Taufiq Wr. Hidayat *
Penyair Matjalut menulis puisi. Tentu saja ia harus menulis puisi, supaya sesuai dengan nama depannya, yakni Penyair. Penyair Matjalut berkawan karib dengan Kiai Saki. Kiai Saki adalah tetangga Penyair Matjalut. Kiai tepian kota. Sebatang kara. Bukan kiai sosial media, tak pernah muncul di YouTube, bukan kiai yang gemar menafsir-nafsirkan ayat suci, juga bukan jenis kiai yang gemar berdiri atau duduk berceramah di depan ribuan orang. Ia kiai sunyi. Seorang petani. Tak banyak yang mengenali. Dan tak gemar dikenali. Tapi berkenan dikenali orang yang bernama Penyair Matjalut. Seringkali Matjalut menghabiskan malam di pesantren kecil Kiai Saki. Sebuah pesantren kuno. Konon itu pesantren tertua di pulau Jawa. Dari pesantren kuno itu lahir para kiai-kiai besar di Jawa yang meletakkan dasar-dasar kehidupan dan kemerdekaan. Tapi pesantren Kiai Saki itu tetap saja kecil, bangunan kuno tetap terawat, tidak berubah, dan tidak pernah bertambah besar. Ia setia bersama santri-santri kecil. Ia menjaga bangunan kuno yang berusia hampir 200 tahun itu tetap kokoh sebagaimana pada mulanya. Tak membutuhkan dan tak mau uang negara. Bagi Kiai Saki, kehidupan beragama tak memerlukan negara.
“Itulah pesantren yang murni, dengan kiai yang murni. Dan barangsiapa bersedia dengan tulus mereguk kemurnian, maka hidupnya—lahir dan batin, disejahterakan,” kata Penyair Matjalut.
“Bagus, Penyair Matjalut!” jawab Kiai Saki.
Malam itu keduanya menikmati kopi di pesantren kecil Kiai Saki. Pesantren kecil dengan bangunan kuno yang antik. Malam. Malam dilarutkan dalam kekentalan.
“Saya bermimpi Anda, Kiai Saki. Mimpi yang menakjubkan.”
“Mimpi apa imajinasi, Penyair Matjalut?”
“Benar-benar mimpi, Kiai Saki. Mimpi yang datang tiga kali. Mimpi yang datang saat saya kebingungan dan hampir putus asa menghitung hutang.”
Kiai Saki tertawa. Keduanya tertawa.
“Hidup ini sekali, Penyair Matjalut. Buatlah berbahagia. Dan bekerja. Semua manusia masuk surga, sebab yang ada hanya kunci surga, tak pernah ada kunci neraka. Yang terpenting berbuat baiklah dalam kehidupan ini semampu-mampunya, agar tak kecewa kelak. Buatlah puisi-puisi agar Allah senang. Bukan puisi buat lomba dan festival-festival. Jadilah manusia biasa saja, meski sebagai manusia biasa kamu bisa berpuisi. Manusia yang penyair. Jadi manusia dengan bersyair. Bukan penyair yang tak jadi manusia, cuma jadi kebanggaan belaka. Buatlah puisi agar Allah senang, agar aku pun senang kalau nanti kau bacakan, dan supaya orang lain pun senang jika kebetulan mendengar atau membacanya,” tutur Kiai Saki. Rambutnya memutih, pipi yang tua menonjolkan tulangnya.
“Baik, Kiai Saki,” jawab Penyair Matjalut. Rambutnya panjang. Busananya kusut.
“Ceritakanlah perihal mimpimu itu, Penyair Matjalut.”
“Baik, Kiai Saki.”
Penyair Matjalut mengisahkan mimpinya. Dalam mimpinya, pada suatu petang, Kiai Saki datang ke rumah Penyair Matjalut. Kiai Saki membawa sebuah buku kosong. Dan beliau meminta Penyair Matjalut menulis di buku kosong itu.
“Apa yang harus saya tuliskan, Kai Saki?”
“Tulislah apa saja, Penyair Matjalut. Nanti aku bawa pulang. Pokoknya tulis. Seperti ketika Nabi Muhammad di gua Hira, beliau disuruh membaca. Apa yang harus saya baca, tanya Nabi. Maka perintah membaca itu terus menerus datang padanya, menegaskan kesungguhan. Ya pokoknya baca! Bacalah. Apa pun yang Nabi baca, pasti akan baik dan sejati. Sebab dialah yang terpilih sebagai sang pembaca yang senantiasa perlu membaca. Kamulah yang terpilih bagiku untuk menulis, wahai Penyair Matjalut. Maka tulislah. Nanti akan aku pelajari. Kunikmati. Kuhayati dengan perjuangan dan pengabdian.”
Penyair Matjalut menuliskan, pun puisi. Kiai Saki mendengarkan kisah mimpi Penyair Matjalut. Kedua matanya yang tua menandakan kedalaman yang tak pernah berhasil ditafsirkan.
Mimpi kedua. Penyair Matjalut berada dalam sebuah ruang yang gelap. Tapi Penyair Matjalut tidak dibutakan kegelapan ruang. Datanglah Kiai Saki, tangan kanannya meraba-raba udara. Di tangan kirinya sebuah lentera api yang belum dinyalakan.
“Penyair Matjalut. Di mana kamu? Kemarilah. Nyalakanlah lentera ini dengan korek apimu. Sekalian kita nyalakan rokok. Agar ruang menjadi terang.”
“Baik, Kiai Saki.”
Penyair Matjalut mendekati Kiai Saki. Ia tak dibutakan kegelapan ruangan, sehingga dengan mudah menemukan posisi Kiai Saki. Penyair Matjalut menyalakan korek api, menghidupkan sumbu api pada lentera di tangan Kiai Saki. Ruang pun terang. Wangi menyerbak dari asap api pada lentera itu. Sebuah meja. Dan rokok-rokok pun dinyalakan. Keduanya lalu tertawa. Kemudian bertukar berita, bertukar keadaan, dan saling melepaskan penderitaan.
“Dengan korek apimu, Penyair Matjalut. Lentera menyala. Ruang jadi terang. Di dalam sunyi, kita perlu menyalakan api. Agar terang, terbakar, dan terkapar. Menyerahkan segala-galanya kepada Allah, sang maha sunyi. Itulah api Ibrahim. Bukan api Namrud yang kikir, bakhil, dan kerdil.”
“Baik, Kiai Saki. Tetapi apakah jalan terang harus diterangi cahaya?”
Kiai Saki tertawa.
“Jalan terang tak harus diterangi cahaya, Penyair Matjalut. Kalau di dalam kegelapan kau tidak tersesat, buat apa kau mencari cahaya lampu? Cahaya lampu hanya penanda, bahwa sesungguhnya yang harus menyala atau lampu sejati adalah hati dan pikiran manusia. Terang adalah rohani yang menyala, yang nyalanya tak sama dengan cahaya lampu atau matahari. Cahaya spiritual, bukan cahaya material. Hati dan pikiran yang senantiasa terbakar api sunyi Ibrahim untuk membakar kebakhilan Namrud. Maka yang dibakar adalah Ibrahim, tapi yang hangus adalah Namrud. Ibrahim selamat. Yang disembelih putranya, tapi yang terpotong adalah domba. Yang disembelih adalah domba, tapi yang terbunuh adalah kejahatan manusia. Siapa saja yang dengan kejahatan menyembelih nasib yang lemah, maka yang akan tersembelih adalah diri mereka sendiri, kekuasaan dan kekejian mereka sendiri.”
“Penjelasan yang mirip puisi, Kiai Saki.”
Kiai Saki tertawa. Penyair Matjalut pun tertawa. Keduanya tertawa di dalam mimpi Matjalut.
“Bagus, Penyair Matjalut. Sekarang ceritakan mimpimu yang ketiga, Penyair Matjalut.”
“Baik, Kiai Saki.”
Penyair Matjalut mengisahkan mimpinya yang ketiga. Dikisahkan oleh Penyair Matjalut. Ia bermimpi berada di sebuah padang pasir yang tandus. Panas. Kering. Tapi Penyair Matjalut tidak kehausan. Dari kejauhan, berlari-lari Kiai Saki.
“Penyair Matjalut! Penyair Matjalut! Penyair Matjalut! Tunggu aku. Aku kehausan. Berikanlah seteguk airmu,” panggil Kiai Saki.
Di tangan Penyair Matjalut adalah sebotol air mineral yang sejuk. Diberikannya sebotol air mineral itu kepada Kiai Saki. Kiai Saki meneguknya. Penyair Matjalut lalu terbangun dari mimpinya.
“Apa gerangan makna mimpi itu, Kiai Saki?” tanya Penyair Matjalut. Menyalakan tembakau.
Kiai Saki terdiam. Sejenak. Lalu berkata.
“Seringkali mimpi memerlukan takwil. Seperti Nabi Yusuf menakwilkan mimpi dengan penderitaan hidupnya. Meski tak semua mimpi perlu ditakwilkan. Tapi mimpimu bagai menegaskan kembali, bahwa menjadi manusia dambaan Allah itu mudah saja. Yakni berikanlah air dengan tulus bagi yang kehausan. Seteguk airmu dapat menyelamatkan nyawa si haus itu. Tak semua orang kehausan di tempat panas. Ada orang yang tidak dahaga di tempat kering dan gersang. Tapi ada banyak orang lain yang kehausan di tempat kering dan gersang tersebut. Ada orang yang tidak bingung di tengah kehidupan, karena ia punya kemapanan dan harta yang melimpah. Tapi ada orang lain yang menderita di tengah kehidupan yang ganas, karena ia miskin dan kekurangan. Manusia yang menjadi dambaan Allah itu, memberikan seteguk airnya bagi yang kehausan. Berikan kemudahan bagi si menderita dengan segala daya upayamu, dengan hartamu atau dengan ilmumu. Karena kebahagiaan dan keselamatan sejati bukan berasal dari dirimu sendiri. Melainkan berasal dari rasa syukur dan rasa terima kasih orang lain yang telah kau bahagiakan atau yang telah kau selamatkan. Orang lain yang meneguk airmu. Kebahagiaan dan keselamatan sejati bukan dari air minum yang kau minum sendiri. Bukan dari kemelimpahan, kekayaan, atau keselamatan yang kau nikmati sendiri. Melainkan dari kekayaan yang sampai pada kedermawanan, dari kemelimpahan yang sampai pada kerelaan melepaskan diri, dari ilmu yang sampai pada akhlak dan kearifan, dan keselamatan yang tiba pada kebersediaan dalam persaudaraan, penyelamatan dan kasih sayang. Bukankah itu mimpi yang menyimpan takwil yang indah, Penyair Matjalut?”
“Baik, Kiai Saki. Bukankah untuk itu, kita memerlukan seteguk kopi dan sebatang rokok lagi malam ini?”
Kiai Saki tertawa. Penyair Matjalut tertawa. Keduanya memang tertawa. Sedang di luar sana, malam semakin dilarutkan dalam kekentalannya..
Tembokrejo, 2021
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.