Kepergian Akhudiat, atau yang karib disapa Cak Diat atau Pak Diat, pagi tadi, menambah daftar panjang duka seiring beberapa pemikir kebudayaan dan pelaku seni-budaya yang berpulang ke haribaan Sang Khalik. Saya sempat menahan diri untuk tidak mengunggah resah belasungkawa di status Pesbuk, karena sudah banyak status yang mengunggahnya –semata-mata bukan tidak merasa kehilangan, tetapi sudah banyak yang mengabarkannya, dan itu cukup bagi saya, meski hanya dengan umik-umik sekadarnya dan tak bisa takziah.
Entah kenapa, saya takut kabar kepergian itu menjadi rutin dan air mata tidak lagi bermakna kerna kepulangan orang-orang yang telah berjasa bagi khalayak/guru publik begitu sporadis. Belum lagi para cendekiawan, para kiai, dan orang-orang yang nggembol ilmu lainnya.
Adapun beberapa yang berpulang dari ranah Kebudayaan Jawa Timur dan saya pernah berinteraksi secara langsung, di antaranya Pak Semar Suwito, Mas Wadji Iwak, Pak Robin Al Kaustar, dan sederet nama lainnya, dan hari ini Pak Diat. Saya berkesempatan mencecap langsung ilmu-ilmu para almarhum, baik dalam ajang ngopi bersama maupun ajang lainnya.
Namun, ternyata saya tidak kuasa menahan diri. Pada hari ini, saya pun mengabsen para almarhum, terutama dari Jawa Timur, sebagaimana yang sudah saya singgung tersebut. Padahal dalam rentang beberapa hari ini, saya hanya mengunggah kabar duka dari kerabat dekat.
Sepanjang hari ini, saya pun mencari tilas perjumpaan saya dengan Pak Diat dalam memori yang tersimpan dalam laptop. Saya menemukan beberapa tilas –tentu yang di luar memori laptop lebih banyak lagi karena Pak Diat termasuk guru para penulis dan seniman, terutama di Jawa Timur, termasuk saya, tapi diperlukan buhul untuk mengikatnya agar perjumpaan itu dapat tersaji dengan baik.
Saya pernah mengunggah dalam ruang status ini beberapa lintasan pertemuan dengan Pak Diat. Yang terpanjang adalah hasil pembacaan saya pada naskah drama “Re”, sebuah naskah eksperimental yang membutuhkan waktu lama untuk mementaskannya. Selain itu, ternyata saya punya tulisan tentang karya tenar Pak Diat lainnya, yaitu naskah drama “Jaka Tarub”. Sebuah tulisan yang belum pernah dipublikasikan di media karena ketlisut. Saya baru menemukannya kembali, padahal menulisnya sudah lama, lebih dari 10 tahun lalu. Judulnya “Makrifat Multimedia dalam Naskah Drama “Jaka Tarub” Karya Akhudiat.”
Sebagai bentuk penghormatan saya, pada ngablak kali ini, saya ingin berbagi tulisan sekadarnya dan hanya nyenggol sedikit terkait dengan daya jelajah Pak Diat yang terkesan visioner, gagasannya mendahului zamannya, dan tidak ada matinya. Perihal itu Pak Diat mempertahankannya hingga akhir hayat, terbukti dengan usia yang semakin uzur, ia masih memunculkan naskah drama berdurasi menitan dan puisi-puisi pendek bernafas urban dengan mengeksplorasi pantun.
Sungguh, saya masih terngiang-ngiang sebuah ungkapan Pak Diat untuk menyemangati saya. “Seni dan sastra itu juga sebentuk tarekat, Mashuri,” tutur Pak Diat, ketika saya sowan ke rumahnya, bertahun lalu.
Mugi-mugi Pak Diat padang dalane lan jembar kubure..
