Ledakan Para Penyair Pulau Garam Madura

Ketam Ladam Rumah Ingatan, Antologi 41 Penyair Muda Madura

Ahmad Muhli Junaidi *
MataMaduraNews.com, 10 Okt 2016

Munculnya penulis-penulis Madura dalam kancah sastra Indonesia tergolong agak lambat. Baru pada pertengahan 1960-an ada dua penulis dari Madura yang karangan-karangan mereka dimuat dalam majalah sastra bergengsi, yaitu Sastra dan Horison. Mereka adalah M. Fudoli Zaini dan Iskandar Zulkarnaen. (Prof. Dr. Abdul Hadi W.M.)

Apa yang disinggung oleh sastrawan senior Madura di atas memang sangat tepat. Generasi Madura terlambat dalam menyongsong perkembangan dunia sastra Indonesia. Sehingga harus membutuhkan waktu kurang lebih 60 tahun sejak para Pujangga Baru mengorbit dunia sastra Indonesia yang dimulai oleh angkatan Balai Pustaka, 1920-an, sampai 1960-an. Tahun-tahun itu merupakan perseteruan sastrawan beraliran kiri yang berkumpul dalam LEKRA dan LKN. Dengan sastrawan berhaluan kanan yang mendirikan organisasi kebudayaan bernama LESBUMI, perkumpulan sastrawan dari NU, menjelang GESTAPU tahun 1965. Satu alasan mengapa orang-orang Madura terlambat melek sastra Indonesia adalah keterlambatan mereka mengakomodir bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan di pesantren-pesantren pulau Madura. Sebab, perkembangan sastra di Madura terkini tidak lepas dari literasi yang digalakkan oleh pondok pesantren yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam tiap proses kegiatan pendidikannya, baik sacara formal di sekolah, maupun non formal di pengajian kitab secara sorogan dan batonan.

Hal di atas sangat jelas terekam dalam ‘Ketam Ladam Rumah Ingatan’, sebuah antologi puisi penyair muda Madura yang memuat 41 sastrawan muda di bawah umur 30 tahun (hlm. 239-257). Dari 41 penyair Madura ini, 31 diantaranya lahir di Sumenep, 6 penyair lahir di Pameksaan, 2 penyair lahir di Sampang, dan 2 penyair terakhir lahir di Bangkalan. Dan yang spektakuler, dari 41 sastrawan muda Madura ini hampir semuanya adalah alumnus pondok pesantren yang dalam sistem pembelajarannya menggunakan bahasa Indonesia. Jika mengacu kepada sistem pembelajaran dengan pengantar bahasa Indonesia ini, maka sangat jelas peranan pondok pesantren Annuqayah akan sangat nampak. Hal ini tergambar dalam buku di atas, bahwa lebih 95% dari 41 penyair muda tersebut pernah atau sedang menimba ilmu di lembaga keislaman tertua dan terbesar di Sumenep ini.

Hubungan erat antara bahasa Melayu (nama dahulu sebelum diresmikan menjadi bahasa Indonesia pada Sumpah Pemuda, 1928), dengan dunia perdagangan dan dakwah Islam di nusantara memang sangat nyata. Bukti sejarah ini tidak akan mungkin dihapus dalam lembaran pembentukan nasionalisme Indonesia, bahwa selama hampir 7 abad bahasa Melayu menjadi lingua franca (basantara) dan menjadi pioner pemersatu umat Islam nusantara. Dengan demikian, wajar sekali jika lembaga pondok pesantren sebagai wadah dakwah Islam lebih lanjut, sekaligus menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar dakwah dan pendidikannya, dapat menelorkan literasi yang mumpuni dalam dunia sastra. Apalagi dunia pesantren sangat akrab dengan dunia sastra Arab, biasa dikenal dengan Balaghah, yang pengaruhnya dalam sastra Indonesia sangat mendalam. Inilah mungkin sekelumit jawaban mengapa santri dan alumnus pondok pesantren Annuqayah dapat meledakkan kesusastraaan Indonesia dengan generasinya yang tersimpul dalam buku ini, lebih-lebih pada dekade 2000-an, sebagaimana disinggung secara tersirat oleh Abdul Hadi W.M (hlm. 224).

Sedikit kita tengok bagaimana ‘ledakan’ kepenyairan santri dan alumnus Annuqayah dalam buku ini. Ahmad Subki dengan ‘Nila Rindu’nya misalnya. Dia mencoba mengeksplorasi akar budaya dan lingkungan keislaman orang Madura (hlm. 17). Badar Adiluhung dengan ‘Kerangka Bambu’nya yang mengelegar dangan bait kata ‘bambu pagan diterjang ombak, menancap ke dasar laut……akrab dengan desir angin dan gemuruh’ (hlm. 25). Baca pula apa yang ditulis oleh Bernando J. Sujibto dengan ‘Menunggu Matahari Pulang Di Hierapolis’, kemudian dalam sajak ‘Jalan ke Bukit itu Setiap Hari Berubah’ (hlm. 30-34). B.J., demikian panggilan akrab keseharinnya, telah begitu baik menggambarkan suasana di mana ia tinggal sampai saat ini. Dalam pandangan Abdul Hadi W.M., sajak B.J. telah betul-betul matang dan dapat digolongkan sebagai sajak impresionis (hlm.231), yang menekankan kepada kesan pribadi penulis atas tempat yang ia kunjungi, yakni Hierapolis, sebuah tempat peninggalan kekaisaran Romawi di Turki. Serta masih banyak lagi lembar demi lembar yang dipoles menjadi sajak luar biasa oleh santri dan alumnus Annuqayah di sepanjang buku ini.

Daya tarik lain dari buku ini adalah, selain di atas tentu, semua tim penggarapnya, dari sang editor, yakni Jamal D. Rahman, Redaktur Majalah Sastra Horison, kurator yang dipilih adalah M. Faizi dan Syaf Anton Wr., dua orang Madura yang masuk ke tataran sastrawan nasional Indonesia. Sampai perancang sampul, perancang isi, pemeriksa aksara dan penyelaras lukisan buku, yakni Shohifur Ridho Ilahi, Raedu Basha, dan BH. Riyanto, adalah mereka orang-orang Madura yang menjadi penggerak sastrawan muda Madura.

Barangkali yang patut disayangkan dengan terbitnya buku menarik ini ialah nihilnya para penyair muda Madura yang berasal dari golongan perempuan. Dari 41 sastrawan muda Madura, yang mewakili komunitas kaum perempuan Madura hanya Nurul Ilmi El-Banna, alumni pondok pesantren Annuqayah Daerah Nirmala (Lubtara). Oleh Jamal D. Rahman tidak dijelaskan mengapa sastrawan putri Madura jarang terangkat ke permukaan, padahal yang diseleksi oleh para kurator mencapai 131 penyair muda Madura. Benarkah diantara 131 orang penyair tersebut yang mewakili kalangan putri hanya satu? Jika demikian, timbul pertanyaan runtutan, mengapa kepenyairan perempuan muda Madura sangat jarang? Apakah ini akibat pembinaan yang salah ataukah minat perempuan muda Madura pada sastra sangat lemah? Semoga sinyalemen saya ini ke depan menambah gairah para remaja putri Madura untuk menambal kekurangan dari kaumnya, sehingga nanti, sastrawan Madura bukan hanya dari kalangan Adam saja, tetapi kaum Hawa-nya ikut terangkat ke permukaan jagat sastra Indonesia. Bravo sastrawan Madura!


Judul: Ketam Ladam Rumah Ingatan
Penulis: Antologi, 41 Penyair Muda Madura
Editor: Jamal D. Rahman
Kurator: M. Faizi dan Syaf Anton Wr.
Penerbit: LSS Reboeng, Jakarta
Cetakan I: 2016
Tebal: xxxii + 258 halaman
ISBN: 978-602-8966-82-5

*) Ahmad Muhli Junaidi , berkhidmat sebagai Guru Sejarah di SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep dan SMA Assalam Cenlecen, Pakong, Pamekasan, serta Guru PKn & IPS di MTs. 1 Putri Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *