Sastra Bugis memang belum banyak ditulis. Di tengah konstelasi sastra nasional sastra Bugis seolah-olah berhenti pada periode sastra klasik. Setelah itu tak ada generasi yang melanjutkan tradisi bersastra dari para empu atau bujangga ‘anonim’ yang pernah menciptakan Pau-Pau Rikadong, atau menyusun kembali Sureq Meong Palo Karellae, atau syair-syair lagu (yang juga boleh disebut sastra) seperti Bulu Alau’na Tempe, Indo Logo, Ongkona Sidenreng dan sebagainya. Lagu-lagu Bugis klasik itu juga dikarang oleh para empu ‘anonim’.
Satu-satunya karya sastra Bugis klasik yang dapat disebut memiliki identitas yang jelas adalah I La Galigo karena ia sempat diselamatkan oleh Colliq Pujie, sehingga Colliq Pujie hampir identik dengan penyusun I La Galigo. Sebagai ‘empu’ sastra Colliq Pujie konon memiliki beberapa karya sastra lagi yang semuanya dapat disebut sebagai sastra klasik Bugis. Tapi karya-karya tersebut tenggelam di bawah kemilau dan kepopuleran I La Galigo sebagai karya ‘saduran’ Colliq Pujie. Tentu karena beberapa sebab, antara lain I La Galigo menjadi kajian sastra klasik Bugis, sedang karya-karya (asli dan saduran) Colliq Pujie yang lain seperti “Sureq Baweang”, “Lontarak Bilang”, “La Toa”, “Sejarah Tanete” jarang ada yang membicarakannya.
Disamping sulit menemukan karya-karya sastra Bugis sekarang ini, karya-karya esai, kritik sastra, ataupun studi sastra Bugis juga susah ditemukan. Kecuali buku yang disusun oleh para ahli seperti “Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa, 1812-1876 : intelektual penggerak zaman” karya Nurhayari Rahman yang lebih merupakan karya penelitian terhadap sejarah dan kultus pribadi Colliq Pujie, satu-dua buku teori atau buku kajian tentang sastra Bugis –yang biasanya berasal dari skripsi atau disertasi yang diterbitkan menjadi buku, tak ada yang benar-benar memiliki landasan teori kajian sastra Bugis yang berangkat dari sastra Bugis itu sendiri. Referensi yang kebanyakan menjadi pembanding untuk mengkaji keberadaan sastra Bugis adalah referensi kajian sastra Melayu Klasik atau sastra Indonesia klasik. Sehingga demikianlah kita bisa melihat periodisasi sastra Bugis mengikut pada periodisasi sastra Melayu atau sastra Indonesia klasik. Demikian juga dengan klasifikasi genre sastra Bugis tak jauh berbeda dengan genre sastra Melayu atau sastra Indonesia klasik yang terdiri dari puisi klasik, prosa klasik dan prosa liris. Contoh genre sastra Bugis seperti “Pau-Pau ri Kadong” telah dimasukkan ke genre sastra dongeng (prosa klasik), “elong mpugi” telah dimasukkan ke dalam genre syair (puisi klasik), demikian seterusnya. Padahal pembagian sastra Melayu klasik atau sastra Indonesia kalasik sendiri masih menyisakan distorsi meski para ahli tak ada lagi yang berminat meluruskannya.
Langkanya buku studi sastra Bugis dipengaruhi oleh tak berkembangnya karya-karya sastra Bugis dari masa ke masa. Ini bisa dilihat dari perkembangan penerbitan karya-karya sastra (di) Sulawesi Selatan ataupun di luar Sulawesi Selatan yang ditulis oleh generasi penulis (ber)etnis Bugis atau Makassar. Di era sastra modern ini hampir tak ada kabar penerbitan karya-karya sastra berbahasa Bugis atau Makassar, kecuali konon sebuah novel berbahasa Makassar berjudul “Karruq Ri Bantilang Phinisi” yang ditulis oleh budayawan Drs. Muhannis Ara Daeng Lawaq dari Bulukumba dan berani menyandang gelar ‘Sastrawan Bugis (Makassar)’. Yang lainnya adalah novel-novel Indonesia modern yang bersetting atau bermutan lokal budaya Bugis (Makassar), seperti novel “Perempuan Poppo” karya Dul Abdul Rahman, “Natisha” karya Khrisna Pabbicara, “Lontara Rindu” karya S.Gegge Mappangewa atau kumpulan cerpen seperti “Gadis Pakkarena” (Khrisna Pabbicara), “Benarkah Istriku Parakang” (antologi cerpen Komunitas Parepare Menulis) dan juga kalau mau disebut kumpulan cerpen “Latopajoko & Anjing Kasmaran” (Badaruddin Amir) dan lain-lain. Buku-buku tersebut hanya bermuatan lokal “Bugis atau Makassar” tapi tidak ditulis dalam bahasa maupun aksara Bugis. Tak jauh beda dengan kumpulan puisi. Penyair dan dramawan Ram Prapanca pernah menerbitkan sekumpulan puisi berlatar belakang Bugis (Makassar) berjudul “Berita dari Karaeng” dalam bahasa Indonesia dan Chaeruddin Hakim menerbitkan “Danau Semesta” sebuah kumpulan puisi berlatar budaya Bugis tapi juga ditulis dalam bahasa nasional bahasa Indonesia. Begitu pula dengan “Binrolle” kumpulan puisi Tomy Tamara.
Tak adanya generasi dari etnis Bugis (Makassar) yang berani menjadi pelaku sastra Bugis (Makassar) tentu karena beberapa faktor. Salah satunya karena kebanyakan generasi Bugis (Makassar) sekarang tidak menguasai bahasa Bugis (Makassar) dengan baik sebagaimana penutur bahasa Bugis (Makassar) terdahulu. Banyak kata-kata Bugis klasik yang indah-indah sebagaimana dalam ‘ada-ada sulassana ugi Masagalae’ dan ‘Lontarak’ tak lagi digunakan sekarang karena telah tergantikan dengan bahasa Indonesia atau bahasa-bahasa lain yang konon lebih praktis. Dan yang terutama karena penutur bahasa Bugis (Makassar) –di daerah (ber)etis Bugis/Makassar sendiri, jauh lebih sedikit dari pengguna bahasa Indonesia. Hal ini juga menjadi sebab mengapa tak ada perusahaan penerbitan pers yang mau menerbitkan media khusus berbahasa Bugis/Makassar. Bahkan tak ada lagi media yang berani membuka rubrik bahasa daerah semacam rubrik “Coto Mangkasara” yang sangat terkenang dengan celoteh-celoteh bahasa Makassarnya di harian Pedoman Rakyat dahulu.
Jika komunitas penutur sedikit maka segencar apa pun upaya sosialisasi sastra Bugis (Makassar) tidak akan memungkinkan untuk berkembang secara luas kecuali melalui terjemahan ke dalam bahasa yang memiliki penutur lebih luas. Karena itulah banyak penulis yang sesungguhnya dapat menulis karya-karya sastra Bugis lebih memilih untuk langsung menulis dalam bahasa Indonesia saja, meski yang diungkapnya atau yang menjadi tema tulisannya adalah hal-hal yang berkaitan dengan budaya Bugis atau Makassar.
Karena itu jangan diartikan bahwa tak ada generasi dari etnis Bugis (Makassar) yang berminat pada sastra. Peta sastra secara nasional memperlihatkan sastra di Sulawesi Selatan telah menjadi salah satu bagian penting dari pembangunan konstelasi sastra nasional kita. Lihatlah “9 Jawaban Sastra: sebuah Orientasi Kritik” (Maman S. Mahayana, 2005) di sana sastra Sulawesi Selatan mulai dimunculkan. Demikian pula dalam “Apa Siapa Penyair Indonesia” (yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017), sejumlah sastrawan (penyair) Sulawesi Selatan telah tercatat di dalamnya. Dan pada beberapa antologi puisi dan cerpen yang terbit secara nasional sastrawan-sastrawan Sulawesi Selatan yang beretnis Bugis dan Makassar pun tak pernah luput menjadi bagian di antaranya. Para penyair, esais, cerpenis hingga novelis Sulawesi Selatan saat ini sudah diperhitungkan sebagai sastrawan nasional. Sastra Sulawesi Selatan yang dibangun oleh anak-anak beretnis Bugis (Makassar) ini tidak lagi dilihat sebelah mata di tingkat pusat. Meski demikian ini tidak berarti bahwa “sastra Bugis/Makassar” dengan sendirinya telah terbopong ke sana.
Rata-rata anak Bugis yang menjadi sastrawan (penyair atau penulis prosa) tidak menulis dalam bahasa daerah Bugis(Makassar). Sehingga demikianlah sastra Bugis (Makassar) adalah sastra yang tidak berkembang atau dapat disebut sebagai sastra yang tetap ketinggalan zaman. Sastra Bugis (Makassar) tidak mengikuti perkembangan sastra modern dan kebanggaan kita pada sastra Bugis (Makassar) adalah kebanggaan mengelap-ngelap barang antik. Sastra Bugis (Makassar) yang sudah ada dianggap sebagai sebuah artefak atau barang antik yang harganya mahal sehingga harus tersimpan di sebuah bufet antik berwarna gelap dan menjaganya sepanjang zaman tanpa upaya penulisan kembali secara historiografi, rekonstruksi, atau reinterpretasi. Kita menerima sastra Bugis/Makassar sebagai warisan, sebagai sebuah tradisi yang biasanya tidak disertai dengan pemikitan kritis. Padahal sesungguhnya warisan budaya—termasuk sastra—mestinya diterima secara terbuka dan disertai dengan sikap kritis terutama pada pemaknaan secara sosio-kultural.
