Menulis Wajah Rinus

untuk Evi Nunhala

Felix K. Nesi *
Jawa Pos, 21 Juni 2020

SESUDAH misa hari Minggu yang kudus itu, Rinus bertanya apakah saya bisa membantu ia memukuli Danker.

Danker yang mana, saya bertanya, yang sopir oto Widuri atau tukang bangunan dari Malaka?

“Yang sopir,” Rinus menjawab.

“Apa yang ia lakukan kepadamu?”

“Ia mencolek pantat Evi, dua hari lalu. Evi marah, tetapi ia bilang, ‘Pantatmu bagus, lalu kenapa? Mau lapor saudaramu yang banci itu?’”

“Danker bilang begitu?” saya bertanya.

“Tanya Evi kalau tak percaya,” ia menunjuk Evi dengan kepalanya.

Saya menoleh, mengikuti anggukannya. Di pintu kapel orang beriringan, tua dan muda, memeluk Alkitab atau menggendong anak-anak. Dari samping patung Bunda Maria, Evi yang mengawasi kami menganggukkan kepala sambil melirik ibunya. Ibunya tidak melihatnya—ia sedang berbicara kepada seorang ibu lain dengan bibir mencibir, mungkin tentang pakaian seseorang yang kurang pantas.

Saya berpaling, melihat langkah saya. Matahari meninggi, mengintip jalanan lewat pundak orang-orang beriman. Bayangan kami berkejaran dengan langkah kaki. Dedaun kering yang basah oleh hujan subuh bergerisik saat beradu dengan sepatu-sepatu gereja.

“Bagaimana?” Rinus bertanya.

“Kau butuh tiga orang untuk memukuli seorang sopir,” saya berkata. “Sopir menyimpan kunci roda dekat pintu dan punya seorang konjak [1].”

“Saya akan mengajak Jofu.”

“Joni Nafu?” saya bertanya. “Ia lari dari Tangerang sesudah membunuh preman pasar. Kau tidak akan mengajak pembunuh untuk memukuli orang, kecuali kau siap melihat mayat.”

“Bagaimana dengan Yuven?”

“Yuven anak Maubesi?”

Ia mengangguk.

“Bisa. Tetapi, jika sopir itu adalah Danker, kau akan butuh empat orang untuk menghajarnya.”

Rinus menarik napasnya.

“Dia melecehkan Evi. Mempermalukan saya. Saya akan tetap menghajarnya, dengan atau tanpa kalian.”
***

Ibu Evi adalah wali baptis Ursula, adik saya yang bungsu. Keluarga kami sangat dekat, terlebih sesudah ayah mereka meninggal. Kami berbagi rasa yatim yang sama. Sesekali Ursula menginap bersama Evi, sesekali Evi datang ke rumah. Saya mencintai mereka dan akan selalu membela mereka.

Namun, siapa yang tidak kenal Danker? Nama aslinya Daniel, ia samarkan menjadi Danker untuk memberi kesan angker. Tahun 1992 ia dibawa dari Dili oleh seorang tentara dan dibesarkan di kodim. Seperti umumnya anak haram Kodim, ia malas sekolah dan rajin berkelahi. Namanya busuk dari kota sampai ke desa-desa.

Itulah kenapa, sebelum membuat keputusan, saya menelepon Om Isak.

“Rinus ingin memukul Danker.”

“Danker si tukang batu? Pukuli saja, siapa yang mau membelanya?”

“Bukan. Danker yang sopir Widuri.”

Om Isak tidak menjawab.

“Bajingan itu mencolek pantat saudarinya dan menyebut ia banci.”

“Tunggu. Siapa itu Rinus?”

Saya kesulitan menjelaskan siapa itu Rinus. Nama keluarga dari ayahnya tidak terlalu dikenal di kota ini. Di zaman kerajaan, mereka hanyalah rakyat jelata. Sesudah Timor bergabung dengan Indonesia pun, mereka tetap jelata.

Namun, Om Isak mengenal ibu Rinus. Ayah dari ibu Rinus bermarga Sufa, ia pernah menjadi anggota dewan. Saya bilang, ibu Rinus adalah wali baptis Ursula. Mereka sudah seperti keluarga bagi kami, seharusnya Om Isak juga menganggapnya keluarga, membelanya.

“Saya tidak suka ada masalah.” Hanya itu kata Om Isak.
***

Di Timor Barat, yang benar-benar mengontrol hidupmu bukanlah ayah atau ibumu. Tetapi, ia adalah atoin amaf, yaitu saudara laki-laki dari ibumu. Kau hidup untuk mematuhi mereka, bertuhan kepada mereka. Saat kau lahir, mereka yang berurusan dengan ari-arimu. Saat kau mati, mereka yang menutup matamu. Jika mereka tak datang saat putus napasmu, tak akan ada yang memandikan mayatmu, tak akan ada yang menggali kuburmu. Kau akan membusuk di tempat tidur, dimakan serangga dan kutukan.