Sidoardjo, 2021
MAKRIFAT MULTIMEDIA DALAM NASKAH DRAMA “JAKA TARUB” KARYA AKHUDIAT
1/
Cerita Jaka Tarub hadir dalam khasanah sastra Indonesia seakan-akan ‘ditakdirkan’ bukan hadir dalam sensibilitas tulisan. Sebermula ia memang menghuni ruang-ruang imaji masyarakatnya lewat tradisi lisan. Jika kemudian kisah itu dituliskan sebagai sebentuk dokumentasi atau pembacaan ulang pada cerita rakyat, kehadirannya pun selalu ‘terbuka’ dan tak bisa disebut sebagai teks tertutup karena selalu dikaitkan dengan konteksnya.
Hal itu pun berlaku ketika cerita Jaka Tarub ditulis dalam bentuk naskah drama oleh Akhudiat, dengan judul “Jaka Tarub”, yang pada tahun 1974 pernah menjadi pemenang ke-3 dalam lomba penulisan naskah sandiwara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan diterbitkan ulang pada 2001. Meski jauh dari aura cerita rakyat namun nama Jaka Tarub dalam naskah drama tersebut tak bisa diganti dengan nama lain yang serampangan, karena sulit dilepas dari konteks kultur masyarakatnya. Karena kehadirannya yang berbentuk tulisan tetapi masih menyimpan sensibilitas lisan, diasumsikan, naskah drama “Jaka Tarub” menyimpan sensibilitas kelisanan tahap kedua, yang mengarah pada sensibilitas multimedia.
Cerita rakyat Jaka Tarub sudah demikian populis di masyarakat Jawa. Bentuknya sebagai dongeng memang kerap dituturkan lewat lisan/dari mulut ke mulut. Dongeng ini juga menjadi pengantar tidur yang cukup menarik dari seorang ibu/nenek pada anak/cucunya. Dalam seni tradisional, ia kerap menjadi lakon utama beberapa seni pertunjukan yang berlatar Jawa, juga Madura. Bahkan pada tahun-tahun sebelum 1980-an, ketika televisi hanya TVRI dan belum merata di beberapa daerah, cerita itu merupakan lakon favorit kesenian kentrung, dan kerap dituturkan oleh si dalang kentrung selama semalam suntuk. Kesenian ini dikenal di beberapa daerah di Jawa Timur, sebagaimana di Tuban, Tulungagung, Banyuwangi dan lainnya. Bahkan, pada awal naskah dramanya, Akhudiat menulis: “Suatu malam, di kampung Krajan, Rogojampi, Banyuwangi, saya nonton kentrung, konon dari Trenggalek. Sekali itu melihat dan sampai sekarang tak pernah jumpa kentrung. Dalang membacakan kisah Jaka Tarub”. (Akhudiat, 2001: 22)
Adapun, Jaka Tarub yang dihadirkan Akhudiat bukanlah cerita Jaka Tarub yang setia pada alur, perwatakan, plot dan hal-hal lain yang dibawakan oleh dalang kentrung. Dalam naskah drama “Jaka Tarub”, terdapat oplosan antara tradisi lisan dan sastra tulis. Akhudiat meminjam gaya kesenian kentrung untuk menuliskan karyanya, dengan memberi ‘pakaian baru’ pada tokoh-tokohnya, yang bercerita tentang Jawa Tarub dan Nawangwulan, yang dibangkitkan dari museum dari tidur panjangnya. Beberapa lagu, puisi dan koor menjadi pengisi naskah drama yang memang sengaja membuat penyimpangan/plesetan/parodi dari kisah Jaka Tarub yang sudah dikenal. Selain sensibilitas tulisan, sensibilitas waktu yang meruang/sensibilitas lisan sangat kental dalam naskah drama tersebut.
2/
Ketegangan antara plot yang dipegang Dalang dengan kehendak bebas dari tokoh-tokoh Jaka Tarub dan didukung oleh para penyanyi dan koor hampir memenuhi naskah drama “Jaka Tarum”. Bahkan, dalam naskah juga disebutkan, adanya aturan main bahwa para tokoh/aktor ‘harus’ berbuat tidak sesuai dengan pakem naskah “Jaka Tarub” yang dipegang si tokoh Dalang, dan para pemain musik/juga penonton juga diberi wilayah untuk turut bermain. Meski dalam naskah tersebut ada tokoh Dalang kentrung, tetapi dalang yang dimaksudkan tentu bukan dalang kentrung yang sebenarnya. Tokoh Jaka Tarub menolak keinginan dan menempuh jalannya sendiri. Jaka Tarub dihadirkan terputus dari pola rantai kisah yang sudah dikenal.
Misalnya saja untuk tokoh Jaka Tarub. Ia sangat sadar sebagai tokoh karya drama dan sebagai ‘Jaka Tarub’ yang lain, yang sadar bahwa kehadirannya hanya pada ‘ingatan’ dan hanya berada di ‘museum’.
DALANG: (terhempas & terpaku)
Haaah…
Aku tak percaya. Kau danyang jalanan.
Jaka Tarub pasi persis bapaknya, persis kakeknya, buyutnya, moyangnya. Dia warisan jaman tua yang tak pernah berubah. Adat. Budaya. Seni. Pribadi. Tumbal. Turun-temurun seperti leluri.
JAKA TARUB:
Dan bangga…
DALANG:
Dan bangga.
JAKA TARUB:
Mampus di museum. (Ketawa)
(Akhudiat, 2001: 27)
Jaka Tarub versi Akhudiat memang berbeda dengan versi yang sudah dikenal lewat tradisi tutur. Akhudiat menghadirkan Jaka Tarub yang menolak diatur Dalang. Ia berkata akan ‘ambil jalan sendiri, memenggal jalan kalian’ (Akhudiat, 2001: 27). Nawangwulan pun hadir setali tiga uang dengan Jaka Tarub. Ia pun hadir menolak kehendak Dalang. Pola cerita yang ditawarkan berbeda dengan pola dalam tradisi tutur. Alurnya tumpang tindih, ada hal-hal baru yang didesakkan, semisal Nawangwulan melamar menjadi pemain film, yang akhirnya ‘dikadalin’ oleh produser yang akhirnya kembali kepada Jaka Tarub. Akhir kisah pun berbeda dengan yang dikenal, karena Jaka Tarub dan Nawangwulang akhirnya pergi dari ‘pertunjukan’ Kentrung dengan naik bus.
Kehadiran Jaka Tarub sebagai tradisi tutur pun memiliki pola tertentu yang bisa dijadikan sebagai bahan untuk mengingat, karena tradisi lisan memang berpatok pada ingatan. Sastra lisan berbeda dengan sastra tulis karena ada beberapa aspek yang membedakan keduanya. Sastra lisan adalah budaya lisan murni. Sastra lisan bisa dikatakan ‘hidup’, bisa didengarkan, bisa hilang atau cepat hilang, lebih sederhana kalimat-kalimat dan uraiannya, prosesnya tidak terekam dengan baik karena lewat mendengar, tidak berbelit-belit atau bukan menggunakan bahasa tinggi. Selain itu, terdapat deskripsi atau gambaran suara atau irama dari cerita yang disampaikan, relatif lebih pendek, tidak perlu detail, bahasanya lebih hemat, disajikan dengan performance art, dan membuat orang yakin dan percaya pada apa yang dituturkan oleh pengkisah. Sebagaimana yang dilakukan oleh dalang kentrung ketika menampilkan kisah Jaka Tarub.
Jika diringkas, kisah dongeng itu memiliki alur dasar/pola dasar sebagai berikut: Jaka Tarub dikenal sebagai perjaka desa, lahir dari seorang janda. Suatu hari, ia mengintip 7 bidadari mandi. Ia jahil dan mencuri pakaian/selendang salah seorang di antaranya. Begitu usai mandi, bidadari itu terbang dan yang tertinggal hanya seorang saja, bernama Nawangwulan. Ia akhirnya diperistri Jaka Tarub. Mereka beranak satu. Setiap kali Nawangwulan masak nasi, selalu berpesan agar Jaka Tarub tidak membuka tutup memasaknya. Jaka Tarub melanggar pantangan. Nawangwulan hilang kesaktian. Padi di lumbung habis, lalu terbongkar rahasia bahwa si Jaka Tarub yang mencuri selendang dan disembunyikan di lumbung padi. Nawangwulan lalu pergi, sambil berpesan pada Jaka Tarub jika anaknya menangis disuruh melihat rembulan purnama.
Pola tersebut adalah pola tetap. Formulanya sudah ‘tertakar’ demikian. Hanya saja dalam penyajiannya tentu tidak sesingkat itu. Sebagai sebuah tradisi lisan, kentrung Jaka Tarub tentu sangat dekat dengan manusianya. Bisa pula banyak perulangan-perulangan sebagai usaha untuk mengingatkan pada kisah yang diungkapkan. Serta sangat dekat dengan konteks. Hal itu sesuai dengan apa yang diungkap Ong, menandaskan ada beberapa karakter sastra lisan yang tidak terdapat dalam sastra tulis, di antaranya: aditif dan tidak subordinatif, agregatif dan tidak analitis, redudansi dan ‘bertele-tele’, konservatif dan tradisionalis, kedekatan dengan kehidupan manusia, bernada agonistik, bersifat empatik dan partisipatoris dan bukannya mengambil jarak secara objektif, homeostatis (berusaha mempertahan ekuilibrum atau keseimbangan), serta situasional dan tidak abstrak.
Hal itu berbeda dengan sajian naskah drama “Jaka Tarub”. Dalam penyajiannya pun terjadi dialog, alur yang didesain sedemikian rupa, bahkan sudah masuk muatan-muatan dari si penulis/pemesannya, yang tentu saja berbeda dengan ketika cerita Jaka Tarub itu dituturkan. Tentu saja, ketika Jaka Tarub hadir sebagai karya tertulis, ia berbentuk artefak, dan bisa berdiri sendiri tanpa memperhatikan konteks. Jika dibandingkan dengan sifat sastra lisan, sastra tulis lebih awet, bahasanya tinggi, dan lebih rumit. Selain itu, tidak bisa menggambarkan irama, suara, irama atau gaya cerita. Aspek lainnya, sastra tulis lebih panjang, lebih detail dan runut, serta bahasanya lebih lengkap.
Dari segi bahasa dan pemaknaan, Ong menjelaskan bahwa dalam sastra tulis memungkinkan pengembangan tata bahasa yang lebih rumit dan lebih baku daripada sastra lisan karena pemberian makna dalam sastra tertulis tergantung pada struktur linguistiknya semata, dan tidak perlu memperhatikan konteks eksistensinya, sedangkan sastra lisan harus memperhatikan konteks eksistensinya (konteks nyata sastra lisan itu hidup dan eksis), sehingga konteks eksistentsinya itu mampu memengaruhi makna dalam sastra lisan tanpa tergantung pada tata bahasa.
Meski demikian, dalam naskah Akhudiat sudah disematkan sebuah ikhtiar penyimpangan pada tradisi tuturnya dan yang sudah dikenal. Ada unsur parodi di dalamnya, dengan menampilkan sisi jenaka dari tokoh-tokohnya, serta hubungannya dengan pemain lainnya. Unsur parodi/nyanyian jenaka dan hal-hal yang dikesankan berbau spontanitas sebenarnya bisa diartikan sebagai sebuah strategi tekstual, yang menegaskan adanya unsur-unsur ‘kelisanan’. Apalagi juga digunakan piranti yang lama ini dikenal dalam tradisi lisan, seperti dalang, penyanyi, penari dan pembaca puisi.
MUSIK. JENAKA, HUMOR.
KOOR: (Nyanyi pantun)
E-la e-lo
Belalang mata ijo
pak Dalang lupa bojo
E-la e-lo
Si mata mata akik
Si Jaka hidung plastik
Hore!
E-la e-lo
Si akik batu lonjong
Si Wulan kadung omong
E-la e-lo
Lonjong-lonjong putih perak
Dalang, Jaka masuk kotak!
