Yulhasni *
balaibahasasumut.kemdikbud.go.id 17 Jan 2017
Dalam khazanah Sejarah Sastra Indonesia, perkembangan karya sastra selalu identik dengan proses kreativitas yang mengikutinya. Sejak pertama sekali Sastra Indonesia Modern diperkenalkan dalam panggung politik Indonesia, maka sejarah kemudian mencatat beberapa bagian penting yang harus dipahami masyarakat, yakni tokoh, waktu, dan peristiwa sastra. Dengan demikian, ruang lingkup pembicaraan sastra tidak melebar terlalu jauh dan bisa dimaknai sebagai lahirnya tanda-tanda dari proses kreatif tersebut.
Dari zaman Balai Pustaka yang ditandai dengan lahirnya novel fenomenal Siti Nurbaya karangan Marah Rusli hingga lahirnya Angkatan 2000 yang dimaknai kelahiran pengarang-pengarang perempuan Indonesia, khazanah Sastra Indonesia selalu ditandai dengan berbagai persoalan ‘politik berkarya.’ Saya menyebut politik berkarya karena proses penciptaan karya sastra cenderung mempertontonkan penolakan terhadap gerakan mengatasnamakan sastra. Di Indonesia, geger sastra sempat muncul ke permukaan akibar gerakan puisi esai Denny JA yang kemudian bermuara masuknya nama ini dalam buku kontroversial terbitan Pustaka HB Jassin ‘’33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.’’
Jauh sebelum geger sastra itu muncul, di berbagai daerah telah lahir politik sastra dengan genderang perang Anti Jakarta. Konon kabarnya soal Jakarta dan non Jakarta dalam khazanah sastra kita sudah cukup lama berlangsung bahkan dinilai sebagai sesuatu yang ‘basi.’ Sekadar mengingatkan memori kita tentang itu, pada dekade 1972-1973 Remy Silado yang berasal dari Jawa Barat telah menolak dominasi itu lewat Gerakan Puisi Mbeling di majalah Aktuil, kemudian ada gerakan Pengadilan Puisi di Bandung (1974), Proklamasi Puisi Bebas oleh Grup Apresiasi Sastra ITB (1979), Emha Ainun Nadjib dengan kumpulan esainya Sastra yang Membebaskan (1982), dan Perdebatan Sastra Kontekstual di Solo (1984). Di akhir 1990, di luar Jakarta juga bermunculan komunitas-komunitas sastra dalam gerakan kreativitas. Kita mengenal gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) oleh Kusprihyanto Nama (Ngawi) dan Beno Siang Pamungkas di Solo, Masyarakat Sastra Jakarta (MSJ) oleh Korrie Layun Rampan dan Slamet Sukirnanto, Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Jabotabek yang dimotori Wowok Hesti Prabowo dkk, Komunitas Gorong-gorong di Depok yang dimotori Sitok Srengenge, Teater Utan Kayu (TUK) di Jakarta yang dimotori Gunawan Mohamad, Forum Lingkar Pena yang dimotori Helvy Tiana Rosa, Yayasan Multimedia Sastra (YMS) yang dimotori Medy Loekito dkk, Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY) oleh Puthut EA dkk, Komunitas Rumahlebah oleh Raudal Tanjung Banua, komunitas Rumah Dunia yang dimotori Gola Gong, dan banyak lagi komunitas-komunitas di berbagai daerah di Indonesia.[3]
Proses dan dinamika yang tergambar di atas saya letakkan sebagai politik sastra. Ini dimaknai sebuah upaya penolakan atas berbagai dominasi satu kelompok. Praktik hegemoni sastra sudah berlangsung cukup lama terutama sejak bangsa ini mengenal baca tulis. Bahkan perlawanan terhadap dominasi tersebut menandakan telah terjadi hegemoni dalam sastra Indonesia. Praktik hegemoni tidak hanya dipraktikkan oleh kekuasaan (bangsa ini pernah mengalami distorsi budaya saat karya-karya Hamka dibreidel Lekra dan karya-karya Pramudya Ananta Toer dibakar Orde Baru).
Cyber Sastra : Perlawanan atas Kekuasaan
Gerakan cyber sastra atau karya sastra yang terbit di internet, sebenarnya telah lama muncul di kurun waktu 90-an namun kemudian di tahun 2001 kembali mencuat setelah terbitnya buku Graffiti Gratitude pada tanggal 9 Mei 2001. Graffiti Gratitude merupakan buku antalogi puisi cyber. Penerbitan antalogi tersebut dimotori oleh Sutan Iwan Soekri Munaf, Nanang Suryadi, Nunuk Suraja, Tulus Widjarnako, Cunong, dan Medy Loekito. Mereka tergabung dalam satu yayasan yaitu Yayasan Multimedia Sastra (YMS).[4]
Di luar medium konvensional cetak, internet menghadirkan cara distribusi baru. Pada tahun 90-an muncul laman Cybersastra yang cukup aktif menerbitkan karya maupun kritik. sayangnya laman ini sudah tidak aktif lagi. Posisi laman ini dilanjutkan oleh laman Mediasastra yang, sayangnya, tidak terlalu aktif dalam menerbitkan kritik. Banyak pula penulis pemula yang menulis ulasan, apresiasi, maupun kritik dalam blog pribadi. Belakangan muncul pula grup-grup di sosial media yang khususkan dalam mendiskusikan sastra koran (di Facebook misalnya, ada grup sastra koran minggu yang mengumpulkan cerpen, puisi, dan esai yang dimuat dalam koran minggu). Medium internet sebenarnya menawarkan kemajuan dalam kritik sastra; ia lebih mudah diakses, tidak terbatas dalam panjang tulisan, memungkinkan lebih banyak kritikus yang muncul, serta memungkinkan diskusi yang lebih intens. Namun, pada nyatanya, tulisan di internet belum punya otoritas sebagaimana cetak. Banyak kritik sastra dalam laman blog pribadi memiliki masalah dalam hal penulisan dan penyuntingan; dari susunan kalimat yang berantakan, kedodoran dalam hal rujukan, argumentasi yang tidak runtut, kurangnya perspektif kritis, atau bahkan tidak punya ide tulisan sama sekali.[5]
Kehadiran gerakan cyber sastra memunculkan pro dan kontra. Dalam buku yang dieditori Saut Situmorang terangkum berbagai reaksi negatif dan positif kehadiran gerakan tersebut.[6] Ahmadun Yosi Herfanda dalam artikelnya berjudul ”Puisi Cyber, Genre atau Tong Sampah” secara terang-terangan menyebut puisi yang terbit di internet sebagai ’’tong sampah.’’ Hal itu karena karya yang terbit di internet adalah jenis sastra yang tidak bisa terbit di media cetak.[7] Bahkan tidak kurang garang, penyair ternama Sutardji Coulzoum Bachri menyebutnya sebagai ’tai yang dikemas secara menarik akan lebih laku dibandingkan dengan puisi yang dikemas secara asal-asalan.’ Ia mengkritik cover buku tersebut yang dipandang kurang baik dan tidak layak dijual.[8]
Begitu keras dan tajam ’penghinaan’ terhadap kehadiran sastra di internet tidak serta merta kemudian mematikan kecederungan itu. Justeru karena tekanan yang bertubi-tubi tersebut membuat sastra internet mendapat tempat tersendiri dalam khazanah sastra Indonesia. Berbagai perlombaan bertajuk ’’sastra online’’ justeru marak di tanah air. Polemik kehadiran puisi internet ini kembali menggiring perbincangan kepada kanonisasi dalam sastra Indonesia, sesuatu yang telah lama diterapkan Belanda ketika membuat Komisi Bacaan Rakyat atau Balai Pustaka di era tahun 20-an.
Kanonisasi dalam sastra Indonesia tersebut sejatinya tetap mendudukkan adanya otoritas tertentu dari mereka yang mengklaim sebagai sastrawan. Padahal dalam perkembangan karya sastra, otoritas tertinggi tersebut berada di tangan pembaca. Radhar Panca Dahana menulis sastra semestinya dikembalikan pada pembaca, baik secara teoretis maupun praktis. Jika sastra dibiarkan dalam kondisi penyingkiran, yang terjadi hanyalah perebutan otoritas sastra di kalangan sastrawan, penerbit, dan kritikus sastra.[9]
Sebenarnya polemik tersebut muncul ketika karya-karya tersebut diterbitkan dalam bentuk buku. Saat karya tersebut muncul di internet, polemiknya tidak menguat sebagaimana gerakan yang cenderung sering lahir dalam khazanah Sastra Indonesia.
Munculnya sastra internet tentu berkait langsung dengan kemuncula internet di Indonesia di kurun waktu 90-an.[10] Kemunculan internet ditengarai ikut menumbuhkembangkan khazanah sastra Indonesia. Bahkan beberapa penulis ternama muncul ke permukaan berawal dari internet, sepert Raditya Dika.[11]
Dapat dipahami bahwa sastra internet mau tidak mau akan mengalami sebuah metamorfosis sebagai akibat berkembangnya jejaring sosial di tanah air. Siapa pun hari ini, serta merta akan memperebutkan otoritas pembaca di facebook, twitter, dan blog pribadi. Tentu saja problem terbesar kemudian adalah ujian yang berada pada otoritas pembaca. Pengguna internet di Indonesia yang telah menembus angka 88,1 juta jiwa memungkinkan kehadiran sastra internet mendapat tempat tersendiri.[12]
Menuangkan gagasan dan ide di mana saja adalah hak pribadi setiap manusia. Ide dan gagasan dalam bentuk apapun, sepertinya halnya sastra internet, membuka ruang yang luas bagi tumbuhnya sastra alternatif yang ”memberontak” terhadap kemapanan – terhadap estetika yang lazim—dan bukan hanya menjadi media duplikasi dari tradisi sastra cetak. Sebab di sanalah tempat bagi semangat dan kebebasan kreatif, yang seliar-liarnya sekalipun, yang selama ini tidak mendapat tempat selayaknya di media sastra cetak, baik di rubrik sastra koran, majalah sastra, maupun antologi sastra.
Kita menaruh hormat terhadap segala bentuk kreatifitas sastra. Berbagai medium penyampaian gagasan mesti diletakkan sebagai gejala yang lumrah dalam perjalanan kreatifitas pengarang. Sekarang kunci dari perjalanan itu harus diuji oleh otoritas pembaca. Jutaan orang menggunakan internet, bahkan sekarang digampangkan dengan teknologi telepon selular yang menyediakan berbagai perangkat jejaring sosial. Apakah mereka itu pembaca karya sastra?
***
[1] Disampaikan pada Seminar Internasional ‘’Perkembangan Sastra Cyber di Indonesia dan Malaysia’’ yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) bekerjasama dengan E-Sastra Management Interprise, Aula UMSU 19 September 2015.
[2] Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU
[3] Yulhasni, Jangan Pernah Percaya Jakarta, Analisa, 9 Desember 2012
[4] Nanang Suryadi, dkk. 2001. Graffiti Gratitude (Sebuah Antologi Puisi Cyber). Angkasa : Bandung
[5] Yovanta Arief : Kritik Sastra dan Sastra Populer dalam Lembar Kebudayaan Indoprogress Edisi 18, 2014.
[6] Situmorang, Saut (Ed.). 2004. Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk. Yogyakarta : Jendela
[7] Herfanda, Ahmadun Yosi. 2004. “Puisi Cyber, Genre atau Tong Sampah” dalam Cyber Grafitti Polemik: Sastra Cyberpunk. Saut Situmorang (Editor). Yogyakarta: Jendela.
[8] Semboja, Asep. 2008. ”Peta Politik Sastra Indonesia (1908-2008)”. Dalam Anwar Efendi (Ed.). Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta: Tiara wacana.
[9] Radhar Panca Dahana. 2001. Kebenaran dan Dusta Dalam Sastra. Jakarta : Indonesia Tera.
[10] Berdasarkan catatan whois ARIN dan APNIC, protokol Internet (IP) pertama dari Indonesia, UI-NETLAB (192.41.206/24) didaftarkan oleh Universitas Indonesia pada 24 Juni 1988. RMS Ibrahim, Suryono Adisoemarta, Muhammad Ihsan, Robby Soebiakto, Putu, Firman Siregar, Adi Indrayanto, dan Onno W. Purbo merupakan beberapa nama-nama legendaris di awal pembangunan Internet Indonesia pada tahun 1992 hingga 1994. Masing-masing personal telah mengontribusikan keahlian dan dedikasinya dalam membangun cuplikan-cuplikan sejarah jaringan komputer di Indonesia.
[11] Raditya Dika mengawali keinginan untuk membukukan catatan hariannya di blog pribadinya saat ia memenangi Indonesian Blog Award. Dari pengalaman itu, ia mencetak tulisan-tulisannya di blog kemudian ia menawarkannya ke beberapa penerbit untuk dicetak sebagai buku. Awalnya banyak yang menolak, tapi kemudian ketika ia ke Gagasmedia, sebuah penerbit buku, naskah itu diterima, meski harus presentasi dahulu. Ia sukses menjadi penulis dengan keluar dari arus utama (mainstream). Ia tampil dengan genre baru yang segar.
[12] Menurut data yang dirilis oleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), jumlah pengguna internet pada tahun 2014 sebesar 88,1 juta. Angka tersebut naik dari 71,2 juta di tahun sebelumnya.
*) Penulis adalah esais, cerpenis, dan Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sumatera Utara.