Prof. Dr. Abdul Hadi WM dalam sebuah diskusi sastra nasional (Munsi II) mengatakan, “tradisi biasanya dipatuhi oleh semua anggota masyarakat tanpa pemikiran yang kritis. Demikian pula dalam dunia sastra. Tradisi menulis sastra dimiliki oleh setiap etnik yang tumbuh di daerah seperti di Bali, Sunda, Madura, Bugis dan di etnik-etnik lain. Tradisi menulis pantun, tembang macapat, singir (syair Jawa), si’ir (syair Madura), kelong (syair Bugis) memiliki konvensi dan norma-norma yang telah dirumuskan secara lisan dan mengikat. Kondisi yang seperti inilah yang memunculkan istilah ‘tradisionalisme’ dan diterima oleh para pengarang Indonesia pada abad ke 20 M.
Dari pemahaman seperti itu muncul perbedaan tajam antara tradisi dan modern, antara tradisional dan modernitas, dan antara paham ‘tradisionalisme’ dan paham ‘modernisme’. Perbedaan seperti itu pulalah yang mendorong semangat Sutan Takdir Alisjahbana menerbitkan antologi ‘Puisi Lama’ dan ‘Puisi Baru’ serta label-label yang lain seperti ‘Pujangga Lama’ dan ‘Pujangga Baru’, ‘Sastra Lama’ dan ‘Sastra Baru’ pada tahun 30-an yang diamini pula oleh peneliti sastra seperti C.Hooykaas”.
Cara memandang seperti itu, kata Abdul Hadi WM lagi, adalah cara memandang sastra yang sangat linear. Meletakkan tradisi sepenuhnya sebagai bagian dari masa lalu akan membuat karya-karya sastra masa lalu itu kehilangan eksistensi pada masa kini. Apalagi dengan hadirnya istilah sastra modern dengan berbagai identitas itu. Sastra masa lalu menjadi terpinggirkan, norma-norma dan konvensi penulisannya harus ditinggalkan, begitu pula cara penilaiannya. Padahal tidak sedikit karya-karya sastra masa lalu yang memiliki nilai universal dan eksistensinya masih sangat relevan hingga masa sekarang ini. Sebutlah karya-karya besar seperti Oedipus Rex karya Sopocles, Bhagavat Gita yang dikarang pada abad ke-3 SM dalam bahasa Sanskerta telah mengilhami sekian banyak kitab-kitab modern yang bukan hanya kitab sastra, tapi juga kitab-kitab filsafat. Demikian pula dengan epos Lagaligo dari Tanah Bugis, yang seharusnya mengilhami karya-karya sastra di tanah air kita.
Pandangan dikotomi ‘Sastra Tradisional’ dan ‘Sastra Modern’ dengan segala ekses yang ditimbukannya seharusnya tidak menjadi paham atau anutan dalam berkarya bagi para sastrawan sekarang ini. Sastra tradisional harus dipahami sebagai sastra nusantara, sebuah khasanah (kekayaan) sastra yang dimiliki oleh bangsa kita. Hanya dengan berbicara tentang sastra nusantara, kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan ‘sastra tradisional’” sebagai sebuah kultur budaya yang berkembang hingga hari ini. Sastra yang kini bertumbuh dan berkembang di pelosok-pelosok daerah adalah sastra nusantara yang memproyeksikan kebinekaan dalam bingkai keindonesiaan kita. Dan kita, generasi Bugis (Makassar) cukup berbangga apabila sastra Bugis (Makassar) yang disakralkan itu sekali-kali dikeluarkan dari lemari antiknya untuk diseminarkan. Kebanggaan kita pada sastra Bugis (Makassar) di tengah konstelasi sastra nasional sekarang ini adalah kebanggaan “seminar”, bukan kebanggaan “kreatif” karena lahirnya sebuah karya sastra Bugis(Makassar) yang baru.
