Akhudiat (5 Mei 1946 – 07 Agustus 2021)
Suatu hari di akhir tahun lalu, Desember 2014, Akhudiat, menelpon saya untuk mengambil buku baru bertajuk “Antologi 5 Lakon Akhudiat” di rumahnya, di bilangan tengah kota Surabaya. Lewat telepon selular itu pula saya jawab, akan mengambilnya jika saya (yang berumah di Mojokerto) kebetulan pas ke kota Surabaya. Buku itu, memuat lima naskah lakon yang kesemuanya pernah memenangkan sayembara penulisan naskah lakon oleh Dewan Kesenian Jakarta. Masing-masing: Grafito (naskah lakon, 1972), Jaka Tarub (naskah lakon, 1974), Rumah Tak Beratap (naskah lakon, 1974), Bui (naskah lakon, 1975), RE (naskah lakon eksperimen, 1977).
Ketika suatu hari saya bisa sampai rumahnya, Diat, sedang menata-nata bukunya yang seabreg jumlahnya itu. Ada yang berbahasa Jawa, Indonesia, Inggris, Jerman, Perancis, dan Belanda. Kebanyakan buku sastra, baik puisi, prosa, dan naskah drama. Memang, ia baru saja pindah rumah baru di Gayungan Grand Residence itu. Setelah duduk dan mengambilkan buku yang dijanjikan, lantas ia bercerita tentang lima naskah lakonnya tersebut. Katanya, mengapa ia menulis lakon dengan gaya yang berbe-da dengan yang lain, karena saya merasa, selama ini naskah lakon selalu berdasarkan pang-gung presinium. Panggungnya seperti sandiwara dan tonil, persisnya seperti Srimulat, katanya. Lebih jauh, Diat bercerita bahwa lima naskah lakonnya ini, juga telah mengantarkan seseorang jadi doktor sastra di Universitas Indonesia, Jakarta. Orangnya bernama, M. Yoesoef, yang dalam penelitiannya (Juli, 2013) menyimpulkan bahwa, “Secara umum karya-karya Akhudiat itu memperlihatkan sebuah kolase dari keragaman bahasa, masyarakat, dan permasalahan sosial, budaya, dan politik yang dihadapi masyarakat pada tahun 1970-an. Diat merefleksikan kehingar-bingaran itu melalui interaksi orang-orang yang dipotretnya menjadi tokoh-tokoh di dalam kelima karyanya. Kelima karya Akhudiat tersebut menunjukkan adanya model baru pada penulisan sastra drama di era tahun 1970-an, terutama melalui ajang sayembara.”
Berangkat dari hal lima naskahnya yang telah diteliti mahasiswa S-2 itu pulalah, yang kemudian mendorong untuk kembali mencetak kelima naskahnya tersebut jadi satu buku. Dan terbitlah buku itu pada Desember 2014, bertajuk “ Antologi 5 Naskah Lakon Akhudiat” diterbitkan Pagan Press, Lamongan. Ironis memang, nama tokoh sebesar Akhudiat, yang domisilinya Surabaya, bukunya diterbitkan oleh percetakan di Lamongan.
Naskah Diat, Liar, Nakal dan Aktual
Membaca naskah-naskah lakon Diat, terasa kita akan mendapatkan sesuatu yang liar. Mengapa liar? Seperti dikatakan M. Yoesoef, bahasa yang digunakannya bermacam varian: Jawa, Indonesia, Inggris, terkadang Perancis, dan Belanda. Hal ini, adalah wajar, sebab Diat pernah mengikuti International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, USA, pada tahun 1975. Wawasan dan pengalamannya luas, seluas Rogojampi dan New York. Dialog-dialog tokohnya bisa berbahasa Jawa, Inggris, dan Perancis. Bahkan tokohnya, bisa orang kebanyakan semacam: ledek, tukang koran, pelacur, hansip, tukang becak, penjudi, wartawan, hingga sang juragan.
Jika bicara nakalnya, Diat sangat nakal dalam menulis naskah lakonnya dengan memasukkan unsur guyonan yang terkadang terasa cabul, tapi tak terasa apa-apa bagi penikmat/pembacanya. Sebab secara enak, dialognya para tokoh begitu mengalir dan cair. Seperti misalnya pada dialog lakon ‘Rumah Tak Beratap’ antara Andre (mahasiswa) dan Yu (ledek) berikut ini: YU: Dingin ya.. Mas? ANDRE: Mengangguk. YU: Mas nggak dingin? ANDRE: Hm-Heemm! YU: Mas dingin, aku kompornya! ANDRE: Hahhh? YU: Tapi bukan kompos gas, Mas. Elpiji. Saya sih L.X. (hal. 136).
Dalam naskah-naskah lakon Diat memang hampir semua menyuarakan masalah sosial yang ada di negeri ini. Terasa aktual pada zamannya, dan bahkan terkadang menyindir penikmat/pembacanya. Simak suara koor pada lakon ‘Grafito’ berikut ini: Kyai, kami memang punya rumah/Tetapi ayah ibu tak pernah sempat singgah/Cuma jongos babu yang ramah-tamah/Karena uang kami melimpah-ruah/Lalu ke mana harus pulang?/Selain begadang di jalan-jalan. (hal. 36).
Keaktualan lakon pada zamannya, juga terlihat pada lakon ‘Rumah Tak Beratap’ yang dalam dialog lakonnya bicarakan soal kode buntut. Di mana pada tahun itu (1974-an), sangatlah digemari masyarakat kebanyakan. Begitu pula, pada lakon ‘Jaka Tarub’ yang zaman itu sedang ramai baju long-dress dan tas ransel: tokohnya Jaka Tarub, berpakaian ala anak muda zaman itu, bawa tas cangklong ransel bagi pelancong. Sementara Nawang Wulan, berpakaian over-all bagian atas back-less.
Masih bicara naskah lakon Akhudiat. Saya dikenalkan naskah-naskah lakon Akhudiat, sewaktu masih kuliah (1978-an) di Fakultas Sastra – Sebelas Maret – Surakarta. Ketika itu, dosen mata kuliah teater modern, adalah Drs. Soediro Satoto, kini telah bergelar profesor doktor itu. Kata beliau, Akhudiat-lah yang pertama-tama membuat naskah lakon dengan mengusung lima adegan di satu panggung. Naskahnya adalah “RE.” Sungguh, suatu yang luar biasa hebat, tambah Soediro Satoto waktu itu. Ini, satu-satunya naskah lakon yang belum pernah ada di Indonesia, tiada tanding tiada banding, tandasnya meyakinkan! Imajinasinya melompat-lompat. Panggung diisi oleh lima tampilan adegan yang berdiri sendiri-sendiri. Hingar-bingar dan liar! Fantastis!
Diat dan Penggiat Teater Modern
Akhudiat, yang biasa dipanggil dengan Diat, lahir di Rogojampi, Banyuwangi, 5 Mei 1946. Jadi Dosen Luar Biasa pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, dan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya. Terakhir, naskah lakon terbarunya ‘Skolah Skandal’ dimainpentaskan ‘Sanggar Merah Putih’ Surabaya, November 2011. Menyedot penonton teater begitu banyak, lantaran lama Diat memang tak menggarap lakonnya.
Bagi penggiat teater modern Indonesia saat ini, adalah kurang lengkap, jika tak membaca buku naskah lakon ini. Ada naskah lakon yang hingar-bingar dan liar, serta luar biasa. Itu semua tulisannya Diat! Selamat membaca!
Desaku Canggu, 17/6/2015