BUDI DARMA, ORATOR DAN PENULIS SASTRA

Mengenang Guru Besar UNESA, Prof. Dr. H. Budi Darma, M.A


Umar Fauzi Ballah

Ibarat Quran punya hati, yakni surat Yasin. Ibarat teks punya rangkuman dan simpulan, sosok Budi Darma terangkum dalam “Pengakuan” di Solilokui, buku esai sastra terbaik yang pernah saya baca. Kala itu, saya belum kenal secara langsung dan baru menjadi maba di Unesa ketika buku itu saya baca. Untuk ukuran sastrawan sebesar beliau, pernyataan bahwa beliau menjadi pengarang karena takdir terasa aneh. Namun, di sisi lain pengakuan merendah ini– dan memang saat saya mengenal beliau adalah sosok yang rendah hati–menggambarkan sesosok manusia yang fitrahnya memang tidak berdaya di hadapan takdir. Begitulah, dalam banyak hal, karyanya menggambarkan tokoh-tokoh yang tidak berdaya.

Ketika saya menjadi mahasiswa Sastra Indonesia Unesa, saya berharap kelak bisa mengikuti mata kuliah yang diampu Prof. Budi Darma, sang sastrawan besar yang patuh pada takdir itu. Sayangnya, beliau hanya mengajar mahasiswa jurusan sastra Inggris di S-1 dan pascasarjana. Itu pun adalah masa terakhir beliau mengajar di S-1, yakni mahasiswa angkatan 2004.

Sekali saya pernah nyelinap ikut mata kuliah yang Prof. Budi ampu, Literary Criticism, semester 5 atau di tahun 2006. Celakanya, saya tidak mengerti mata kuliah itu sebab beliau mengisi kuliah memakai full bahasa Inggris. Saya memilih duduk di bangku paling belakang. Suaranya nyaris tidak terdengar; mungkin karena saya duduk di belakang atau beliau sudah cukup sepuh. Yang menjengkelkan dari pengalaman itu adalah separuh mahasiswa di kelas itu tampak tidak memperhatikan beliau. Banyak yang tidak kenal siapa beliau, begitulah pengakuan Linna Ln yang mengantarkan saya bisa ikut mata kuliah Prof. Budi. Setelah mata kuliah usai, saya minta tanda tangan beliau di novel Olenka.

Pengalaman berbanding terbalik dari saat nyelinap ikut mata kuliah Prof. Budi adalah pengalaman nimba ilmu beliau di berbagai seminar-seminar sastra, di luar formalitas kelas, yang jauh lebih bernas. Banyak momen ketika tiba gilaran beliau ceramah sastra, para hadiri khusuk menyimak paparan dengan cara khas beliau bertutur. Beliau berceramah kadang layaknya membacakan cerpen. Berkisah tentang berbagai tokoh sastra dunia, lalu masuk ke inti pembicaraan.

Puncak dari kelihaian Budi Darma ceramah sastra adalah ketika didaulat menjadi keynote speaker pada acara Festival Cak Durasim untuk program sastra, 11 November 2007. Seharian diskusi sastra berjalan semarak yang diawali peluncuran buku berjudul Pelayaran Bunga, Penyair Mutakhir Jawa Timur. Ketika tiba giliran Budi Darma menyampaikan ceramahnya, sore hari kala itu, ruangan mendadak senyap. Hadirin khusuk menyimak. Tidak ada suara apapun kecuali untaian kalimat demi kalimat yang keluar dari lisan beliau. Saking senyapnya, saya mengatakan, suara angin pun tidak terdengar. Pengalaman itu tidak pernah saya alami sebelumnya dan setelahnya untuk sebuah forum sastra. Saya ingat persis Riadi Ngasiran menaruh alat perekam di samping sound. Di kemudian tahun, saya bertemu beliau hendak minta hasil rekaman itu. Sayangnya, beliau mengatakan lenyap entah ke mana.

Tulisan-tulisan Budi Darma, baik fiksi, esai sastra, bahkan esai politik, akan mudah kita dapatkan karena mengabadi. Namun, kita mungkin akan kangen mendengarkan ceramah sastra beliau yang bernas. Dan, itu sepertinya sulit akan kita dapatkan, padahal ceramah-ceramah sastranya sama bermutunya, sama asyiknya untuk dinikmati. Andaipun ceramah-ceramah itu ditranskrip, kita semata-mata kangen juga pada suara, pembawaan, dan intonasinya.

Rendah Hati

Orang yang pernah bersua dengannya, saya yakin, akan bersepakat bahwa Budi Darma adalah sosok yang bersahaja, low profil, rendah hati. Di balik keagungannya sebagai intelektual dan sastrawan, Budi Darma, berjalan sebagai manusia yang seolah-olah tidak memiliki predikat apapun.

Sama seperti kisah Wahyudi Siswanto, penulis buku Budi Darma Dunia dan Karyanya, saat menunggu Budi Darma di masjid Unesa, Ketintang, dan disapa dengan hangat, begitulah pertemuan saya secara intens dalam rangka wawancara untuk majalah Sesasi, FBS, Unesa, 2007 silam. Setelah mengisi mata kuliah untuk mahasiswa S-1, saya menemui beliau untuk maksud akan melakukan wawancara. Beliau mengatakan agar ditemui di kampus Pascasarjana Unesa, Ketintang, pukul 16.00.

Saya datang ke Pascasarjana, 30 menit sebelum waktu yang dijanjikan. Setelah melihat mahasiswa Pascasarjana keluar ruangan, saya mengintip hendak masuk. Namun, beliau tampak berbicara dengan lelaki paruh baya. Saya pun bersama seorang teman, menunggu di luar. Cukup lama dan saya merasa mulai gelisah. Kemudian Budi Darma keluar ruangan dan menyapa kami dengan hangat. Ternyata, beliau bersama rekannya menunggu di dalam untuk kedatangan kami. “Kami menunggu Mas Fauzi dari tadi…”

“Mohon maaf, Prof. Kami pikir Prof. Budi masih ngobrol. Jadi, kami tidak berani masuk.”

Setelah peristiwa itu, Prof. Budi terus ingat pada saya dan selalu menyapa ketika bertemu di berbagai kesempatan seperti seminar sastra. Pertemuan terakhir saya dengan beliau terjadi tahun 2010 ketika Dies Natalis Unesa mengadakan acara Sinau Bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng.

Sekitar tahun 2013, ketika Pascasarjana Unesa mengundang Kiai Kanjeng dan Cak Nun, beliau SMS saya, “Mas Fauzi, Unesa ngundang Cak Nun. Tidak ke Unesa?” SMS itu membuat saya terharu: ada Kiai Kanjeng dan Cak Nun di Unesa dan ingatan beliau melesat pada saya. Sayangnya, saya sudah tidak tinggal di Surabaya lagi dan saya sampaikan pada beliau bahwa saat itu bertugas di Sumenep.

Kemarin, Sabtu, 21 Agustus 2021, Prof. Budi Darma kembali dan berbahagia dalam takdir-Nya sebagai manusia yang oleh kami yang masih tinggal di dunia akan dikenang ketinggian intelektualnya, keluruhan budinya, dan bernas karya-karyanya. Semoga tidak berlebihan saya katakan bahwa beliau sosok yang nyaris sempurna di dunia sastra: tulisan, ceramah, dan kesehariannya adalah keindahan itu sendiri.

(Sumenep, 22 Agustus 2021)

Leave a Reply

Bahasa »