Felix K. Nesi *
Koran Tempo, 4-5 Nov 2017
SANGKANYA anak-anak kampung itu baru saja meringkus pencuri mayat yang telah mereka sasar berbulan lamanya. Saat langit tak berbintang dan dingin musim hujan bersekongkol membekukan seisi kampung, saat ia baru saja akan mendaki puncak kesenangan bersama istrinya, seorang pemuda tanggung digiring ke rumahnya. Neno, demikian pemuda itu disebut, telah mendapat hajar sesudah aksi kejar-kejaran yang panjang, sebab mulutnya nyonyor berdarah-darah dan tubuhnya yang hampir telanjang itu penuh luka gores, peninggalan semak duri lantana.
“Inikah orang yang mencuri mayat-mayat di kampung kita?” Rafael mengusap matanya sambil bertanya, sebelum menguap dua kali, berpura-pura baru saja terbangun dari mimpi malamnya.
Anak-anak muda yang memegang kelewang dan lentera itu saling pandang, sebab tak sempatlah mereka merencanakan jawaban. Seorang yang janggutnya dikucir baru saja ingin membuka mulut, ketika istrinya muncul dari balik pintu kamar dan bertanya dengan suara serak, apakah perlu ia membuatkan kopi.
“Tidak perlu, Bu Lurah,” seorang yang lain menjawab. “Kami tidak akan lama.”
Tentu saja mereka akan lama, sebab mereka baru saja menggiring kemari seorang pelaku kejahatan, dan akan ada banyak hal untuk dibicarakan. Namun mereka tak ingin membuat perempuan muda itu menyalakan api jam sebelas malam, saat tungku dapur tak lagi menyisakan bara.
Istrinya menyibak kain pintu dan kembali lagi ke kamar. Sementara Rafael melepas tengkuk halus itu dengan tatapan ingin yang tertunda, sebab kepalanya masih berdenyut-denyut oleh sesuatu yang tidak sempat terselesaikan.
“Mayat siapa yang ia curi?” Rafael bertanya kembali, sesudah istrinya menghilang di balik pintu.
Neno tidak mencuri mayat, anak yang baru saja menolak tawaran minum itu menjawab: “Ia baru saja bersetubuh dengan pisang,” sambungnya.
Rafael merasa kepalanya membesar dan kulit wajahnya menebal. Tak pernah sebelumnya ia bayangkan, sebagai lurah ia akan ikut memikirkan hal sekonyol itu. Ia baru saja menyelesaikan kuliahnya di Tanah Jawa, dan kembali ke Timor dengan cita-cita mulia ingin menjadi anak yang mengabdi kepada orang tuanya. Kuliah yang lama telah membuat ayahnya miskin dan hilang kepercayaan padanya, meski lelaki tua itu tetap berusaha mencintai anak-anaknya. Setelah dua tahun lamanya ia ikut mengurusi surat kabar kecil dan memenangi kursi bupati untuk sepupu dari garis keturunan neneknya, ia ditunjuk menjadi lurah. Bukan di kampung halamannya, tapi di pedalaman selatan kabupaten itu, di suatu perkampungan yang baru saja dikukuhkan menjadi kelurahan.
“Tempatnya memang jauh,” demikian sepupunya itu berkata. “Tapi, jika bekerja dengan baik, kau mempunyai kesempatan untuk menjadi camat.”
Ia tak yakin bisa menjadi lurah, sebab sembilan tahun lamanya ia belajar ilmu komunikasi, dan selalu bercita-cita menjadi wartawan. Selain itu, ia dibesarkan di pinggiran kota/kabupaten dan tak begitu yakin akan mampu berbaur dengan orang-orang kampung. Tapi posisi camat selalu menggiurkan sejak kecil, sebab hanya pak camat yang mempunyai mobil dinas dengan seorang sopir, dan tiap hari Natal selalu membagi-bagikan beras dan kue kering bagi setiap orang yang bertandang. Jika beruntung, lepas menjadi camat ia akan menjadi bupati, membuktikan kepada ayahnya bahwa ia bisa dipercaya.
Maka dikuburkannya mimpi dan cita tentang surat kabar itu, dan dilantiklah ia menjadi lurah. Enam bulan kemudian, ia dinikahkan dengan seorang bidan desa lulusan sebuah sekolah tinggi di Kediri, dan hidup berbahagialah ia, setidaknya sampai masalah-masalah konyol ini menghadang.
