Novel Orang-Orang Bertopeng (4)

Dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002

Teguh Winarsho AS

Cerita-cerita itu sudah begitu melekat di telinga warga seperti melekatnya ingatan mereka pada maut yang setiap saat bisa datang menjemput. Tapi, sekali lagi, kampung Pegasing bukanlah seperti kampung-kampung itu. Paling tidak dahulu, jauh setelah peristiwa yang menewaskan Keucik Ibrahim dan Cut Leiha yang membuat warga kampung Pegasing harus berhati-hati dalam setiap hal. Tapi agaknya sekarang ada yang mulai berubah di kampung Pegasing. Menggelihat perlahan-lahan….

DUA

ULEGLE. 07.05 WIB.
PAGI belum terlampau terang lantaran cahaya matahari masih terhalang bukit. Tapi denyut kehidupan mulai terasa di sini bersama kicau burung bertenger di reranting pohon, dan bau ikan asin mulai menyebar dari dapur rumah penduduk ditiup semilir angin. Seperti hari-hari biasanya, pagi di Ulegle tidak ada yang istimewa. Beberapa laki-laki terlihat keluar rumah membawa cangkul dan sabit pergi ke ladang. Beberapa perempuan menjemur cucian di pagar rumah sembari meneteki bayinya. Anak-anak bermain di halaman dengan mata masih kuyu, sisa tidur semalam. Kehidupan memang seperti baru dimulai. Tapi sebenarnya mereka sudah melakukannya berpuluh-puluh tahun.

Berpuluh-puluh tahun mereka hidup menyatu dengan alam. Mencari berkah Allah yang terlimpah pada kesuburan tanah sawah dan ladang Ulegle. Tidak ada hari menjadi gelap dan suram jika tangan masih terentang meneteskan butir-butir keringat. Tidak ada hari menjadi lapar dan dahaga jika segenap keinginan dan harapan bergerak seirama kehendak alam. Mataa’allakum wa lian’amikum.

Gadis itu membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Pagi ini ia berharap bisa menemukan lempengan-lempengan cahaya matahari yang akan menghangatkan tubuhnya. Tapi agaknya ia kecewa. Menyesal. Matahari masih enggan menyapa dirinya. Pepohonan yang tumbuh di atas bukit sepertinya memang semakin tinggi dan rimbun saja, membuat pagi seolah berjalan lebih lama. Membuat pagi seolah enggan bertegur sapa. Tiba-tiba gadis itu baru sadar sudah tiga hari ia tidak membuka jendela kamarnya. Sejak pulang dari kota ia tidur bersama Umi di kamar depan. Kamar Umi tidak berjendela.

Masih berdiri di depan jendela, gadis itu melihat kesibukan orang-orang di jalan depan. Orang-orang kampung yang ramah dan bersahaja. Sesekali terdengar gelak tawa mereka yang polos dan nyaring, ditingkah celoteh bayi di gendongan yang baru mulai belajar bicara. Tiba-tiba ia merindukan suasana hangat seperti itu. Sudah lama ia tidak merasakannya. Mungkin sejak tiga tahun lalu ketika ia pergi meninggalkan Ulegle, tapi rasanya seperti sudah sekian puluh tahun. Kini kerinduannya begitu menghentak. Ia ingin menghambur keluar bergabung dengan orang-orang kampung; ngobrol, bercanda, tertawa dan berbagi rasa. Apalagi sore nanti ia mesti kembali ke kota.

Gadis itu segera beringsut dari jendela menghampiri cermin kusam yang menyatu dengan daun lemari di pojok kamar. Menyisir rambut sebentar di situ lalu meraih kerudung di atas sandaran kursi. Hati-hati ia meletakkan kerudung merah jambu di atas kepala lalu melilitkannya di leher. Lama ia menatap wajahnya di cermin, mematut-matut diri tersenyum kecil, — sebelum akhirnya perlahan-lahan menggerakkan kakinya keluar. Saat melintas ruang tengah, dari gordyn pintu yang tersingkap ia melihat Umi masih sibuk masak di dapur. Memang, beberapa hari sejak ia pulang Umi terlihat rajin masak. Pagi-pagi sekali Umi sudah bangun dan masak.

Berbeda dengan Umi, Abah dari dulu tidak berubah. Usai salat subuh dan mengajar mengaji sebentar di meunasah, Abah langsung berangkat ke ladang setelah sebelumnya ‘sarapan’ segelas kopi kental bikinan Umi yang menurut Abah tidak ada duanya di dunia. Sejak masih muda Abah memang seorang pekerja keras. Giat. Ulet. Jika ia bangun kesiangan, bisa dipastikan akan kehilangan kesempatan bertemu dengan Abah. Baru bisa ketemu Abah pada siang hari saat Abah pulang untuk salat dhuhur dan istirahat. Dan selama tiga hari berada di rumah, ia belum pernah ketemu Abah pada pagi hari. Ia selalu kalah cepat bangun dengan Abah. Apalagi saat ini ia sedang berhalangan shalat.

Baru saja ia menginjakkan kaki di halaman rumah, tiba-tiba Izah, teman waktu SD, datang dengan langkah buru-buru dan nafas sengal. Ia sempat kaget melihat kemunculan Izah. Sudah lama ia tidak ketemu dengan gadis itu. Izah kini terlihat matang dan cantik. Kabar yang dulu pernah ia dengar Izah akan menikah dengan seorang pengusaha dari Takong. Apakah Izah akan menyampaikan undangan pernikahannya? Ia membatin seraya menyongsong Izah dengan senyum hangat dan berpelukan.

Tapi tubuh Izah terasa dingin dan gugup. Ia bisa merasakan itu. Ia juga bisa merasakan tatapan mata Izah sayu seperti diselimuti mendung tebal. Kini, ia menduga bukan kabar menggembirakan yang ingin disampaikan Izah, melainkan kabar buruk. Tapi kabar tentang apa? Apakah Izah tidak jadi menikah dengan pengusaha dari Takong? Apakah Izah dipaksa orang tuanya menikah dengan laki-laki lain? Berbagai tanya memenuhi benaknya. Tapi ia berusaha tenang dan menampik segala pikiran buruk.

Ia segera mengapit lengah Izah dan mengajak duduk di kursi teras rumah. Jantungnya semakin berdebar-debar…

“Fatma, ini soal Hasan…” ucap Izah beberapa detik usai duduk. Pandangan mata Izah lurus menembus batang-batang pohong singkong di pekarangan depan. Raut mukanya memendam kesedihan.

Fatma terkejut mendengar ucapan Izah. Dalam hati Fatma bertanya-tanya, ada apa dengan Hasan? Baru tiga hari yang lalu Hasan datang ke rumah dan semuanya tampak baik-baik saja. Tapi kini Izah datang membicarakan soal Hasan dengan raut muka penuh kesedihan. Apa yang terjadi dengan Hasan?
Setelah menghirup nafas dalam dan mengeluarkannya perlahan-lahan, Izah memulai ceritanya…

(bersambung)

***

One Reply to “Novel Orang-Orang Bertopeng (4)”

Leave a Reply

Bahasa »