Bapak

Felix K. Nesi *
Jawa Pos, 22 Des 2019

Saya sedang menyetrika ketika kepala Bapak nongol dari balik pintu.

”Di mana kamu ikat sapi?” ia bertanya.

”Di pohon ampupu. Dekat kandang babi,” saya menjawab.

”Tidak ada.”

Matanya seperti datang dari masa lalu. Masa ketika saya yakin bahwa saya bisa bermain bola, dan ia bersikeras bahwa saya tidak mampu menjadi atlet.

Saya melepas setrika dan tergopoh ke belakang. Hujan baru saja reda. Malam jatuh dan hari mulai menjadi dingin. Cahaya kekuningan dari bola lampu yang tergantung di depan uembubû1 terhalang kandang babi. Saya mengeluarkan telepon genggam, menyalakan lampunya, mengitari kandang babi dan menuju pohon ampupu. Pohon itu berdiri, sepi sendiri, menatap saya. Tidak ada sapi. Katak berketur dari segala arah.

Bapak mengikuti saya dari belakang. Ranting lamtoro sisa makanan sapi menggerisik beradu dengan kakinya.

”Tadi saya ikat di sini,” saya berkata.

Ia mendekati pohon ampupu. Cahaya dari telepon genggam membuat ubannya menjadi perak. Ia berjongkok, memperhatikan pokok pohon ampupu, lalu menengadah dan menatap saya.

Matanya masih datang dari masa lalu. Mata yang menatap saat saya terpental tiga meter usai beradu kaki dengan seseorang berbadan kekar di tengah lapangan. Apa kata Bapak, kamu terlalu lemah untuk sepak bola.

Saya berjalan ke arah bahan2 dengan lampu dari telepon genggam yang hanya samar-samar. Sedikit membungkuk, saya melihat jejak sapi ada di mana-mana. Beberapa telah samar terhapus hujan. Saya tidak bisa membedakan usia jejak-jejak itu –tidak seperti Bapak. Saya tidak pernah bisa menjadi Bapak.

Sore tadi saya disergap hujan ketika menarik sapi dari sabana. Sapi betina dan anaknya yang lincah, nakal sekali. Dulu Bapak punya banyak sapi. Berkurang banyak sesudah Ibu meninggal. Saya basah kuyup. Dua sapi itu berdiri di semak dan tidak ingin bergerak. Yang kecil melompat-lompat, menangkap pucuk dedaunan gamal dengan lidahnya. Dengan usaha keras saya berhasil menarik mereka ke belakang rumah. Saya ikat terburu-buru di pohon ampupu dan berlari ke dalam rumah. Saya mandi dan menyetrika baju baru.

”Apa yang kamu lakukan?” Bapak bertanya. Setengah berteriak. ”Kamu tidak bisa menemukan sapi hanya dengan bengong di dekat bahan.”

Ia selalu tahu bahwa saya tidak bisa melakukan apa-apa. Saya tidak bisa bermain bola. Saya tidak bisa memanjat pohon tuak. Saya tidak bisa menunggang kuda. Saya tidak bisa mencari sapi.

”Romi! Sudah habis kau setrika pakaian?”

Suara Agatha mengembalikan saya dari masa lalu. Saya menoleh. Perempuan itu berdiri di belakang uembubû. Pelita di tangan kanan. Nampan di tangan kiri. Uap ubi jalar yang mengepul dari nampan menari-nari menembus cahaya lampu senter.

Saya teringat kepada sesuatu. Spontan saya berlari ke dalam rumah. Bau hangus menusuk hidung sejak saya menapaki tangga licin di pintu belakang. Buru-buru saya masuk ke kamar. Di depan saya, baju putih yang rupawan itu telah menyatu dengan selimut yang saya pakai sebagai alas setrika. Lubang sebesar setrika menganga di punggungnya. Saya merasa ingin kencing.
***

Bapak menikahi Agatha dua tahun yang lalu. Belisnya tujuh puluh lima juta. Ia punya darah Flores dan pernah kuliah di Surabaya. Kombinasi yang bagus untuk harga belis.

Mereka mengadakan pesta yang meriah. Dansa sampai matahari naik. Kue pengantin diganti piramida sirih-pinang. Setiap undangan mendapatkan gantungan kunci sebagai hadiah, bertulisan nama mereka. Romantis sekali.

Saya terlalu sedih untuk pulang kampung dan mengikuti pesta meriah itu. Ibu baru saja meninggal. Belum juga satu tahun. Saya bertahan saja di Kupang.

”Dosen tidak memberi izin,” saya memberi alasan.

