Djoko Saryono *
Empat fungsi apresiasi sastra yang sudah diulas sebelumnya tidak selalu terpisah. Ada kalanya malah berpadu. Maksudnya, dalam suatu proses apresiasi sastra bisa teremban atau tertunaikan beberapa fungsi sekaligus. Hal ini bergantung pada proses keberlangsungan apresiasi sastra, pengapresiasi sastra, dan karya sastra. Jika proses apresiasi berlangsung secara afektif-intelektual dan pengapresiasi sastra bertipe afektif-intelektual serta karya sastra berbobot atau bermutu, maka berbagai fungsi bisa tertunaikan sekaligus. Sebagai ilustrasi perhatikan puisi berikut ini.
SAAT-SAAT BASRI MASSE DIHUKUM GANTUNG
D. Zawawi Imron
Di langit Kinabalu mendung lindap
Detik-detik yang lewat
hanya menyanyikan senyap
pada akhir subuh yang pucat
Basri adalah saudaraku
Hatinya ungu campur gaharu
ketika sajadah terakhir disentuh
di atas bumi yang memeram keluh
Hari ini, ya, hari ini
gula, buah lontara dan dayung
akan mengguratkan kecut sampai ke langit
oleh sebuah peristiwa
“Ya, inilah aku Basri Masse
yang semakin mengerti pada ketidakmengertianku
pada garis nasib yang seperti lajur ombak
putus di pusaran angin yang remang
Itulah, mengapa aku harus minta maaf
pada anak-anak, istri,
saudara-saudara sebangsa
dan siapa saja yang merasa terluka
oleh babak terakhir jalan hidupku
Sedangkan pada Tuhan
aku telah mandi di bawah kesejukan ayat-ayat-Nya
sejak sediakala
Dinding penjara yang pengap
telah membantu membuka pelupuk fitrahku
Hingga semakin jelas sosokku di depan Tuhanku
Kunikmati kekecewaan dalam menerima hukuman ini
lantaran aku yakin di balik maut pun
ada waktu”
kata-kata itulah yang ia ucapkan
dalam pertemuan di bukit ilham
Lalu kudengar ombak selat Makassar
menjerit membangunkan jangkar
agar perahu menundukkan layar walau sebentar
Lima gunung telah tafakur
saat daun siap gugur
Masse, benarkah engkau bersalah?
“Oh, pertanyaan itu tak menolongku
di depan rahang Senja yang sedang menganga
Meski mendung tak ranggas
hatiku telah baja di dalam gelas
Tapi doamu yang hati dan yang bunga
Juah lebih berharga dari sekadar air mata”
Tapi bagaimana mungkin doa tak kan tercampur
dengan sedu di samping pelupuk basah
Matahari pun enggan untuk
bertatap dengan apa atau siapa
selain awan
Dan tali gantungan itu tak kuasa
menolak tugasnya
Tiba-tiba leher yang dililitnya
telah berhenti dilewati udara
Upacara pun selesai
Daun-daun kelapa di pantai seakan lunglai
meski angin memaksa melambai
Aku semakin yakin, Tuhan akan mendengar
bisik terakhirnya dengan iba
“Badik yang karat itu telah mati”
begitulah hakim dunia berkata lewat bendera
Angin dari mana-mana berusaha mendatangi
tempat kejadian itu: bukan masjid
tapi seakan masjid
karena ketika seorang hamba di sini menghadap
yang tinggal hanya jasad
rohnya pergi menjadi syahadat
Ini memang bukan pengadilan yang penghabisan
Barangkali ini hanya sebuah cara
Sutradara Agung dalam mewujudkan cinta
seperti orang arif berkata:
badai yang geram sebelum pantai
Sedang di belakang dinding
ada telaga tak henti nyanyi
ada bunga yang semerbak tak terkata
sebagai wujud janji yang fasih
dan tak usah ditagih-tagih
Dalam rintik hujan yang menabur dahaga
di pelukan bunga
mekar sajak semoga
Jikalau proses berlangsungnya apresiasi puisi Saat-saat Basri Masse Dihukum Gantung tersebut dilakukan secara afektif-intelektual dan secara kebetulan pengapresiasinya bertipe afektif-intelektual, niscayalah fungsi eksperensial, informasional dan penyadaran (konsientisasi) tertunaikan. Dikatakan demikian karena puisi tersebut menyuguhkan pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang diangkat dari peristiwa real, memberikan informasi yang bisa ditelusuri fakta empirisnya dan direnungi maknanya dan memberikan rangsangan untuk melakukan permenungan tentang hakikat maut, kematian atau saat-saat kematian tiba, bahkan hakikat hidup di dunia dan kehidupan sesudah mati. Dengan kata lain, puisi yang didasarkan atas peristiwa hukuman gantung Basri Masse – seorang warga negara Indonesia yang dipidana mati di Malaysia – dapat memancarkan sinyal-sinyal pengalaman, pengetahuan, dan kesadaran sehingga apresiasi sastra mampu berfungsi eksperensial, informaional, dan penyadaran. Hal tersebut menunjukkan adanya keterpaduan fungsi apresiasi sastra.
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
2 Replies to “KETERPADUAN FUNGSI APRESIASI SASTRA (7)”