Laut, Komodo, Sastra

Agus R. Sarjono *

Lamensia dunung notang
Suwe santek bonga bintang
Pang bulan batemung mata

Antara biru langit dan biru laut, kapal kami melaju. Di hadapan terbentang horison, kakilangit yang melambai dan selalu luput dari gapaian. Kabut sudah lama berangkat. Matahari berleha-leha di angkasa sambil melambaikan panas pagi dan cahayanya. Lalu bermunculan di jauhan sana pulau-pulau batuan dalam warna oker, seperti pinggul perawan, bagai puisi tak tertuliskan. Pak Hassanud­din sang nakhoda bersandar santai dengan rokoknya, sekilas memandangi kapalnya yang lumayan besar itu hanya berisi sedikit penumpang. Penyair Taufiq Ismail bersandar santai di dinding geladak. Membaca buku panduan tulisan orang asing (tulisan siapa lagi?) tentang tanah airnya, sambil sesekali mencocokkan­nya dengan posisi perahu. Mungkin dia mengenang masa remajanya dulu, bersandar di geladak kapal melintasi lautan besar dan benua menuju Amerika sana. Masa-masa muda yang jingga. Yang kini menjelma kakilangit, jauh di sana.

Penyair Hamid Jabbar dengan tubuh tua dan geloranya yang muda asyik bermain-main membikin sajak, sejumlah kata dipetiknya dari tepian kapal, dipilih, diputarbalik dan dibuangnya kembali ke lautan. Penyair Jamal D. Rahman di geladak itu pula. Tiduran. Sesekali menelentang memandangi awan, sesekali telungkup melirik laut. Ia tidak tidak punya jarak yang kelewat panjang dengan masa remajanya yang baru kemarin. Mungkin ia menyuruk jauh ke masa kanaknya, bermain ombak di lautan Madura. Masa kanak yang biru, tempat berdiam danau-danau keharuan. Sedang aku terduduk juga di situ. Disergap keindahan dan termangu. Seorang anak gunung yang tak punya pengalaman dengan laut. Maka laut tak memberi tambatan pada kenangan: sepenuhnya misteri dan pesona antara ngeri dan bahagia.

Labuan Bajo makin jauh saja dan kemudian tenggelam di balik langit. Di kiri kanan kapal tumbuh tebing-tebing batu yang gersang dan seksi. Jauh di sana adalah Loh Liang, yang populer dengan nama pulau Komodo. Ada sejumlah legenda dan cerita rakyat di sana. Aneh, aku justru teringat pada pelayaran Oddyseus saat pulang menuju Ithaca. Tebing batuan yang menjulang, debur ombak yang kadang besar, langit biru, dan awan samudra justru membawa ingatan pada kisah Yunani yang jauh di sana. Mungkin seharusnya aku mengenang kisah Hang Tuah atau pelayaran Malin Kundang. Tapi siapa bisa mengatur asosiasi dan ingatan. Atau mungkin karena kisah Yunani padat dengan cerita tualang dan sekaligus merupakan perjalanan pulang menuju keteduhan rumah yang dihadang banyak rintangan dan berma­cam hambatan. Sedang Malin Kundang berisi kisah anak desa melarat yang sukses menjadi kaya kemu­dian tampil menjadi OKB (orang kaya baru) yang malu mengakui ibunya. Sementara Hang Tuah mem­bawa ingatan akan pelayaran dari seorang teruna dalam menjalani diri sebagai abdi negara. Dan nega­ra, belakangan ini adalah sebuah urusan yang tidak menarik.

Jika kisah Yunani itu membawa epos agung, maka negara kerap lahir dengan kisah telenovela dengan tragedi yang dibuat-buat tapi terus berke­lan­jut­an, dengan banyak paman, adik dan ipar yang ge­mar kasak-kusuk, culas dan jahat. Kisah-kisah tidak logis dan tidak menggugah semacam itu, tentu tak ingin diingat pada sebuah perjalanan mengarungi lautan di sebuah tempat indah 23456 km dari Jakarta. Dari pusat kisah-kisah telenovela dengan derita berlarat-larat dan bahagia yang dibuat-buat. Dalam telenovela bernegara itu pula berdesakan para Malin Kundang yang mendadak kaya yang mengidap rendah diri akut sehingga habis-habisan membung­kus diri dengan mobil mewah, setelan mewah, rumah mewah, namun dengan pikiran, jiwa, cita rasa, dan martabat yang compang-camping. Dengan kemewah­an kagetan itulah mereka mondar-mandir di depan hidung ibunya sambil menghinakannya.

Maka aku kembali mengenang Oddyseus yang baru usai berperang melawan Troya dengan penuh martabat, mengatasi rintangan perjalanan dengan penuh martabat, dan pulang ke rumah dengan penuh martabat pula. Mungkin itu sebabnya mengapa umumnya epos-epos Yunani menjadi epos besar, dan tragedi-tragedinya menjelma tragedi agung. Pada tragedi Yunani, tokohnya menjalani hidup dengan penuh martabat dan integritas, tak putus-putus berupaya menghindari malapetaka untuk menemu­kan akal sehat dan cahaya bagi manusia dan kemanu­siaan.

