Sylvianita Widyawati
suryamalang, 9 Des 2018
Penulis Felix K Nesi (30) meraih kemenangan pada sayembara menulis novel 2018 yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta.
Sebelum kembali ke Nusa Tenggara Timur, dia mampir kampusnya, Fakultas Psikologi Universitas Merdeka Malang di Jl Terusan Dieng, Kota Malang, Jumat (7/12/2018).
“Saya diminta mampir ke Malang sama teman-teman. Malang ini seperti rumah saya sendiri selain NTT,” ujar Felix ketika berbincang dengan SuryaMalang.com di tangga gedung Balai Merdeka usai acara “Kak Felix Nesi Kami Paksa Ngobrol” di Teras Fakultas Psikologi Unmer. Ia merasa senang saja bisa kembali ke Malang.
“Di Malang ini enak. Kotanya sempit. Bisa dengan mudah bertemu dengan teman-teman komunitas seni,” jawabnya. Ia juga bisa bertemu Prof Dr Joko Suryono, Tengsoe, teman-teman di Kalimetro, Komunitas Pelangi Sastra atau di Art Galery di Jl Semeru. Koneksi-koneksi yang didapat di Malang sangat membantunya ketika ia membutuhkan saat di NTT.
“Teman-teman saya di Jawa membantu sekali. Misalkan saya butuh sesuatu seperti membelikan buku, saya bisa menelpon mereka. Dan mereka mau membantu saya,” kata Felix yang lulus dari Unmer pada 2017 lalu. Karena itu, ia merasa tak menyesali kuliahnya lama, tujuh tahun, namun banyak hal yang didapatkan di luar kampus.
Diakui saat jadi mahasiswa memang kurang begitu memperhatikan pendidikannya. Hal ini karena ia banyak “main” ke komunitas-komunitas. Sehingga kuliah S1 Psikologi diselesaikan tujuh tahun. “Sebab saya harus banyak memperbaiki nilai-nilai kuliah saya yang kurang,” akunya. Tapi IPK nya cukup bagus. Bisa di atas 3.
“Kalau kuliah 10 tahun, nilai IPK saya bisa 4 mungkin. Saya akan perbaiki nilai-nilai saya yang dapat B,” candanya. Sebelum kuliah di Malang, Felix sempat menjadi sekolah frater di Salatiga. Tapi kemudian mantap ditinggalkan dan pergi ke Jogjakarta. Ia ingin kuliah di psikologi.
Namun dirasakan biaya kuliahnya mahal. Dan kemudian ia menemukan informasi tentang kampusnya dengan harga terjangkau. “Saya tinggal di UKM karena tidak ada biaya buat bayar kos. Kadang juga ke teman-teman,” kata Felix. Tinggal di Malang membuatnya kerasan. Hawanya sejuk dan bisa kenal banyak orang dengan cepat karena kotanya kecil.
Usai lulus kuliah, ia ternyata sempat jadi guru bahasa di sebuah SMP di NTT. Statusnya guru honorer. Tapi hanya bertahan sebulan. Alasannya karena siswanya ramai saja di kelas saat ia mengajar. Ia tidak kembali mengajar setelah itu. Bulan ketiga, ia minta maaf pada pihak sekolah karena meninggalkan tugasnya. Padahal ia sudah tanda tangan kontrak.
Mengembangkan komunitas literasi, menjual buku dari penerbit indie dan menulis kini ditekuninya. Orangtuanya tak pernah menanyakan mengapa ia menekuni bidang yang tidak linier dengan pendidikannya.
“Tidak pernah. Orangtua saya mendukung banget. Kadang ibu memang telpon saya menanyakan apakah masih ada uang buat makan? Saya jawab ada,” ceritanya. Padahal dari menjual buku saja, marjinnya hanya Rp 150.000 per bulan. Sedang bayar kosnya Rp 300.000 per bulan.
Oh ya, Felix tinggal di Kupang. Kampung halamannya, tempat ayah ibunya tinggal jika ditempuh dengan kendaraan bus perlu waktu 8 jam karena medannya.
Terbiasa Menulis Tangan di Folio Bergaris
Ada hal unik dari Felix K Nesi. Pria yang mengaku sudah punya pacar menyatakan masih terbiasa menulis tangan di folio bergaris. Bukan langsung menuangkan cerita ke laptopnya. Ini karena saat kuliah ia tidak memiliki laptop. “Saya kalau langsung nulis di laptop malah bengong aja. Maklum orang desa,” paparnya.
Jadi, rangkaian cerita ia tulis rapi di folio itu. Harapannya jika ia meminjam laptop temannya tidak lama jika tulisannya sudah siap. Kadang ia juga ke wartel. Setelah jadi, tulisan dikirim ke media massa dan ia mendapat honor. Ia menceritakan tentang teman prianya bernama Uci yang memperhatikannya.
Dari awal meminjamkan laptop, ia dibelikan Uci laptop buat mendukung aktifitas menulisnya pada 2016. Sampai saat ini, kertas-kertas itu masih ada yang disimpannya. Terutama draft awal atau di bab 1. Dari tulisan tangan saat dipindah ke laptop kadang ceritanya jadi berkembang dari ide awal.
Setelah jadi, biasanya ia cetak lagi buat diedit. Ada juga kertas-kertas yang ia kilokan (diloakan) karena ia butuh makan karena tak memiliki uang saat kuliah. Kebiasaan menulis tangan dulu dilakukan sampai sekarang karena membuat ia bisa mengalir menulis cerita.
Tentang menulis, ia mengharapkan bisa terus melakukan. Meski kadang yang ia tulis ada juga yang macet. “Ada banyak folder tulisan gagal. Entah nanti saya teruskan atau tidak,” ungkap Felix. Karena ia tak mewajibkan tulisan harus semua jadi. Dalam proses menulis juga mengalir saja.
“Karena kadang saya juga tidak tahu tulisan saya ini jadi seperti apa. Kadang tiba-tiba jadi panjang,” paparnya. Saat ini, ia sedang menyelesaikan proses editing buat novel Orang-Orang Oetimo yang baru menang di sayembara di Jakarta baru-baru ini. Ia memutuskan akan menerbitkan lewat Marjin Kiri yang sejak lama diinginkan.
“Mungkin yang saya lihat semangatnya sebagai penerbit indie selain buku-bukunya bagus meski belum semuanya saya baca,” ujar putra ketiga dari enam bersaudara itu. Ia memandang menulis merupakan kegiatan aktualisasi dirinya.
Ia juga suka membaca buku-buku yang fungsinya memperkaya wawasan dan pemperbanyak kosa kata yang membantu dalam proses menulisnya. Karena itu membaca buku itu seperti orang makan. Apa yang dikeluarkan tergantung pada apa yang dimakannya.
Sementara itu, dari sayembara menulis novel yang diselenggarakan DKJ sejak 1975 itu akhirnya banyak menelurkan penulis-penulis baru dan penulis sastra terkenal seperti Ayu Utami, Seno Gumiro Aji Darma, Achmad Tohari dll. Dalam proses menulis novel, hal yang disebali adalah misalkan ketika tak tahu harus menyelesaikannya.
Dijelaskan dia, usai menang lomba itu, terasakan gengsinya naik. Ia menyatakan banyak yang mengirim WA ke dia, banyak penerbit datang. Namun jika selalu dipuji-puji, ia juga merass terganggu. “Saya khawatir harapannya terlalu tinggi pada tulisan saya. Bagaimana kalau tidak seperti yang dibayangkan?” Ungkapnya.
Orang pertama yang dikabari menang adalah ayahnya. “Bapak, saya menang,” cerita Felix. Hasil dari menang lomba, nilainya juga lumayan. Meski Felix jika bicara slengekan, dalam prosesnya menjadi penulis ia sangat serius. Bicaranya ceplas ceplos yang diakuinya kadang membuatnya berpikir jangan-jangan orang lain tersinggung?
Saat kembali ke kampusnya, banyak yang mengenalinya. Lucunya, sambil bicara di acara itu, jika di sebelah teras ada orang lewat, ia reflek melihatnya. Ini katanya terbiasa karena ia sering duduk di teras fakultas. Kadang juga disapanya “Selamat sore, Pak,” sapanya ketika ada seseorang lewat yang dikenalnya.