Awalnya ia berpikir, menjadi lurah di pedalaman Timor hanya akan membuatnya berurusan dengan administrasi yang tidak begitu membikin pusing, selain ikut mengatur masalah-masalah remeh seperti lepasnya sapi ke ladang, serangan belalang kembar, pencurian kayu cendana, dan hal-hal kecil lain. Baru setahun sesudah dilantik, ia dikagetkan dengan kasus pencurian mayat, yaitu kasus yang tidak pernah ada sebelumnya dalam sejarah orang-orang Timor. Sebelum ini, orang-orang Timor selalu menghormati mayat, sebab mereka percaya bahwa jiwa orang mati berkumpul bersama leluhur, dan mempunyai hak untuk mengatur orang-orang hidup. Tapi waktu berputar sangat cepat dan dunia ikut berubah. Dalam waktu tiga bulan, sudah ada tujuh mayat perempuan yang hilang.
“Ada ilmu hitam dari Pulau Alor yang pengikutnya membutuhkan mayat,” demikian Naef Ataet, dukun kampung itu, berkata sesudah meludahkan sirih-pinang ke tempurung kelapa. “Siapa yang bisa memelintir kepala mayat dengan giginya, akan kebal pada senjata tajam.”
Ia pernah mendengar ilmu sejenis itu dalam perantauannya di Tanah Jawa, dan ia tidak begitu yakin bahwa orang-orang Alor mempunyai ilmu yang sama. Namun, bersikap lebih tahu dari dukun kampung tentang persoalan mistis hanya akan membuat ia kehilangan wibawa.
“Pertama, mereka membunuh perempuan-perempuan kita. Kedua, mereka mencuri mayatnya,” demikian sang dukun berkata.
Memanglah akhir-akhir ini banyak perempuan Timor yang mati. Baik mati saat melahirkan maupun mati sebagai tenaga kerja di negeri seberang, dikirim pulang dalam peti mayat dengan isi perut kosong melompong. Sejak kehilangan mayat yang ketiga, Rafael selalu memerintahkan penjagaan ketat, tiap ada perempuan yang mati lagi. Bukan hanya oleh satgas hansip, melainkan oleh anak-anak karang taruna, yang seharian tidak melakukan apa-apa selain menjadi ojek dan menunggu jadwal pesta dansa. Malam ini, anak-anak itu datang kepadanya, di tengah malam buta, bukan dengan pencuri mayat, tapi dengan seorang pemuda tanggung yang menyetubuhi batang pisang.
“Apa yang harus kami lakukan padanya?” anak yang janggutnya dikucir itu bertanya.
Rafael melangkah keluar dari rumah dan berjalan ke lopo 1. Anak-anak muda itu mengikutinya tanpa suara. Ia menyuruh mereka menyalakan lentera yang tergantung di empat tiang lopo, sementara ia bersila di dipan. Anjing melolong di kejauhan dan burung hantu menangis sendu setiap dua menit. Angin berembus pelan dan dingin merasuk sampai belulang.
“Tutupi Neno dengan bete’ 2-mu,” katanya kepada seorang anak yang sedang membetulkan bete’-nya: “Tak pantas membiarkan manusia telanjang, sejahat apa pun dia.”
Anak yang ia tunjuk itu melepaskan bete’ yang melingkari pinggangnya, dan bercelana pendek, ia menutupi tubuh Neno. Neno, dengan wajah bersalah dan ketakutan, tak henti menatap Rafael, meminta kasihan dan pengampunan. Rafael membuang muka, namun hatinya telah jatuh iba.
“Bagaimana kata kalian?” ia berkata sesudah lentera-lentera bernyala terang dan anak-anak muda itu mengerumuninya di sekitar dipan. “Ia bersetubuh dengan pisang. Baik. Ia sudah melakukan hal itu. Jika ia menyesal, mari kita biarkan ia pergi. Jangan sampailah masalah ini diketahui lebih banyak orang. Ini sangat memalukan. Bagaimana? Sanggupkah kalian menanggung malu sebesar itu?”
Neno menatapnya dengan terima kasih, tapi ia bisa melihat beberapa orang mencibir, di antara wajah-wajah yang terangguk-angguk.
“Tadinya kami ingin melakukan hal itu, Pak Lurah,” laki-laki lain lagi menjawab. Anjing masih melolong di kejauhan. “Tapi bukan pisang sembarang pisang yang ia kerjai. Itu pisang di mata air suku Ahoenulan, di dekat lembah sekitar Kali Nunhala. Ia telah menodai tempat keramat suku Ahoenulan. Taef Ahoenulan, anak Uis Ahoenulan, sang kepala suku Ahoenulan, tadinya bersama kami. Ia yang menelanjangi dan memukuli anak ini, dan sekarang sedang memanggil ayahnya. Saat kita berbicara ini, mungkin mereka sudah setengah jalan menuju tempat ini. Kita tidak bisa lagi membiarkan Neno pergi begitu saja.”
Rafael menarik napas panjang-panjang dan menatap langit-langit lopo sebelum mengembuskannya. Kulit jagung menyembul dari celah papan di langit-langit, yang tua dimakan serangga. Ini lopo peninggalan lurah sebelumnya dan sebelumnya lagi, dan mestinya ia tidak menaruh hasil panen di situ, sebelum memastikan bahwa langit-langitnya tidak sedang digerogoti serangga.
“Pak Lurah,” orang yang tadi memberi bete’-nya membuka suara. “Jika saya boleh bicara, anjing itu melolong sejak kami memergoki Neno. Kami pikir, tentulah si Neno ini sedang mencari le’u-le’u 3. Siktus anak Tua Kolo telah kami suruh memanggil Naef Ataet untuk memeriksanya.”
“Kono!” Neno menghardik. “Aku tidak mencari le’u-le’u. Kau mengenalku, aku tidak mungkin begitu!”
Rafael mengusap wajahnya. Semua tiba-tiba menjadi lebih rumit dari apa yang ia bayangkan. Saat kuliah di Tanah Jawa, buku-buku membuat ia berhenti percaya pada segala macam sihir dan le’u-le’u di kampungnya. Tapi, baru beberapa waktu menjadi lurah di kampung ini, hal-hal tidak masuk akal membuat keyakinannya pada buku dan ilmu pengetahuan meluntur perlahan. Bagaimana menjelaskan patah tulang yang tersambung kembali hanya dengan mantra dan ludah sirih-pinang? Bagaimana menjelaskan perihal hujan yang terhenti setelah dihardik Naef Ataet dengan mengacungkan aluk 4-nya? Bagaimana menjelaskan perihal belalang yang menyerang seisi kampung, tepat sesudah suku Anikaliti merobohkan rumah adatnya tanpa upacara yang benar? Dan masih panjang daftar hal-hal yang tidak bisa ia cerna, yang tidak pernah ia temukan penjelasannya di kuliah mana pun.
Dari tikungan dekat kapel kecil, di seberang jembatan kayu yang hampir roboh dimakan usia, dua lentera berjalan beriringan dengan lima bayang panjang manusia dalam balutan kaos partai warna-warni dan lilitan bete’ di pinggang. Uis Ahoenulan berjalan di depan, diikuti Naef Ataet, dan tiga pemuda yang gegas. Begitu memasuki lopo, tanpa berkata apa-apa, Uis Ahoenulan, sang kepala suku Ahoenulan, mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan menampar wajah Neno. Barulah sesudah pemuda malang itu tersungkur di lantai beralas debu tanah, Uis Ahoenulan membuka mulutnya.
“Kau mempermalukan dirimu sendiri, dan mendatangkan amarah atas nenek moyang kami. Kampung ini akan mendapat kutuk!”
Neno tetap menunduk, kebingungan antara harus membetulkan selimut atau menghapus darah yang kembali muncrat dari bibirnya. Satu-dua pintu rumah mulai terbuka, dan orang-orang laki-laki berdatangan oleh keributan kecil itu.
Setelah seorang hansip dibantu dua anak lain mengeluarkan kursi plastik dari dalam rumah Rafael, duduk melingkarlah mereka di lopo itu. Rafael, Naef Ataet, dan Uis Ahoenulan bersila di dipan, sementara Neno bersimpuh di lantai tanah yang berdebu. Orang-orang laki-laki yang lain melingkarinya; duduk di kursi atau berdiri di tirisan lopo. Perempuan dan anak-anak hanya melihat dari kejauhan tanpa ada keberanian untuk mendekat.
Naef Ataet mengambil sirih-pinang dari aluk-nya, mencampurkannya dengan kapur dan beberapa akar pohon sebelum mengunyahnya. Uis Ahoenulan membuka aluk-nya, menawarkan sirih-pinang dan kapur kepada Rafael. Rafael menolak dengan sopan, sebab ia telah menggosok gigi sebelum mencumbu istrinya.
Beberapa jurus kemudian, Naef Ataet meludahi telapak tangannya, dan dengan ludah merah darah itu, ia mengusap wajah Neno. Neno bergeming. Naef Ataet mendekatkan mulutnya ke telinga pemuda itu, yang kiri dan yang kanan, meniupnya dalam satu embus napas panjang, membaca beberapa mantra lagi, meniup lagi, lalu menarik kembali tubuhnya.
“Tak ada kejahatan dalam dirinya,” demikian ia bergumam dalam bahasa Dawan 5: “Anak ini tidak bersekutu dengan iblis, sekarang dan kemarin. Ia tidak bertalian dengan le’u-le’u mana pun. Hatinya bersih bagai kapas dan para leluhur mencintainya.”
Sesudah Naef Ataet kembali duduk, semua mata tertuju kepada Rafael. Rafael sadar, itu adalah waktu untuk ia mengambil alih, menunjukkan wibawanya sebagai lurah. Ia membersihkan tenggorokannya dengan deheman kecil, tiga atau empat kali, sebelum membetulkan duduknya. Burung hantu kembali mengirim gidik, tapi anjing telah berhenti melolong.
“Jika hatimu bersih dan kau dicintai leluhur, mengapa kau melakukan hal itu, Neno?”
Antara takut dan malu, Neno mengedarkan pandangannya. Angin dingin berembus dan mata tiap laki-laki berkilat di bawah lampu, menantangnya. Beberapa detik kemudian, apa yang keluar dari mulutnya membuat orang-orang menjadi iba sekaligus geli: “Saya hanya ingin sifon 6.”
“Sifon? Sama pisang?” Rafael bertanya lagi, tak percaya pada apa yang ia dengar.
Tak ada jawaban. Neno melihat ke lantai tanah berdebu dan menggerak-gerakkan kakinya.
“Di mana kau disunatkan?”
Tak ada suara.
“Di mana kau disunatkan, Neno?” Rafael mengulangi pertanyaannya.
“Di Naef Ataet,” Neno menjawab. Lirih dan ketakutan.
Orang-orang melihat Naef Ataet. Naef Ataet melihat aluk-nya dengan wajah setenang sungai, sambil terus memamah.
“Kenapa kau sifon ke batang pisang, Neno?”
Neno menatap Rafael dengan ketakutan.
“Neeta yang biasa menjadi tempat sifon telah mati sesudah melahirkan,” suaranya pelan dan lirih. “Tak ada perempuan untuk bisa dijadikan tempat sifon lagi, sementara waktu untuk sifon hampirlah habis. Luka saya hampir sembuh total. Jika tidak segera di-sifon, kemaluan saya akan mati membusuk,” sambungnya.
“Tapi, kenapa batang pisang?”
Beberapa laki-laki tersedak menahan tawa, tapi Rafael mulai terlihat marah.
“Naef Ataet menyarankan mayat, tapi saya memilih batang pisang,” Neno menjawab lagi, pelan dan ketakutan.
Rafael merasa puluhan kunang-kunang terbang mendatanginya, menyerangnya. Gumam orang seramai lebah. Kepalanya berdenyut ingin meledak. Sempat ia melirik ke samping, melihat Naef Ataet mengucapkan sesuatu yang tidak ia pahami, yang memuncratkan rintik-rintik ludah sirih-pinang ke wajahnya. Selebihnya ia tidak ingat apa-apa lagi.
Keterangan:
1. Lopo: Rumah tradisional penduduk Timor. Digunakan juga sebagai lumbung dan tempat pertemuan.
2. Bete: Selimut panjang yang biasa dipakai laki-laki Timor.
3. Le’u-le’u: Jimat.
4. Aluk: Tas kecil dari kain tenun, digunakan untuk menyimpan sirih pinang dan barang-barang keramat.
5. Bahasa Dawan: Bahasa daerah masyarakat Dawan, Pulau Timor.
6. Sifon: Ritual persetubuhan wajib pasca-sunat pada masyarakat Dawan, Pulau Timor. Dilakukan sebelum luka sunat benar-benar sembuh.
*) Felix K. Nesi lahir di Timor, Nusa Tenggara Timur. Kumpulan ceritanya berjudul Usaha Membunuh Sepi (Penerbit Pelangi Sastra, 2016).