Oedipus, misalnya, begitu mendengar ramalan bahwa dirinya akan membunuh ayah dan menikahi ibu –sebuah tindakan yang merusak martabat kema­nusia­an– tanpa banyak pikir dia meninggalkan istana –yang dalam definisi Indonesia adalah pusat kekuasa­an, kemewahan dan hidup berkecukupan– tidak lain tidak bukan untuk mengindarkan diri dari bertindak lalim. Ia kemudian menjadi raja karena berhasil mele­paskan negeri itu dari wabah dan malapetaka. Sele­bih­nya adalah takdir yang keras. Hantaman telak pada keterbatasan daya manusia. Oedipus tanpa se­nga­ja membunuh ayah dan menikahi ibunya –ban­ding­kan dengan Malin Kundang yang dengan sengaja dan sadar menghianati ibunya. Begitu Oedipus tahu kesalahannya, tanpa banyak pikir ia meninggalkan ista­na dan menusuk kedua matanya menjadi buta.

Istana yang menjadi dambaan alam pikir Jawa dan Indonesia remeh belaka di mata para pahlawan Yu­nani dibanding martabat manusia. Sementara mar­tabat manusia remeh belaka di mata budaya Nusan­tara yang adiluhung luhur tanpa tanding dibanding kur­si kekuasaan dan istana. Maka kutepiskan saja ki­sah-kisah leluhur yang memalukan dan menjelma men­jadi kenyataan di pusat-pusat kekuasaan masa kini itu. Akupun tetap membayangkan diri serupa Oddyseus. Tapi tak ada monster dan dewa-dewa yang mengganggu perjalanan kami. Dan kami segera sampai ke Loh Liang dan disambut oleh Komodo dengan liur yang bertetesan mencium bau darah. Tapi komodo bukan monster dalam kisah Yunani, melain­kan komodo saja, yang meski ganas tapi lebih tahu batas di banding manusia Indonesia yang luhur ber­pan­casila. Bahkan penyair Taufiq Ismail yang adalah dokter hewan segera bisa menandai seekor komodo yang sakit lalu memegang-megang ekornya. Hampir saja dia mencoba membuka moncong komodo untuk memeriksa lidah dan matanya supaya dapat mem­beri­kan diagnosis yang tepat. Untung pawang komo­do segera mencegahnya, sebab siapa tahu Komodo itu salah duga dan menganggap penyair Taufiq Ismail bu­kan sebagai dokter yang sedang memeriksa kese­hat­an­nya, melainkan sarapan paginya yang istimewa.

Malam tiba. Sekumpulan babi hutan melintas di muka bilik kami. Jamal D. Rahman dengan riang mengambili buah asam dan memakannya sambil tak habis-habisnya mengagumi pohon siwalan masa kanaknya. “Yang itu pohon lontar. Habis berbuah pohon itu mati. Kalau dia hidup terus, berarti dia tidak berbuah”, ucapnya berlagak ahli. Esoknya kami tahu, bahwa di kampung nelayan Komodo, agak jauh dari Loh Liang, sama sekali tak ada dermaga. Jadi para nelayan kesulitan untuk menaik­kan dan menurunkan muatan dan hasil laut. Bela­kang­an kami tahu, banyak benar desa-desa nelayan yang tak memiliki dermaga. Negeri bahari yang luar biasa bukan? Tapi saya kira itu disengaja, agar para Malin Kundang yang sukses itu punya alasan untuk tidak pulang.

Sekembalinya ke Labuan Bajo kami mendengar berita para pekerja Indonesia dicambuki negeri te­tang­ga. Kamipun kemudian mencari penginapan de­ngan diam-diam. Tapi tetap saja ada yang mengenali kami dan langsung menyapa: “Bapak para sastrawan ya?”. Dengan malu kami jawab pertanyaan itu dengan “stttt”, lalu menghilang ke kamar masing-masing. Bagaimana lagi. Kami adalah sastrawan dari sebuah negeri yang rakyatnya dicambuki orang. Kami akan bertemu dengan siswa-siswa SMU negeri yang rakyatnya dicambuk orang. Kami nyatalakan TV. Di sana, kami lihat presiden yang rakyatnya dicambuki orang, para menteri dari negara yang rakyatnya di­cam­buki orang, wakil-wakil rakyat dari rakyat yang dicambuki orang –tanpa cita-cita untuk mewakili rakyat menerima cambukan. Lalu lagu-lagu dari pe­nya­nyi sebuah negeri yang rakyatnya dicambuki orang. Kami tidak tahan. Kami matikan TV dan ter­mangu.

Aku menangis diam-diam. Tengah malam aku keluar sendirian menuju pantai. Terkenang sekilas gadis Sumbawa berkulit anggur pegunungan yang membisikkan lawas di atas: “Jika kau rindu padaku/ Sibak atap pandang bintang/ Di bulan bertemu pandang. Dan rembulan bersinar dengan megahnya. Jajaran nyiur dan ombak yang berdebur pelan bagai dengkur perempuan sehabis persetubuh­an membikin malam menjadi hening, dan suci, dan kudus. Aku beringsut pelan-pelan, kembali ke kamar, tak sanggup menghadapi kesyahduan malam, tak mampu menerima bentangan keindahan dari sebuah negeri elok yang rakyatnya dicambuki orang.
***


*) Agus R. Sarjono, lahir di Bandung, Jawa Barat, 27 Juli 1962. Namanya dikenal sebagai penyair, dan penulis esai sastra yang dimuat di berbagai media massa. Alamat blognya agusrsarjono.wordpress.com

Leave a Reply

Bahasa »