DALANG&JAKA: (Angkat tangan)
Enggak, enggak, enggak…
(Akhudiat, 2001: 43)
Koor lagu yang ditampilkan dalam Jaka Tarub itu berparalel dengan lagu dolanan. Memiliki unsur persajakan yang kuat, rangkaiannya terkesan asal tetapi yang penting sesuai dengan rima, dan sebagainya. Hal ini sebenarnya juga sudah diawali pada awal naskah yang didahului dengan musik kentrung, dan koor lagu dolanan. Unsur pelisanannya sangat kuat. Bentuk ulang dalam puisi lisan yang merupakan sejenis formula menjadikannya mudah diingat dan dihafal. Permainan bunyi yang dominan dalam tembang dolanan bersifat gembira, sehingga sangat cocok untuk anak-anak dan enak untuk ditembangkan.
Sisi lainnya yang juga perlu diberi perhatian adalanya adanya penyimpangan ‘sengaja’ terjadi di banyak bagian. Diantaranya ada 7 perempuan yang nguber-nguber Jaka Tarub, untuk mengambil celananya. Selain itu, sebuah ‘kunci’ yang dianggap sakral dalam lakon tutur, diparodikan dalam naskah “Jaka Tarub”. Berikut ini beberapa cuplikannya:
JAKA TARUB:
Saya ke sawah. Dag kamu… (keluar)
NAWANG WULAN: Dag-dag kakang.
(Memasukkan sesuatu ke kukusan dan sibuk masak)
DALANG: (Membaca Kitab)
Wulan bidadari jadi maafkan, ia asing kebudayaan sekolah, pasar, salon, arisan, gincu, sikat gigi, bahkan beras. Ia hanya menanak, bukan butir-butir, tetapi se-bulir padi dengan kasih sayang Gusti satu kukusan penuh nasi. Jaka Tarub heran tak habis heran padi selumbung tak pernah susut, “Apa gerangan dikukus isteriku?”
NAWANG WULAN: (Keluar)
JAKA TARUB: (Menyelinap masuk oleh isyarat Dalang. Mengendap-endap. Mendekati perapian, akan membuka tutup kukusan)
NAWANG WULANG: (Masuk)
Sudah kau buka, Jak?
JAKA TARUB:
Belum.
NAWANG WULANG:
Bukalah.
DALANG:
(Kepada Jaka) Jangan, Jaka.
(Kepada Wulan) Kau harus bilang: Jangan
NAWANG WULANG:
Toh akhirnya dia tahu…
DALANG:
Tapi agar lebih dramatis, larang dulu.
NAWANG WULAN:
Jangan buka, Kakang
JAKA TARUB:
Aku ingin tahu isi kukusan
NAWANG WULANG:
Kau kira aku simpan gigolo di kukusan?
DALANG:
Apa?
NAWANG WULANG:
Gigolo
DALANG: (Bertanya pada musik kentrung)
Apa itu gigolo?
(Akhudiat, 2001: 51-2)
Ada pula adegan dan dialog lain yang juga memikat dan berbeda dari segi tradisi tuturnya:
JAKA TARUB: (Terbangun dari mimpi buruk dan mendapati surat di ranjang, membacanya)
KOOR:
Pada pagi ke-730
di sisi Jaka bantal guling
dan nota pendek rapi
SUARA WULAN:
Jak, aku ke Jakarta main film, dll. Jika rindu, pergilah ke bioskop atau lihat program TV. Aku barangkali di situ. Bye.
JAKA TARUB:
O Wulan, sudah terbang.
DALANG:
Kenapa tidak kau segel sayap di lemari besi?
JAKA TARUB:
Tidak ke bulan. Dia dilarikan produser.
(Akhudiat, 2001: 65—6).
Dilihat secara sekilas, beberapa penyimpangan itu terkesan memang seperti spontanitas, tak terencana, tetapi hal itu terdapat dalam naskah drama “Jaka Tarub”. Hal itu sangat bertebaran sepanjang tubuh naskah. Unsur-unsur penyimpangan demikian pada dasarnya terdapat pada seni pertunjukan yang tidak mengenal teks tertulis, baik itu ludruk, kentrung dan sejenisnya, tetapi hal ini terdapat dalam sebuah naskah drama yang merupakan bentuk sastra modern.
3/
Ketika naskah drama “Jaka Tarub” ditampilkan oleh Teater STKW (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta) Surabaya pada Festival Seni Surabaya (FSS) pada tahun 2010, tentu saja sensibilitas multimedia yang paling dominan. Meski secara gagasan atau ide awal (dalam sensibilitas tulisan), naskah drama itu menyimpan sebuah daya pembongkaran terhadap struktur teksnya sendiri, tetapi ketika ditampilkan menjadi sebuah pertunjukkan maka akan muncul sebuah sensibilitas yang termediasi secara multiple. Munculnya celoteh pemain yang terkesan di luar struktur atau terkesan spontan, hubungan dengan penonton dan pemain musik lainnya, yang terkesan tak disengaja, juga nyanyian tembang-tembang dolanan, pelisanan puisi, ‘melenyapkan’ batas sensibilitas tulisan ke sensibilitas yang lain, karena tak ada lagi jarak antara subjek dan objek. Hal itu berbeda ketika naskah drama masih berupa tulisan dan bisa berdiri sendiri sebagai objek yang berjarak dengan subjek, tentu dalam hal ini bukan naskah “Jaka Tarub”.
Pentas “Jaka Tarub” tidak bisa lagi bisa dilepas dari konteksnya karena ruang pertunjukan melebar dan penonton dilibatkan. Konsep kesenian kentrung, yang mungkin mulai sudah dilupakan oleh generasi kiwari dikenali sebagai sebuah kesenian yang mengisahkan kisah-kisah kepahlawanan pada masa lampau, telah dibaca ulang sebagai tontonan yang tidak lagi sakral sebagaimana awalnya, tetapi sudah profan. Hubungan antara mitos dan logos seakan pupus. Sebagai sebuah pertunjukan, ia dibatasi oleh durasi dan penafsiran sutradara pada naskahnya. Sangat mungkin para penonton tidak melihatnya sebagai jiplakan dari Opera Van Java (OVJ), karena garapannya memang mengarah pada garapan ‘serius’, bahkan terlalu serius sehingga beberapa adegan yang seharusnya ‘jenaka’ menjadi melankolis, sebagaimana ketika Nawang Wulan pamit tidak terbang ke bulan, tetapi ke Jakarta untuk menjadi pemain film.
Pada titik ini, sensibilitasnya memang mengarah pada sensibilitas pascamodern, dengan ‘mode informasi’ yang termediasi secara multiple, yang dengan sensibilitas demikian pertarungan antara ilmu pengetahuan dan mitos dan/atau takhayul tidak lagi mengemuka sebagai sebuah discourse (Faruk, 2011: 50). Mungkin lebih pas sebagai keserentakan dan/atau karnaval kehadiran.
Hal yang sama juga terjadi ketika lakon itu ditulis, karena meski berbentuk tulisan, tetapi sudah mengandung sensibilitas multimedia, baik dari segi teks tulisan dan unsur-unsur tradisi lisan di dalamnya, sehingga “Jaka Tarub’ tidak bisa dikatakan sebagai teks tertutup, ia selalu menjadi teks terbuka, yang selalu dikaitkan dengan konteksnya. Tak heran, pada awal kemunculannya, ia disinyalir menyimpan jejak pembongkaran tidak hanya pada struktur ceritanya sendiri, tetapi pada konteks budaya masyarakatnya.
SEMACAM DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, Imran T. 1990. Kajian Sastra Lisan: Teori Metode dan Penerapannya. Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (tidak diterbitkan).
Akhudiat. 2001. “Jaka Tarub” dalam Kitab Tiga Lakon Drama dari Jawa Timur. Surabaya: Dewan Kesenian Jawa Timur dan Bengkel Muda Surabaya.
Faruk. 2011. Sastra dalam Masyarakat (Ter-)Multimedia(-kan): Implikasi Teoretik, Metodologis, dan Edukasionalnya. Pidato Pengukuhan Guru Besar FIB UGM, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Finnegan, Ruth. 1977. Oral Poetry: Its Nature, Significance, and Social Context. Australia: Cambridge University Press.
Ong, Walter J. 1982. Orality and Literacy, The Technologizing of the Word. London dan New York: Methuen.
Ilustrasi ngablak: cover buku Pak Diat, yang diterbitkan Pagan. Poster acara “Membaca Akhudiat” pada tahun 2017.
*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.