”Apakah kamu tidak bisa bolos? Titip absen ke temanmu.”

”Jadwal kuliah sangat padat. Yang bolos tidak bisa mengikuti ujian semester.”

Tetapi saya tidak masuk kuliah. Dua hari di kos saja. Tidur dan menangis untuk Ibu.

Kematian Ibu, sebenarnya, bukan hal yang buruk-buruk amat. Bukan sesuatu yang mendadak. Stroke telah lama membuat sebelah badannya berhenti berfungsi. Ia berjalan dengan tongkat, seperti mayat hidup. Kadang tidak bisa melakukan apa-apa. Perlu disuapi. Perlu diceboki. Setengah orang yang melihatnya berharap ia segera mati. Agar penderitaannya berakhir.

Bapak meniduri Agatha sebelum Ibu meninggal. Saya berharap tidak ada orang yang tahu itu. Tetapi saya tahu. Tentu banyak orang yang tahu juga. Di kampung sekecil ini, kabar menyebar lebih cepat daripada wabah.

Agatha adalah pendoa. Kali pertama ia ke rumah ini adalah untuk mendoakan Ibu. Bapak yang membawanya. Ia berdoa sangat panjang sambil mengangkat-angkat tangannya ke langit-langit rumah. Ia mencelupkan rosario ke dalam segelas air dan meminta Ibu meminumnya.

Tak lama saya diberi tahu bahwa Ibu telah dipindahkan ke rumah sakit Kefamnanu. Di rumah, Ibu jarang mendapatkan perawatan. Bapak sibuk. Para ponakan yang datang merawat kebanyakan menjadi bosan dan pulang diam-diam, tidak ingin terganggu saat bermain gawai. Saya ingin berhenti kuliah dan merawat Ibu. Tetapi Ibu marah.

”Ibu orang bodoh. Hanya tamat SD. Kamu harus menjadi sarjana. Agar tidak dibodohi.”

Suatu hari Jumat, saya mencegat bus Sinar Gemilang dan pulang kampung. Saya rindu Ibu. Enam jam perjalanan, dengan kondektur yang suka memaki dan penumpang yang muntah-muntah, sangat melelahkan. Saya tiba saat hari mulai malam. Saya singgah di pasar, membeli sayur dan buah-buahan, dan menumpang ojek ke rumah. Saya akan memasak untuk Ibu.

Rumah terkunci. Tetapi sepeda motor Bapak ada di situ.

Sesudah saya memanggil berapa lama, Bapak dan Agatha membuka pintu. Saya tidak berharap ada Agatha. Tetapi ia ada. Ia masih muda dan cantik. Mungkin hanya lima tahun lebih tua dari saya.

Bapak bilang mereka baru saja pulang dari rumah sakit. Suaranya sedikit gemetar. Ia tahu bahwa saya tahu bahwa

ia berbohong. Tetapi ia tidak berhenti berbicara, berharap di suatu titik menemukan alasan yang membuat saya percaya.

”Kami hanya singgah sebentar untuk mengambil beberapa barang. Bapak akan mengantar Agatha pulang. Kenapa tidak telepon dahulu? Kan Bapak bisa menjemputmu di terminal.”
***

”Apakah kau punya baju lain?” Agatha bertanya. Saya baru saja berteriak histeris karena baju saya hangus. Dan ia datang. Berdiri di pintu kamar. Melongok.

Saya ingin menangis. Baju hangus itu saya beli dengan uang dari Tanta Claudia. Rumahnya di Penfui, istri seorang dosen. Saya membantunya membuat kue makao. Ia menjual kue untuk dosen dan anak kos di sekitar Jalan San Juan. Sebelum saya pulang kampung, ia memberi uang dua ratus ribu. Saya bilang tidak usah. Saya selalu senang berada di dapur. Ia bilang ambil saja. Kamu perlu sesuatu untuk Hari Natal, katanya. Saya pergi ke Pasar Kupang, saya beli kemeja putih. Panjang lengannya. Akan saya pakai di Malam Natal. Dengan sarung tenun. Selendang. Mungkin juga ikat kepala. Seperti laki-laki pada umumnya.

Sebelum saya menjawab Agatha, bunyi gelas berderak-derak di rak piring.

”Uuu…” Bapak memanggil, seperti orang Timor memanggil. ”Ubi ini bikin saya tersedak. Apakah ada kopi untuk saya?”

Agatha berlalu dari pintu, menuju ruang makan.