Itulah kenapa saya menelepon Om Isak. Ia satu-satunya saudara ibu, dan ia punya pengaruh di kota ini. Ia memenangkan sahabatnya, seorang preman pasar, menjadi bupati dua periode. Ia pandai bernegosiasi dan mengenal semua orang di kota, dari tukang pukul sampai polisi, kontraktor sampai tentara perbatasan.

Namun, Om Isak kelihatannya tidak begitu suka pada ide memukuli Danker. Sebagai anak kodim, walau hanya haram, Danker punya pengaruh. Banyak orang yang akan bekerja untuknya.

Malam berikutnya, sudah agak larut ketika saya pulang dari toko buku. Kota menjadi lebih dingin sejak pohon turi berbunga. Kabut tipis jatuh pukul delapan dan orang-orang enggan keluar dari rumah. Toko-toko tutup lebih awal, hanya warung orang Sabu yang buka sampai larut. Di gang dekat rumah, empat tukang ojek berdiang sambil membicarakan sesuatu yang membuat saya berhenti.

Saya bilang selamat malam, apakah saya boleh ikut berdiang?

“Mari, Kakak Penulis,” yang paling besar mempersilakan. “Apakah ada bacaan baru yang bagus?” Ia berbasa-basi.

Saya menggeleng. “Pengarang sekarang lebih suka bergosip daripada menulis. Mereka hanya menghasilkan sampah yang membosankan.”

Mereka tertawa. Seseorang menuangkan sopi dan menyodorkannya kepada saya. Saya minum sekali tenggak dan mengembalikan sloki. Satu putaran sopi dan kami tidak berbicara. Hanya suara jangkrik dan putih kabut yang mengelilingi. Mereka masih ingusan ketika saya sudah kebut-kebutan dengan sepeda motor—mereka kelihatan sungkan duduk satu api dengan saya.

“Apa yang kalian bicarakan tadi?” Saya bertanya sesudah beberapa jenak.

“Rinus ingin memukuli Danker,” seseorang berkata, senang bahwa suasana menjadi cair.

“Dia pasti mampus kena hajar, hahah,” yang lain menyambung.

“Dari mana kalian tahu?” saya bertanya.

“Ia mengajak Yuven, kemarin. Yuven belum kasih jawab.”

“Si Anjing Yuven,” seseorang menyambung, “menambal ban bocor saja dia tidak sanggup. Dia akan semaput kena hantam kunci roda.”

“Apakah kalian mau membantu Rinus?” saya bertanya.

“Membantu memukuli Danker? Huh. Siapa yang cukup gila untuk memukuli anak kodim?”

“Ya, saya tidak mau berkelahi. Zaman ini, satu kali pukul bisa langsung kena pasal.”

“Kecuali…” yang lain menyambung,” kecuali kalau Rinus bergaul di tempat ini. Tak perlu diminta, pasti kita bantu. Tetapi, dia jarang main di sini. Berdiang, minum-minum… Hari-hari di rumah saja. Kalau melihat kita, lagaknya seperti kita pencuri. Jika ada masalah begini, siapa mau membantu?”

Saya mengapresiasi keputusan mereka dan berpamitan.

“Kakak,” seseorang memanggil, ”sesekali masukkanlah kami ke dalam cerita.”

Saya mengangguk. Bukan masalah besar untuk memasukkan empat pengecut ke dalam cerita pendek saya.
***

Ursula pulang sekolah ketika saya sedang memberi minum sapi. Wajahnya pucat seperti habis bertemu Soeharto.

“Kakak kenal Denjer?” ia bertanya.

Siapa itu?

“Konjak oto Widuri.”

Saya menggeleng.

“Dia bilang ke saya, ‘Kasih tahu kakakmu yang penulis itu untuk menjauh dari masalah. Atau…’”

“Atau apa?” saya bertanya.

“Atau tangannya tidak akan bisa lagi dipakai menulis.”

“Dia bilang begitu?”

Ursula mengangguk.

“Berapa umurnya?”

“Enam atau tujuh belas.”

Bangsat!

Saya telepon Rinus.

“Konjak Widuri itu masih anak-anak,” saya berkata.

“Semua konjak adalah anak-anak,” Rinus menjawab. “Tetapi, mereka ingin menjadi sopir. Mereka tidak takut mati untuk membela sopir.”

“Sudah dapat berapa orang?” saya bertanya.

“Yuven menolak, tidak bisa ikut. Atoin amaf-nya penyelundup motor, berteman baik dengan komandan perbatasan. Dia tidak mau ada masalah dengan anak tentara.” Diam sejenak. “Tetapi, Jofu bersedia.”

“Kau ajak Jofu?”

“Memangnya mau ajak siapa lagi?” Ia terdengar sengit. “Tidak ada anak gang yang mau membantu.”

Saya terdiam.

“Kau ikut?” ia bertanya.

“Saya ikut. Jauhkan Jofu dari barang tajam. Siap lerai jika keadaan jadi kacau.”
***

Kepala saya seperti kena tikam setiap kali mencoba mengurutkan kembali kisah ini. Sakit bukan main. Tidak ada satu pun rencana yang berjalan dengan baik. Danker pasti membayar sangat mahal. Atau Jofu yang telah berutang banyak kepadanya.

Samar saya dengar suara Evi, menangis. Ursula duduk di depan saya. Ia sudah bosan menangis dan mengomel. Ibu terlalu sedih untuk datang ke rumah sakit. Ia hanya berkirim pesan dengan Ursula. Om Isak marah besar dan tidak mau mendengar apa-apa.

Kami mencegat oto Widuri sebelum pukul enam sore, di depan sekolah pertanian. Cara terbaik untuk memukuli orang adalah menjelang magrib. Kau akan punya cukup waktu untuk menghajarnya dan bisa kabur begitu hari mulai gelap. Malam akan memberimu cukup waktu untuk kabur –kau bahkan bisa menyeberang ke Timor Leste.

Hampir magrib, Jofu tidak juga kelihatan. Tetapi, Rinus tidak sabar lagi.

“Dengan atau tanpa Jofu, kita akan tetap menghajar Danker.”

Rinus telah membawa dua rantai sepeda motor, panjang dan masih berminyak, ia tumpuk di dekat kakinya. Jaga-jaga kalau Danker keluar dengan kunci roda, katanya.

Saya tidak membawa apa-apa. Saya hanya akan mengurus konjaknya, binatang setengah umur yang telah mengancam saya. Saya akan bikin dia menyesal telah mengincar jari seorang penulis.

Oto lain pergi dan pulang, tetapi Widuri belum juga kelihatan. Sopir-sopir dan konjak-konjak berwajah cemas melihat kami berdiri di tepi jalan, dengan rantai motor bertumpuk di rerumputan. Bukan tidak mungkin angin meniup kabar dan Danker telah tahu bahwa kami ingin mencegatnya. Jofu belum juga kelihatan. Mungkin buron itu takut kena tangkap.

Rinus sudah tidak peduli. Ia tetap akan menghajar Danker.

Saat oto Widuri akhirnya muncul dari pertigaan warung bakso, Rinus berdiri di tepi jalan dan memberi tanda stop. Saya bersiap menghajar si konjak. Danker yang menyetir tidak berhenti baik-baik. Ia melaju sedikit lebih cepat, lalu membanting setir ke kiri dan mengerem mendadak.

Saya melompat ke samping. Rinus memutar cepat dan sempat memukuli Danker di balik pintu. Saya lihat wajah Danker kena sambar tinju. Pokpak! Tetapi, Danker mendorong pintu dengan keras dan Rinus terlempar ke jalanan. Dan yang keluar dari pintu utama oto itu adalah alasan Jofu tidak muncul-muncul.

Jofu turun dari oto sesudah konjak dan tiga orang berandal lain melompat ke luar. Konjak dan tiga orang berandal itu langsung mengeroyok saya. Samar saya lihat Jofu dan Danker mengelilingi Rinus. Danker memegang kunci roda, Jofu membawa pisau komando. Rinus yang terjatuh tidak sempat lagi mengambil rantainya.

Membayangkan apa yang akan terjadi, marah dan panik membuat saya kalap. Tetapi, empat orang bajingan setengah umur itu membuat saya tidak berdaya. Saya dihajar dari kiri dan kanan, bertubi-tubi. Seseorang menghantam tengkuk saya dengan batu. Seorang lain menghancurkan jari-jari saya. Kini kepala saya perih bukan main setiap kali saya mencoba mengurutkan kembali apa yang terjadi. Saya tidak akan melupakan wajah Rinus. Erangan terakhirnya dengan pisau di jantung. Saya ingin menuliskannya sekarang, menuliskan wajahnya, sebagai ingatan terakhir. Tetapi, saya tidak bisa menggerakkan jari-jari saya.

Oetimu, 2020

KETERANGAN: [1] Konjak (Melayu Timor): kondektur

*) FELIX K. NESI, Emerging sopi-maker, tinggal di Bitauni, NTT. Bukunya berjudul Orang-Orang Oetimu (2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *