendatangi desa. Kali bukan untuk merampok, melainkan didorong oleh kesia-siaan hidup yang dirasakannya sangat pahit dan oleh perasaan berdosa kepada anaknya sendiri, Joko Pandan. Ia datang untuk menantang anaknya … (dan seterusnya). Dapat juga cara menceritakannya demikian: Puisi tersebut bercerita tentang dunia Atmo Karpo, dunia kekerasan yang mesti dijalaninya. Dunia kekerasan penuh permusuhan baik dengan orang-orang kampung maupun dengan orang dekat, bahkan anaknya. Atmo Karpo memasuki dunia kekerasan itu dengan perkasa meskipun akhirnya binasa juga, justru di tangan anaknya. Akhir kehidupan di dunia kekerasan itu … (dan seterusnya). Dapat juga wujud kegiatan apresiasi sastranya dengan melisankan puisi tersebut secara ekspresif di muka umum/banyak orang.

Sebaliknya, jika kita melakukan kritik sastra terhadap puisi Balada Terbunuhnya Atmo Karpo tersebut di atas, maka dengan penuh “kecurigaan” yang direntangi oleh jarak, kita merasionalisasinya dengan cara menyelidikinya, menilainya, dan mungkin menghakiminya secara mendasar. Ini semua kita kerjakan lazimnya dipandu oleh teori kritik tertentu, bisa formalisme, struktural, pragmatisme, semiotik atau lainnya. Andai kata puisi tersebut kita kritik dengan teori tekstual, maka kita bisa berbicara tentang susunan tematiknya (juru bicara dan pendengar, waktu, ruang, dan pengembangan tema), pola-pola makna, verifikasi, dan sebagainya. Kita bisa berkata bahwa juru bicara atau subjek lirik puisi tersebut implisit dan dengan demikian juga pendengar. Pengembangan tema puisi tersebut dilakukan dengan sederetan momen perbuatan sebabagaimana tampak pada larik-lariknya. Pengembangan tema sekali-gus penggambaran tema yang terlihat pada deretan larik tersebut termasuk memikat dan bagus karena kohesif dan koheren serta mampu menciptakan suatu dunia utuh. Demikianlah, kritik sastra bekerja di wilayah yang lebih objektif dan teknis.

Penelitian/kajian sastra bekerja di wilayah yang lebih objektif dan teknis lagi. Ia bekerja di wilayah yang harus jelas teori dan metodologinya: teori apakah yang digunakan (struktural, semiotika, feminis, fantasi, etnopuitika, dan sebagainya) dan metodologi apa yang dipakai (kuantitatif atau kualitatif, nomologis atau ideografis, dan sebagainya). Andaikata kita meneliti puisi Balada Terbunuhnya Atmo Karpo tersebut, misalnya meneliti majasnya (teori retoris-linguistis), kita bisa berbicara tentang metafora, personifikasi, dan sebagainya. Kita bisa mengulas personifikasi dalam larik bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para atau metafora dalam larik panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka. Secara stilistik, kita bisa juga menyelidiki gaya (style) yang terkandung dalam larik Anak panah empat arah dan mu-suh tiga silang/Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang atau larik Bedah perutnya tapi masih setan ia/menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala. Sesudah kita perikan majas dan gayanya, kita bisa menjelaskan bagaimana pemakaian majas dan gaya dalam puisi tersebut: apakah majas dan gaya dalam puisi tersebut mampu membangun sebuah gambaran kuat; dan apakah gaya puisi tersebut memiliki koherensi dan kohesi yang kuat.

Dari contoh bekerjanya apresiasi sastra, kritik sastra, dan penelitian sastra tersebut di atas makin jelaslah wilayah garap masing-masing; paling tidak wilayah garap apresiasi sastra. Dari uraian tersebut di atas kita bisa menyimpulkan bahwa yang digarap oleh apresiasi sastra, kritik sastra, dan penelitian sastra adalah sastra; ketiganya sama-sama menggarap sastra. Namun, ketiganya menggarap sastra secara berbeda-beda. Apresiasi sastra lebih merupakan internalisasi, subjektif, dan tak dapat selalu dipandu oleh teori tertentu, sedangkan kritik sastra dan penelitian sastra lebih merupakan rasionalisasi, objektif, dan dipandu oleh teori tertentu serta evaluatif. Dengan demikian, jelaslah wilayah garap apresiasi sastra, yaitu wilayah yang menuntut internalisasi, subjektivitas yang jujur dan luhur serta mulia, dan individual bergantung pada pengapresiasinya.

Bersambung 4….


*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

2 Replies to “WILAYAH GARAP APRESIASI SASTRA (3)”

Leave a Reply

Bahasa »