”Anak itu membuat sapi terlepas,” Bapak berbisik dalam bahasa Metô3. Ia harus belajar cara berbisik. Saya masih bisa mendengarnya. ”Saya akan keluar dan mulai mencari jejak. Sebelum sapi-sapi berjalan jauh.”

”Ini Malam Natal. Kamu bisa mencari besok,” Agatha menjawab.

”Besok pasti kau bilang: Ini Hari Natal! Jangan cari sapi. Ayo ke gereja!”

”Sapi tidak pergi jauh. Ada pagar kampung. Malam Natal hanya ada setahun sekali.”

Saya mendengar Bapak menarik napas panjang.

”Anak tidak berguna. Seperti perempuan saja. Disuruh masukkan sapi saja tidak bisa.”

”Husshh!”

Hening sesaat. Saya mendengar suara kecupan.
***

”Apakah Agatha tadi ke sini?”

Saya bertanya tanpa menatap Ibu.

Saya pisahkan paprika dari kotpese4, dan menyuapi Ibu.

”Nona Agatha? Yang berdoa seperti orang Protestan itu?” Ibu bertanya sesudah menelan makanannya.

Saya mengangguk.

”Sudah lama kami tidak bertemu. Apakah kamu bertemu?” Ibu bertanya.

Saya menggeleng. Wajah Agatha di beranda ketika bertemu dengan saya beberapa saat yang lalu tiba-tiba terbayang. Tahi lalat di dagu, gincu setengah terhapus, dan rambut ikal yang diikat dengan terburu-buru.

Saya membuang muka, mencoba menyembunyikan bayangan Agatha dari hadapan Ibu.

”Apa yang ingin kamu katakan?” Ibu bertanya dalam bahasa Metô.

Kaha, Aina. Tidak, Mama.

Ibu terdiam. Lama.

”Baik-baiklah kepada Bapak. Jangan membencinya.”

Ibu tahu sesuatu. Saya pegang tangannya. Saya kecup. Saat ia meninggal, saya tidak tahu harus membenci siapa.
***

”Kau berkelahi seperti bencong!”

Tomi Faifui baru saja meninju saya dengan keras. Teman-temannya tertawa. Pacarnya sempat menegur agar ia berhenti memukul, tetapi akhirnya ikut tertawa juga. Menikmati betapa jago pacarnya berkelahi.

”Lapor sana sama teman-temanmu. Semua anak Kos Pelangi. Kalau berani, kita berkelahi.”

Wendelinus Hutu berkata sambil melempari kepala saya dengan botol air mineral.

Teman-temannya tertawa lebih keras.

”Kos Pelangi itu isinya bencong semua! Termasuk Bapak Kos juga bencong!”

Badan anak lain yang berbicara itu kecil saja. Tetapi mulutnya seperti pisau. Saya merasa jijik jika harus menuliskan namanya di sini.

Tadi, saat Tomi mulai memukul, saya telah mencoba untuk melawan. Saya tinju beberapa kali. Dengan kepalan tangan dan jurus yang Bapak ajarkan saat saya kecil.

Tunduk, pukul. Tunduk, pukul lagi. Pukul kuat.

Saya menunduk dan memukul. Tetapi hanya dua kali mengenai Tomi.

Tomi bergerak sangat cepat. Kepalan tangannya seperti batu. Kakinya datang tanpa saya sadari. Kini saya merasa isi perut saya berpindah ke tenggorokan, dan rahang saya tidak bisa mengunyah lagi. Seorang lain yang bukan Tomi menendang tengkuk saya dari belakang saat saya terjengkang. Saat saya terjatuh, banyak sekali tendangan yang bersarang di tubuh saya. Sangat pengecut. Dan mereka melakukannya sambil tertawa.

”Apakah kau benar laki-laki? Apakah kau masih menyukai perempuan?” Tomi berkata sebelum mereka pergi.

Kami berkelahi karena saya mendebatnya di kelas. Ia setuju bahwa upacara penerimaan mahasiswa baru harus dengan gaya militer. Katanya, agar mengubah yang banci menjadi laki-laki sejati. Saya bilang ia bodoh, apa itu laki-laki sejati? Mereka tertawa dan bilang saya menolak karena saya memang terlihat seperti banci. Saya bilang ayo berkelahi sekarang juga. Ia menolak berkelahi. Tetapi ia baru saja mengeroyok saya di luar kelas, dan sekarang bertanya apakah saya menyukai perempuan. Tentu, goblok. Tentu saja saya menyukai perempuan. Saya menyukai rambut mereka. Saya menyukai lekuk payudara mereka. Lengan mereka yang halus. Tengkuk yang wangi. Saya sangat menyukainya. Saya berharap saya mempunyai semua hal itu.
***

Setelah pernikahan Bapak dengan Agatha, saya mencoba menghindari rumah. Saya tidak pernah pulang kampung. Kadang saya ingin mati. Saya suka mendebat orang. Tidak peduli seberapa besarnya dia.

Tetapi Tomi baru saja membuat saya sakit. Usai perkelahian itu, saya tidak bisa mengunyah nasi. Rahang saya sakit. Saya juga terlalu lemah untuk memasak, apalagi pergi ke mana-mana. Teman-teman di Kos Pelangi menelepon ke rumah. Agatha datang satu hari kemudian. Bapak terlalu sibuk untuk datang, katanya. Atau itu cara Bapak untuk mendekatkan saya dengan Agatha.

Saya tidak punya pilihan lain selain makan bubur buatan Agatha. Mendengarkan kata-katanya.

”Kamu bisa menjadi siapa pun yang kamu mau. Apa pun. Berhentilah mendengarkan Bapak. Berhenti mendengarkan orang-orang. Mereka hanya bisa menghakimi.”

Ia perempuan yang cerdas. Saya menangis. Dan merasa seperti telah lama mengenalnya. Kami berpelukan.
***

”Lihat, kamu cantik sekali.”

Saya tertawa. Agatha punya selera yang baik untuk pakaian. Ia baru saja memberikan kemeja putihnya untuk saya. Bapak hanya punya satu kemeja putih, tidak bisa dipinjamkan. Saya memakai kemeja Agatha. Kemeja perempuan, dengan pinggang yang kecil dan pinggul yang besar. Juga rumbai di pinggang dan lehernya. Sangat pas untuk saya. Saya mengikat kain tenun sedikit di atas pinggang dan melilitkan selendang ke leher untuk menyamarkannya bentuk kemeja itu. Ini Malam Natal, semua orang mengenakan kain tenun. Di balik kain tenun, orang tidak akan tahu apakah itu kemeja perempuan atau laki-laki.

Sebelum menyembunyikan kemeja itu di balik kain tenun, Agatha berdiri di depan saya dan mengagumi bajunya yang sangat cocok di badan saya. Ia membuka tas, mengeluarkan gincu, dan mengoleskannya ke bibir saya.

”Kamu cantik sekali. Kamu seharusnya menjadi perempuan!”

Dari kamarnya, Bapak ikut tertawa. Tawa yang datang dari masa lalu. Tawa yang datang setiap kali orang mengatakan bahwa saya seperti perempuan. Saya selalu tidak punya pilihan selain ikut tertawa. Berharap setiap tawa dapat mengubah hal-hal yang menyakitkan menjadi lelucon.

”Kamu punya uang receh? Untuk uang derma?” Bapak bertanya.

”Di tempat sirih-pinang!” Agatha menjawab.

”Di mana tempat sirih-pinang?”

”Di sekitar situ. Cari dahulu sebelum bertanya. Saya masih membetulkan pakaian Romi!”

Bapak terdiam sebentar. Kemudian menggerutu dalam bahasa Metô.

”Kalian cocok sekali,” katanya sambil mencari. ”Yang satu perempuan cantik. Yang satu laki-laki tetapi tidak tahu cara ikat sapi. Laki-laki tetapi pakai baju perempuan untuk Malam Natal. Seperti perempuan kecil. Dua perempuan di rumah saya. Cocok sekali. Kalian cocok sekali.”

Saya ikut tertawa. Tetapi tawa saya tidak mengubah tawa Bapak menjadi lelucon. Saya hapus gincu di bibir, dan saya mulai mencukur kumis tipis saya. Agatha menyetrika selendang sambil memiringkan bibirnya. Jangan dengarkan Bapakmu, matanya berkata. Kami memang cocok sekali. Saya dan Agatha. Bapak tidak tahu apa yang kami lakukan di Kupang.

Leiden, 2019

Keterangan:
Uembubû : Rumah tradisional masyarakat Timor
Bahan : Pagar yang terbuat dari susunan kayu
Bahasa Metô : Bahasa masyarakat suku Metô, Timor
Kotpese : Sejenis kacang-kacangan


Felix K. Nesi, foto kurungbukadotcom

*) Felix K. Nesi, lahir di Nesam-Insana, Nusa Tenggara Timur. Bukunya yang telah terbit berjudul ”Usaha Membunuh Sepi” (2016) dan ”Orang-Orang Oetimu” (2019). Bergiat di Komunitas Leko Kupang, Komunitas Dusun Flobamora, dan bacapetra.co.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *