Mashuri *
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Milu edan nora tahan
Yèn tan milu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjane kang lali
Luwih begja kang eling lawan waspada
(Serat Kalatida, Pupuh Sinom, Bait ke-7)
Pada akhirnya, sampai juga saya ke makam KRT Ronggowarsito (1802-1873) di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Klaten, pada 28 September 2018. Yeah, karena dalam kurun waktu lama, saya hanya mampu wira-wiri di jalan Raya Surabaya-Yogyakarta sepanjang 2010-2015 tanpa ‘terpanggil’ untuk turun dari bus, lalu berziarah ke peristirahatan terakhir raksasa Sastra Jawa tersebut.
Siang itu, saya pun memaksa diri untuk turun dari bus Yogya-Solo. Kebetulan saat itu saya barusan ada acara seminar sastra di Yogyakarta dan saya menyampaikan kertas kerja terkait Babad Pacitan. Dari terminal Yogyakarta, saya sudah berhasrat ke makam Ronggowarsito, sehingga saya naik bus rute Yogyakarta-Solo, meskipun leletnya minta ampun. Kalau tidak begini dan naik bus patas jurusan Yogyakarta-Surabaya, saya pasti ogah-ogahan turun, karena keburu tidur.
Begitu turun dari bus, sebagaimana biasa, sebelum saya mencari ojek menuju Palar, saya makan dulu di sebelah barat pertigaan jalan, sebuah kedai mie Jawa. Saya ngudap mie godok yang maknyus. Begitu perut kenyang, saya langsung mencari ojek di pangkalannya. Di sana, sudah stand by seorang tukang ojek. Awalnya, saya kira jarak jalan raya dan makam Kiai Ronggowarsito itu dekat, sehingga saya menawar ongkosnya seperti orang memeras cucian baju yang akan dijemur.
“Biasa segitu, Mas. Malah, kalau ditambah, saya berterima kasih,” tutur tukang ojek yang sudah berumur, sekitar 50-an tahun, sambil menyalakan motor tua keluaran tahun 1990an.
Saya pun langsung melihat isi dompet. Menghitung berbagai peluang, supaya dapat digunakan untuk balik Surabaya naik bus antarkota. Setelah memastikan cukup, ditambah untuk membeli rokok djisamsu plus arem-arem plus tahu goreng di terminal Solo, akhirnya saya pun mengordernya untuk berangkat saja. Mesin motor tua meraung, dan dengan kekencangan yang bikin saya agak ngeri, motor itu melaju ke arah selatan. Namun, di jalan, saya merasa, motor tidak kunjung sampai. Wah, berarti ojeknya murah nih.
Benar saja, setelah melampaui beberapa kampung, dan lumayan jauh, ojek berhenti di parkiran makam KRT Ronggowarsito.
“Pak, apakah Jenengan bisa menunggu saya?” tukas saya, begitu melihat kondisi makam yang sepi, terlebih tidak ada tukang ojek di sana.
“Inggih, Mas!” seru tukang ojek, bungah. Saya membatin, tahu saja dia kalau nanti ongkosnya akan saya tambah.
Namun, begitu menginjakkan kaki di sana, saya harus berhadapan dengan beberapa oknum yang mengawal kotak amal. Setelah saya masukkan beberapa lembar seribuan, saya baru dipanggilkan juru kunci. Setelah itu, saya diantar juru kunci makam ke makam Kiai Ronggowarsito, dengan menyatakan, bahwa ‘oknum’ yang di depan itu bukan juru kunci, tetapi dialah yang juru kunci. Bahkan, ia menunjukan kunci secara harfiah, saat ia membuka cungkup makam dengan sebuah kunci lawas. Saya memahaminya.
Saya pun masuk bangunan makam dengan arsitektur bergaya indies. Di sana, ada makam induk Kiai Ronggowarsito, dan beberapa makam lainnya. Setelah umik-umik sebentar sambil berdiri, saya pun mengambil beberapa gambar dengan tustel. Lalu, sebagai orang yang sedang menyibukan diri dengan dunia sastra, dan sok sibuk, saya pun bersila di depan pusara pujangga besar tersebut. Saya memilih di bagian tengah pusara, tidak berani di bagian kepala. Biar tidak dianggap kurang adab.
Ketika saya bersimpuh di depan jirat Kiai Ronggowarsito, yang terbuat dari marmar dengan epitaf beraksara Jawa, entah kenapa, dalam benak saya, terjadilah dialog imajiner sebagai berikut.
“Assalamualaikum, Kiai Bagus Burhan!” sapa saya.
“Waalaikum salam!” jawab pujangga yang bernama aseli Raden Bagus Burhan tersebut.
“Saya dari tlatah Jawi Wetan, sedang belajar kabudayan Jawa,” kata saya memperkenalkan diri.
“Bagus!” jawab pujangga yang pernah menjadi santri Kiai Ageng Kasan Besari di Pesantren Tegalsari Ponorogo tersebut.
“Menurut Jenengan, bagaimana perkembangan sastra Jawa era sekarang?” tanya saya, mengambil topik yang sesuai.
“Hmmmm. Apakah Susastra Jawa itu masih ada to?!” jawab beliau dengan nada tanya.
“Masih, Kiai!”
“Siapa sekarang gerangan yang merasa memegang pulung wahyu kapujanggan?” tanya dia.
“Modar!” demikian batin saya. Maaf, saya tidak berani meneruskan menulis dialog imajiner saya di status compang-camping ini. Bukan konsumsi publik, karena terlalu pelik. Ehm!
Saya pun menyudahi ngudarasa saya, ketika ada seorang pria ditemani dua orang perempuan yang datang berziarah. Yang laki-laki agak tua, sedangkan yang perempuan masih muda. Kedua perempuan agaknya dari jagat modern. Mereka berdua berjeans, meskipun beda usia. Yang muda, rambutnya dicat semipirang. Saya tidak mau menguping apa yang mereka gumamkan di depan pusara, karena sekilas saya mendengar bahwa gumamnya bukan berbahasa Arab, tetapi Jawa.
Saya mundur, lalu keluar cungkup. Setelah memberi beberapa ribu rupiah ke juru kunci resmi yang stand by di luar cungkup, saya pun melihat situasi sekitar makam. Saya pun menuju makam Winter, ahli bahasa dan sastra Jawa, asli Londo yang menjadi partner Ronggowarsito semasa hidup. Salah satu karya mereka berdua adalah Kamus Bahasa Belanda—Bahasa Jawa. Saya ke pusara Winter karena ketika tadi melangkah ke makam Ronggowarsito, saya melihatnya sekilas, tetapi saya tidak berhenti di sana dan langsung ke makam Ronggowarsito. Setelah itu, saya pun mengambil gambarnya.
Saya kira fenomena ini menarik. Semasa hidup, mereka berpartner dalam berkarya di alam fana. Begitu beralih alam, mereka pun masih berdekatan, meski berposisi berbeda. Kiai Ronggowarsito di dalam bangunan, sedangkan Winter dimakamkan di luar dengan model kuburan Belanda.
Pada saat itulah, melesat sebuah puisi sederhana dari alam batin saya, saya beri judul “Geografi Kontradiksi dalam Psike Kita yang Aduhai”. Entah kenapa, saya merasa berziarah ke sana adalah sebuah pendakian bukit. Mungkin karena dalam alam pikir saya, saya mempersepsi kedua sosok itu demikian menjulang dalam olah kebahasaan dan sastra Jawa. Puisi yang aslinya bertarikh 2018 itu saya edit ulang, lalu saya unggah ulang di Fesbuk pada Februari 2021, ketika saya sedang berjalan-jalan di kawasan tempat Ronggowarito nyantri, yaitu di Tegalsari Ponorogo.
GEOGRAFI KONTRADIKSI DALAM PSIKE KITA YANG ADUHAI
di atas bukit
di antara rimbun pinus
padang terbuka
dan tetanduran paku
menancap
kita menatap langit jiwa
sebagai atap penopang rindu
—bernafas bebas
seperti amsal penciptaan pertama
atau kelahiran jabang dari gerbang
rahim garba
meski mulut kita tak henti meratap
seperti pesakitan abadi
terusir dari sorga
—terpenjara luka
warisan dan sepi
ketika kita menuruni jalan setapak
sampai di kaki perbukitan
kita pun merayap dalam bumi jiwa
jawa
melata di atas tanah sebagai takdir
tak habis-habisnya
sambil mendendangkan tembang
kemolekan rembulan
meskipun bibir kita mendesis
seperti ular penggoda
pada adam-hawa
menawarkan bisa indah
tapi mematikan
tapi kita tak mungkin
bersumpah ‘demi waktu’, bukan
sebab pada gunduk tanah,
rebah kayu
kita adalah rayap
yang setia menghuni ruang gelap
sambil memburu cahaya
dari sela akar rumput
yang merindu penghujan
hingga ajal menjemput
meskipun kita terlalu rutin
membaptis diri sebagai tuhan
di sudut batin –yang berantakan
Palar, 2018/ Ponorogo, 2021
Tentu saja, ketika berbicara ihwal Ronggowarsto tidak ada habisnya, meskipun kini yang teringat di benak orang Jawa hanyalah sekelumit. Salah satunya adalah kondisi zaman edan, dengan peringatan eling lan waspada, sebagaimana yang saya nukil di awal ngablak ini. Meskipun tafsir eling dan waspada pun kini popular dengan plesetan, yaitu Eling kepada selingkuhan dan waspada terhadap pasangan. Entah bagaimana awalnya, tafsir ngawur terhadap ungkapan mashur “eling lan waspada” itu kini sedang ngetrend ditulis di berbagai status pesbuk, di belakang bak truk, bahkan di dinding-dinding toilet dan gubuk.
Sejatinya, tidak hanya ungkapan eling dan waspada saja yang dinisbatkan pada sosok sastrawan Jawa legendaris tersebut. Yang tak kalah populernya adalah ihwal zaman edan, ratu adil, dan berjuta-juta kearifan, misteri dan hal-ihwal lainnya melekat pada sastrawan yang pernah dianggap sebagai pujangga penutup Jawa tersebut.
Hingga kini, sosok ini memang unik dan ambigu. Bahkan, ada sisi-sisi tertentu banyak orang yang belum tahu. Salah satunya bahwa pada masa mudanya, ia dikenal sebagai santri super beling. Pada saat nyantri di Gebangtinatar, alias Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo, pada Kiai Ageng Muhammad Kasan Besari, Ronggowarsito menguji dirinya dengan mengembara dan pergi dari pesantren tanpa berpamitan sang kiai, sebelum akhirnya kembali lagi ke Tegalsari dan menjadi santri yang mumpuni. Ia nyantri di Tegalsari karena ayah dan kakeknya, yaitu Ronggowarsito I, II, dan Yasadipura juga nyantri di sana.
Di Tegalsari, masih dapat dilihat jejak-jejaknya. Sebuah rumah panggung, alias pondokan, di depan Masjid Agung Tegalsari dan di samping Dalem Ageng adalah saksi bisu ngalab ilmu dan ngelmu dari sang pujangga. Begitu pula keberadaan sebuah batu besar di pinggir kali Tegalsari yang merupakan tempat Sang Pujangga olah rasa, dengan cara mengasingkan diri untuk khalwat dan menyepi. Selain Tegalsari, Ronggowarsito juga ngalab ilmu dan ngelmu ke berbagai padepokan dan pesantren lainnya. Tak heran, karya-karya terasa ‘abadi’ dan memiliki kedalaman melampaui zamannya. Selain itu, pemahaman keagamaan dan penghayatannya juga luar biasa.
Sebagai manusia Jawa, tentu saya merasa memiliki ikatan dengan sastra dan budaya Jawa. Ketika masih berstatus mahasiswa di Universitas Airlangga, saya kerap menulis puisi Jawa, selain puisi Indonesia tentunya. Bahkan, saya dan kawan-kawan di kampus Karang Menjangan itu pernah membangun sebuah komunitas sastra Jawa untuk menyantuni kawan-kawan yang memiliki kepedulian dan hasrat menekuni dan memahami sastra dan budaya Jawa.
Memang, banyak orang yang tidak tahu bahwa pernah ‘berdiri’ sebuah komunitas sastra Jawa di Universitas Airlangga. Namanya menarik: Paguyuban Tiwikromo. Sebuah nama yang mengambil spirit dari para manusia setengah dewa dalam dunia wayang purwa yang dilanda ‘amuk’ ketika menghadapi angkara murka, sebagaimana Yudhistira, Kresna, dan lainnya. Sebenarnya, maksud sederhananya adalah pengerahan daya pikiran untuk fokus tertentu, yaitu sastra Jawa.
Yeah, dapat dikatakan, itu adalah komunitas di dalam komunitas. Pasalnya, yang aktif dan mendirikannya adalah anak-anak eksponen Komunitas Teater Gapus dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar Surabaya. Bila Gapus adalah wadah besar dan kebanyakan anggota resmi berstatus mahasiswa, Komunitas Luar Pagar adalah alumni Gapus, yang dapat juga dikatakan sebagai kopasus-nya. Ehm.
Tiwikromo berdiri pasca-Reformasi 1998, dan diinisiasi oleh empat orang, yaitu Widi Asy’ari (Ilmu Sejarah), Muhammad Aris (Sastra Indonesia), Gatot Suryowidodo (Ekonomi Pembangunan), dan saya. Hal itu mengingat ada juga senior komunitas yang juga gemar menulis guritan, di antaranya W Haryanto, Indra Tjahyadi dan lainnya. Pada perkembangannya, ada juga yunior di Gapus yang juga menggumuli guritan dan bergabung Tiwikromo, yaitu Djoko Susilo, dan dia termasuk salah satu pendiri Pakarsajen (Paguyuban Karawitan Sastra Jendra) yang hingga kini masih eksis di Unair.
Aktivitas Paguyuban Tiwikromo menjadi pemerkaya komunitas induk dan semacam paseduluran dari beberapa mahasiswa yang agak njawani atau suka dengan hal-hal berbau Jawa. Hal itu karena pada masa lalu, membuat komunitas di dalam komunitas itu lumrah. Bukan untuk firqah tetapi sebagai semacam laku disposisi, kadang juga hanya sebagai gaya-gayaan. Agar mbois!
Yang unik, tidak ada agenda formal dari Tiwikromo. Beberapa eksponennya rajin membuat guritan dan dikirimkan ke media berbahasa Jawa, baik itu Panjebar Semangat dan Jaya Baya (di Surabaya) maupun Djoko Lodang dan Mekarsari (di Yogya). Selain itu, diskusi sambil lalu terkait dengan kejawaan, yang dipungkasi dengan adu kesaktian. Ups! Maksudnya, berbicara tentang kejawaan dari sisi yang berbeda.
Saya masih ingat ketika saya dipercaya sebagai pimpro peluncuran “Manifesto Surrealisme” (2002) di Balai Pemuda, Surabaya. Kala itu, arek-arek memang ugal-ugalan. Acara peluncuran buku puisi yang diterbitkan Galah Yogyakarta bekerja sama dengan Luar Pagar itu didesain selama tiga hari dengan rangkaian acara: diskusi, pertunjukan sastra dan pembacaan puisi. Adapun salah satu sumber dananya adalah honor guritan kawan-kawan yang dimuat di majalah Jaya Baya. Saya pun mendatangi kantor redaksi sebagai tukang tagih. Meski waktu itu, honor pemuatan masih Rp. 15.000, tapi lumayan karena rapelan.
Saya mencatat ada dua antologi tunggal dari kawan-kawan Tiwikromo, yang keduanya diterbitkan dan disokong penuh oleh Komunitas Gapus. (1) Ilat Geni karya Widi As’ari tahun 2004 (2) Lagon Mripat karya Muhammad Aris tahun 2007. Mudah-mudahan tahunnya benar. Yeah, kedua kawan itu memang memiliki guritan dengan gaya unik dan khas. Bila tidak salah ingat, peluncuran buku dilakukan di kampus, dengan rangkaian diskusi dan perfom yang menghadirkan pembicara dari kalangan sastrawan Jawa di Surabaya dan Gresik.
Dulu, saya juga berencana menerbitkan antologi tunggal berjudul ‘Njengking’, tapi karena file ngendon di komputer lama yang rusak, akhirnya niat itu belum dapat terlaksana. Alasan lawas, Coy! Kini, jauh setelah pascakuliah, eksponen Tiwikromo sudah menyebar ke mana-mana. Mudah-mudahan masih ingat pada sastra Jawa. Bukankah sakbeja-bejane wong iku kang eling lan wapada? Gak nyambung, Cak!
Adapun, kesadaran terkait pentingnya peran Ronggowarsito dalam jagat sastra dan kebudayaan Jawa pun masih mengendap dalam alam kesadaran saya, meskipun gaungnya samar-samar. Pada tahun 2015, kebetulan saya dipercaya untuk menggelar serangkaian acara sarasehan sastra dan budaya oleh Balai Bahasa Jawa Timur. Untuk menguak lebih jauh ihwal Ronggowarsita, baik itu sosok, teladan, kearifan, karya, dan sepak terjangnya, saya menggandeng Lesbumi NU Jawa Timur menggelar sarasehan tersebut.
Acara sarasehan bertajuk “Ngaji Ronggowarsito” digelar pada 23 Oktober 2015 di Gedung PWNU Jawa Timur, jalan Masjid Al-Akbar Timur No.9 Surabaya, pukul 15.00—selesai. Pembicaranya adalah KH. Reza Imam Yahya, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, yang tenar disapa Gus Reza dan Mas Budi Palopo, seorang sastrawan Jawa. Acara dipandu oleh moderator Kiai Chamim Kohari, sastrawan dan salah satu pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah, Jeruk Macan, Mojokerto. Acara berlangsung menarik, karena Gus Reza menyuguhkan sesuatu di luar yang diamini para sastrawa Jawa dan Mas Budi Palopo menyuguhkan sisi Ronggowarsito yang berbeda.
Adapun terkait relasi saya dengan sastra Jawa, terutama wilayah kreatif, memang kurang intens, meskipun secara de jure, saya dianggap sebagai salah satu anggota PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya). Pascakuliah, saya lebih suka meneliti karya sastra Jawa daripada menuliskannya dalam karya kreatif. Meski demikian, sebenarnya, saya masih suka menulis gurit, walau entah kenapa jarang saya publikasikan. Gurit yang saya tulis dalam waktu belakangan ini adalah “Nandur Pangkur” berkolofon 14 Desember 2020. Gurit ini saya tulis ketika belasungkawa selama Pandemi seperti ombak yang terus menepi ke pantai. Saya membalutnya dengan kisah Panji. Apalagi pada saat itu, saya sedang membaca buku karangan Ronggowarsito versi cetak modern, “Pandji Djajeng Tilam”, terbitan Balai Pustaka, tahun 1966.
NANDUR PANGKUR
sun nandur pangkur
ing mingkar-mingkure
sabda luhur
nanging megatruh kang tuwuh
saka teleng dhadha
—-amarga pawarta kasidan
kaya udan
ngaruara
sakindenging
ngarcapada
kaya pecahe tangis
mbok randa
kelangan kinasih putera
: panji mbangun asmara
ing kedung kanyatan
sun gelung duwung
kang temlawung
saka rasa suwung
kaya biyung brang wetan
mbabar kahanan
yen candra kirana mung
kacipta ing dalu-dalu
agung
kang kinepung mendung
kidung
asmaradhana
o wangsit langit jiwa
apata
tan ana tembang kang karipta
ing gisik segara
jawa
kajaba sukma lungit
ing wit-wit wingit
lara-lapane jalma
Kahuripan, 14 Desember 2020
Kembali ke ziarah Kiai Ronggowarsito. Begitu keluar dari kompleks makam, saya sempat melirik patung Ronggowarsito sebadan di dekat gerbang, yang di bawahnya terdapat sebuah prasasti bertuliskan nukilan Serat Kalatida, sebagaimana yang saya kutip pada awal ngablak. Sayangnya, tulisan itu sulit diakses karena dijepit ruas pagar bercat oranye. Saya pun menuju tukang ojek yang menunggu saya di bawah beringin kecil di tempat parkir sambil merokok.
Ketika saya sudah di atas jok motor, dan balik kembali ke ruas jalan Solo—Yogya, saya seperti seorang pendaki, yang sedang menuruni sebuah bukit. Ada harapan untuk kembali mendaki, dan menganggap pengalaman barusan seperti kulit yang dicubit karena rasa gemas, sehingga tidak menyisakan sakit. Tentu saja, dengan pendakian lagi yang berspirit progresif, semisal menerbitkan sebuah buku puisi Jawa, meskipun tidak berupa karya eksperimental dan masih bersandar pada geguritan konvensional, tetapi sedikit genit dan nakal! Ups!
MA, On Sidokepung, 2021
Ilustrasi: (1) Makam Ronggowarsito di Palar (2) Pondokan Ronggowarsito di Tegalsari Ponorogo.
*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.