Raedu Basha *
Republika, 21 Sep 2014
Diakui atau tidak, puisi berbentuk nadham yang dimaksud dalam tulisan Dimas Indiana Senja (selanjutnya Dimas), “Estetika nadhaman (Republika, Ahad, 24 Agustus 2014) hanya bentuk ekspresi kebosanan dunia perpuisian akhir-akhir ini. Mengapa demikian? Puisi-puisi dalam dekade kekinian dalam pengamatan saya seperti diwakili oleh bahasa judul puisi Joshua Igo, “Puisi yang Mencari Alamat”.
Lalu, terbenak sebuah pertanyaan untuk menanggapi tulisan Dimas, mengapa ia mengistilahkan puisi-puisi yang dimaksud sebagai puisi nadham? Dan apakah puisi tersebut telah tepat disebut puisi nadhaman dalam pengertian nadham yang sebenarnya?Karakter puisi-puisi pada era kekinian terasa benar-benar belum menemukan “alamat nya” dengan jelas, yakni alamat jati diri, tatkala alamat tersebut dapat menentukan di mana posisinya dengan baik sebagai puisi yang disebut sebagai gaya puisi baru atau kemungkinan pembaruan dalam puisi.
Maka, puisi-puisi yang dianggap puisi nadham dalam versi Dimas Indiana Senja seolah hanya menjaga rima yang konon sering digunakan oleh penyair era Pujangga Baru dan pengikut-pengikutnya sampai sekarang dan sebagai kelanjutan dari pantun yang bisa jadi bagian dari pengaruh puisi-puisi Arab yang menurut sejarahnya, puisi-puisi Arab sudah lebih dulu mendarat di bumi nusantara sebelum masa Pujangga Baru, yakni sejak adanya pondok-pondok pesantren atau datangnya pedagang-pedagang Arab ke Sumatra.
Nadham pada mulanya merupakan sebuah puisi-puisi Arab kuno, bukan hanya bermula dari tradisi pesantren seperti yang dikatakan Dimas. Ia sebagai sastra tulis yang sekaligus sastra lisan dari memiliki aturan-aturan untuk dilantunkan (dalam istilah persantrennya: “di- nadham-kan”).
Aturan-aturan tersebut dikenal dengan ilmu ‘arudh, yakni metodologi persajakan. Bangunan puisi Indonesia umumnya satu baris puisi disebut larik, berbeda dalam nadham yang menyebut satu baris sebagai bait. Maka, setiap satu bait dalam nadham yang sepenuhnya merujuk pada ilmu ‘arudh tak asal disusunbunyikan karena baitnya memiliki beragam bahar (suatu aturan nada).
Ada banyak macam bahar. Semisal, puisi Arab yang cukup terkenal di Tanah Air kita adalah iktiraf yang menggunakan bahar thawil, pernah dinyanyikan Haddad Alwi dalam album Cinta Rasul 1 yang konon puisi ini ditulis Abu Nawas. Bahar yang sering digunakan kitab- kitab pesantren adalah bahar rajaz, alasannya karena bahar rajaz dianggap efektif sebagai nadham yang mudah dihafalkan santri.
Dalam analisis saya, tak ada perbedaan antara puisi-puisi yang menjaga rima zaman Pujangga Baru dan apa yang dimaksud Dimas sebagai puisi nadhaman, melainkan hanya simbol pagar “#” yang menjadi pemisah untuk “sampiran”. Dimas mencontohkan puisi Sofyan RH Zaid yang dimuat pada antologi “Negeri Langit” seri Dari Negeri Poci 5 yang akan saya petik kembali di sini:MAWAR SIDRAH jam berhenti sejenak # terdengar suaracecak seperti denting ribuan logam # kaudatang padaku serupa malam aku lupa menutup pintu # aku luka melupa nafsu di kamar kita menjadi bisu # mawar dan sidrah bersatu ; jibril di mana wahyu? # khidir di mana waktu?Lantas, saya menjadi penasaran, apa yang menjadi alasan puisi ini disebut nadhaman?Kiranya bahar apa yang menjadi ukuran bait demi baitnya (wazan)? Saya tidak menemukan aturan nada baik seperti aturan nada bahar rajaz, bahar thawil, bahar basit, dan sebagainya.
Sekali lagi, menurut saya, puisi ini memiliki nada nadham yang kacau, hanya ia menyerupai nadhaman karena simbol “#” dengan bunyi rima kosakata pada sebelum dan setelah simbol.
Ada satu hal lagi perihal intensitas penyair Sofyan RH Zaid (atau Sofyan). Sebagaimana menurut Dimas, Sofyan sejak dulu koheren dalam membuat puisi nadhaman semenjak antologi puisi “Biarkan Aku Meminangmu dengan Puisi” yang kebetulan buku itu ditulis berduet dengan Edu Badrus Shaleh, yakni saya sendiri.
Pada buku tersebut, saya tidak menemukan puisi-puisi Sofyan yang mengisyaratkan gaya nadhaman. Mungkin Dimas belum membaca buku yang terbit pada Februari 2006.
Di sini saya tak hendak menggugat puisi na dha man yang bisa jadi puisi semacam ini kelak menjadi gaya dari satu-dua orang penyair Tanah Air yang menurut saya hanya menjadi bentuk ke bosanan terhadap dunia perpuisian akhir era kekinian, tetapi saya hanya memastikan bah wa nadham yang saya pahami sebagaimana di pesantren atau di perguruan tinggi jurusan sas tra Arab, memiliki metodologi sendiri. Akhirnya, dengan bergaya lazimnya orang pe santren, sa ya ingin mengajukan tanya, “Ini puisi yang dise but puisi nadhaman, apa wazannya dalam ilmu ‘arudh?”
***
*) Raedu Basha (Badrus Shaleh), Mahasiswa S-2 Antropologi Budaya UGM, Yogya. Lahir di Sumenep, 3 Juni 1988. Bukunya: Matapangara (Puisi, 2014), Biarkan Aku Meminangmu dengan Puisi (Puisi, 2006), dan The Melting Snow (Novel, 2014).