Novel Orang-Orang Bertopeng (18)

Dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002

Teguh Winarsho AS

Fatma menutup pintu dan masuk ke dalam rumah ketika bayangan punggung Cut Hindar lenyap di tikungan jalan. Kini, Fatma baru sadar apa yang sebenarnya terjadi menimpa dirinya. Serta merta ingatan Fatma melayang pada peristiwa beberapa waktu lalu ketika Salman berkunjung ke rumahnya. Ketika itu Salman tidak bawa korek api. Salman meminjam korek api pada dirinya. Beberapa saat kemudian, ketika ia keluar membawa korek api, ngobrol-ngobrol sebentar, lalu mencicipi teh di atas meja, ia merasakan teh yang mestinya manis itu berubah sedikit asam seperti dituang cuka. Ketika itu ia berpikir, pastilah karena teh itu sudah terlalu dingin. Atau mungkin sudah kadaluwarsa.

Fatma juga ingat betapa di antara asap rokok yang menyembur dari mulut Salman ketika itu, yang begitu tebal dan kental, tampak mulut Salman bergerak-gerak komat-kamit seperti membaca sesuatu. Apalagi kalau bukan mantra pengasihan? Ah, kenapa aku jadi begini dungu? Rutuk Fatma dalam hati. Fatma menyesal telah membalas cinta Salman. Mestinya ia tak perlu tergesa-gesa. Tapi, entahlah, kejadiannya berlangsung begitu cepat. Begitu singkat. Ia tak sempat berpikir jernih. Tak sempat berpikir sehat. Kesadarannya seperti hilang. Lenyap.

Kini Fatma benci Salman. Benci sekali. Jika saja Salman tak menggunakan cara-cara licik seperti itu mungkin kebenciannya tidak terlalu berlebihan. Tapi, ya, tapi, beberapa hari lagi orang tua Salman akan datang melamar. Salman sempat menyinggung masalah itu ketika datang terakhir kali. Memang ia tak memberi jawaban pasti. Hanya diam saja. Tapi bukankah diam akan diartikan setuju oleh Salman? Fatma bingung. Pusing. Apalagi kedua orang tuanya terus mendesak dirinya agar cepat menikah. Apalagi orang tuanya sudah memberi lampu hijau pada Salman. Apalagi orang tuanya dan orang tua Salman diam-diam sudah sering ketemu membicarakan masalah pernikahan. Apalagi…

Fatma bertekad akan menceritakan kelakuan Salman pada Umi dan Abah. Tentang minuman teh yang berasa asam seperti dituang cuka. Tentang mulut Salman yang komat-kamit membaca mantra dan masih banyak lagi lainnya. Mungkin hanya itu satu-satunya cara untuk keluar dari perangkap yang dibuat Salman. Tapi tiba-tiba Fatma ragu apakah kedua orang tuanya percaya dengan ceritanya? Fatma sadar dirinya tidak punya bukti-bukti kuat.

SEBELAS

DI ATAS tempat tidurnya Fatma menggeliat perlahan lalu membuka kelopak matanya melihat jam dinding menunjuk pukul: 09.46 Wib. Sudah lumayan siang rupanya. Tapi Fatma enggan bangkit dari tempat tidur. Seluruh persendian tulangnya terasa sakit jika digerakkan. Semalam ia baru bisa tidur setelah terdengar adzan subuh. Pagi ini sebenarnya Fatma masih ngantuk berat. Tapi ketika mencoba memejamkan mata, kantuknya justru berangsur-angsur menjauh. Membuat Fatma jengah dan kesal. Membuat Fatma sangat tersiksa.

Fatma ingin tidur senyenyak mungkin. Sepulas mungkin. Selama mungkin. Sebab hanya dengan tidur ia bisa lepas dari bayang-bayang Salman yang semakin hari semakin menakutkan. Bayang-bayang Salman yang serupa hantu bangkit dari liang kubur dan terus menguntit dirinya ke mana pun pergi. Tapi, kini, tidur pun sulit sekali.

Malang tak dapat ditolak, untung pun tak dapat diraih. Mungkin pepatah ini sangat tepat untuk melukiskan kondisi Fatma. Hampir dua hari dua malam Fatma mengurung diri di kamar. Pintu dikunci rapat dari dalam. Abah sudah capek menyuruhnya keluar. Semua bujuk rayu mental. Kini Umi justru sibuk mengatur ruang tamu untuk menyambut kedatangan keluarga Salman sore nanti. Memang, hanya acara lamaran. Tapi menurut hemat Umi, ruang tamu itu perlu ditata lagi agar enak dipandang mata. Abah sendiri seperti biasa sibuk di ladang karena tampaknya musim hujan akan segera tiba.

Masih belum beranjak dari tempat tidurnya, tiba-tiba mata Fatma berkaca-kaca. Sejurus kemudian mulai terdengar isak tangisnya. Lalu air mata itu pun tumpah tak bisa dibendung lagi berleleran di pipi hingga membasahi bantal. Seandainya bisa bercerita, mungkin air mata itu akan bercerita banyak hal kenapa ia bisa tumpah dari kedua mata pemiliknya. Tapi air mata tidak punya mulut untuk bercerita. Air mata tidak punya lidah untuk bersuara. Ia hanya menjadi saksi bisu kesedihan Fatma.

Fatma terus mengisak larut dalam kesedihan. Fatma tidak tahu dengan cara apa ia bisa keluar dari perangkap yang dibuat Salman. Perangkap itu begitu kuat serupa tembok tebal. Fatma kini terkurung di dalamnya. Terkurung seperti seekor burung di dalam sangkar. Kesedihan dan kekecewaan terus menggerogoti hari-harinya. Kemarahan dan kebencian kian menumpuk semakin panjang. Apalagi jika ingat pertengkaran dengan Umi semalam. Pertengkaran yang cukup hebat. Pertengkaran yang seharusnya bisa dihindari. Tapi Umi lebih cepat meradang memaksa dirinya menerima lamaran Salman. Sore nanti.

Di antara isak tangisnya Fatma merutuki dirinya yang semalam tidak bisa menyakinkan kedua orang tuanya, terutama Umi, kenyataan bahwa ia tidak mencintai Salman. Bahkan membencinya. Cerita-cerita tentang minuman teh yang rasanya asam dan mantera pengasihan yang dibaca Salman untuk menaklukan hatinya dianggap Umi sebagai bualan dan omong kosong belaka.

“Umi sudah capek. Umi tak mau dengar lagi semua bualanmu itu. Cinta bisa tumbuh nanti kalau kamu sudah menikah. Ingat kamu harus menerima lamaran Salman! Jangan bikin malu di depan keluarga Salman. Camkan baik-baik itu!” Kata-kata Umi semalam kini masih mengiang-ngiang di telinga Fatma. Belum pernah Umi marah besar seperti ini. Fatma kawatir jangan-jangan Salman juga telah mengguna-gunai Umi. Ini bisa saja terjadi. Sebab bagaimana mungkin Umi tiba-tiba simpati dengan Salman? Bilang bahwa Salman orangnya ramah dan baik hati. Bilang keluarga Salman keluarga kaya dan terpandang. Bilang wajah Salman cukup tampan di banding pemuda-pemuda lain. Bilang Salman rajin dan ulet bekerja. Semua itu diucapkan Umi dengan mulut nyinyir seperti kerasukan setan.

Kecurigaan Fatma semakin kuat manakala Umi terus menyebut-nyebut nama Salman. Terus memuji-muji Salman. Membuat Fatma semakin jijik. Tapi ketika Fatma menyinggung masalah itu, Umi justru meledak. Matanya merah. “Kamu pikir aku bodoh sehingga bisa kena guna-guna, hah!”

“Umi tidak bodoh. Tapi Salman jauh lebih pintar dan licik….”

“Fatma, kau mulai berani, ya?!”

“Aku hanya ingin menyadarkan Umi. Apa yang Umi pikirkan tentang Salman salah besar.”

“Cukup! Aku tidak butuh nasehatmu!”

“Umi tidak sadar Salman telah membutakan hati Umi.”

“Jangan coba-coba menggurui. Aku tahu apa yang harus aku lakukan!”

“Apa yang akan Umi lakukan sangat melukai perasaanku.”

“Siapa bilang?! Aku ingin melihat kamu hidup bahagia.”

“Bahagia menurut siapa? Menurut Umi?”

“Kelak kamu sendiri yang akan merasakannya.”

“Aku tidak mencintai Salman. Bagaimana aku bisa bahagia?!”

“Sudahlah, Fatma. Aku tidak mau ribut-ribut lagi. Yang jelas kamu harus menikah dengan Salman. Titik!”

(bersambung)

***

2 Replies to “Novel Orang-Orang Bertopeng (18)”

Leave a Reply

Bahasa »