Sangat berbeda dengan sastra nusantara lain seperti sastra Jawa Kuna yang mulai berkembang di abad ke-9 hingga abad ke-14 Masehi maupun Sastra Sriwedari (Sastra Jawa) yang sudah ada sejak 1924 dengan tokoh penting seperti R.M. Ng. Poerbatjaraka (1884-1964). Atau Sastra Sunda yang terus menerus berkembang secara kreatif dengan dukungan media, penerbitan dan penghargaan bagi tokoh-tokohnya seperti yang diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage. Sastra Sunda terus berkembang dari periode ke periode sejak sebelum perang dan melahirkan beberapa tokoh penting seperti Muh. Musa (lahir 1822), P.H.H.Mustapa (lahir 1852), D.K. Ardiwinata (lahir 1866), Sayudi (lahir 1932), Yus Rusyana (1938), Ajip Rosidi (1938), R.H.Hidayat Suryalaga (lahir 1941), hingga Godi Suwarna (lahir 1956) dan Etty R.S (lahir 1958). Mereka menulis dalam bahasa Sunda (disamping ada juga yang menulis dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia) dan mereka justru merasa bangga disebut sebagai sastrawan Sunda. Mereka pun tak merasa lebih penting untuk menjadi sastrawan Indonesia atau sastrawan nasional karena karya-karyanya juga banyak dibaca orang setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Hal yang tak pernah kita dengar ada sastrawan Bugis yang menulis sastra Bugis modern semisal puisi, cerpen maupun novel dalam bahasa daerah Bugis. Persoalan ini tentu saja akan panjang jika kita menelusuri atau menganalisis lebih jauh sebab musababnya mengapa tak ada sastrawan entis Bugis yang mau menulis dalam bahasa Bugis atau Makassar dan bangga untuk disebut sebagai sastrawan Bugis.
Pada kenyataannya sastra Bugis itu adalah stereotip sastra lama yang pernah ditulis oleh para empu sastra Bugis zaman dahulu. Tak ada puisi bugis modern yang ada adalah elompugi (Catatan: Chaeruddin Hakim telah memulai menulis sastra Bugis tapi masih tak berani keluar dari pola-pola sastra Bugis klasik yang disebut ‘Kelong’), tak ada cerpen Bugis maupun Makassar modern yang ada adalah “Pau-Pau ri Kadong” (dongeng), demikian pula tak ada novel Bugis modern. Yang dimaknai oleh kebanyakan orang sebagai karya sastra Bugis adalah karya-karya sastra modern seprti puisi, cerpen dan novel yang mengambil “setting” atau latar belakang kebudayaan Bugis; nama-nama Bugis, adat istiadat Bugis, upacara-upacara Bugis, mitologi Bugis yang ditulis dalam langgam bahasa dan sastra Indonesia modern. Kalau kita mengambil definisi sastra Bugis adalah karya sastra yang ditulis dalam bahasa daerah Bugis maka tentulah karya-karya sastra yang berlatar belakang kebudayaan Bugis tapi ditulis dalam bahasa Indonesia ini bukanlah sastra Bugis, melainkan karya sastra Indonesia yang bermutan lokal. Atau karya sastra Indonesia kontekstual: yang merujuk pada konteks budaya daerah.
Strategi Politik Bahasa Nasional sebenarnya berlaku juga pada “Politik Sastra Nasional” meski ini jangan diartikan secara juridis formal. Jika pada strategi Politik Bahasa Nasional menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama, bahasa daerah sebagai bahasa kedua dan bahasa asing sebagai bahasa ketiga, maka strategi perkembangan sastra pun demikian halnya. Karena bahasa dan sastra tidak bisa dipisahkan. Pada sastra nasional Sastra Indonesia menempati posisi sebagai klas sastra pertama, sastra Daerah yang ditulis dalam bahasa daerah menjadi klas sastra kedua, dan sastra asing yang kebanyakan diterima sebagai sastra terjemahan sebagai klas sastra ketiga. Meski demikian pada kenyataannya antara sastra nasional dan sastra asing telah terjadi “perebutan” kekuasaan disebabkan karena kualitas dan gencarnya penerjemahan karya-karya sastra asing di Indonesia. Meski demikian sastra tidak perlu diatur dalam sebuah regulasi dan undang-undang karena sastra tidak mengembang amanat “politik”, konteksnya tidak berkaitan dengan faktor-faktor ekologi kemasyarakatan beraspek “Ipoleksosbudmil” dan tak ada kaitannya dengan strategi bela negara. Sastra mengemban amanah ‘kemanusiaan’ secara universal yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan personal appreciation. Yang perlu diwaspadai hanyalah masuknya isme-isme atau ajaran-ajaran yang dapat menyesatkan umat dan tidak sesuai dengan kebudayaan bangsa, yang dapat saja merangsek melalui sastra asing terjemahan.
Barru, 2018
*gambar: La Galigo, foto kkssnunukandotwordpressdotcom