Parasite Sastra Taik Kucing: Sutardji ft. Maman, Enyah Kau!


Muhammad Yasir

Sastra Indonesia sudah rusak! Tetapi bukan lantas kita membiarkannya rusak begitu saja, karena kerusakan Sastra Indonesia tidak terjadi begitu saja. Ada individu atau kelompok, lembaga, dan sistem yang mendesain kerusakan itu demi kepentingan estetika individual atau kelompok dan kapitalisme perbukuan. Kerusakan ini semakin parah, ketika orang-orang yang melakukan klaim sebagai Pegiat Sastra (?), Penulis Sastra (?), Aktivis Sastra (?), Akademisi Sastra (?), Dosen Sastra (?) tidak memiliki kepekaan terhadap kerusakan Sastra Indonesia yang disebabkan oleh kealpaan mereka sendiri! Apakah mereka benar-benar mencintai Sastra Indonesia? Ataukah Sastra Indonesia terlalu murah dan rendah sehingga setiap orang bisa menjadi apa saja yang mereka inginkan tanpa perlu susah-payah berjuang menyelamatkan Sastra Indonesia? Atau mungkin keuntungan-keuntungan dalam Sastra Indonesia harus dijaga, sekali pun keterpelacuran intelektual individu atau kelompok menjadi pilihan satu-satunya? Tidak ada jawaban untuk pertanyaan ini, karena orang-orang lebih doyan berbelasungkawa untuk seorang atau dua orang Sastrawan yang meninggal dunia daripada menyelamatkan Sastra Indonesia yang membuat mereka jadi Sastrawan itu! Dan pagi ini, aku terpaksa meninggalkan pekerjaanku menata buku di Toko Buku Dalam Gang, Surabaya, demi membaca satu tulisan kolot tentang hubungan pertemanan dua orang yang biasa-biasa saja, tapi sesungguhnya terkandung pembodohan di dalamnya.

“Sepuluh Pesan Sutardji” begitulah tajuk tulisan kolot karya Maman S. Mahayana; salah satu orang yang berjasa atas lahirnya buku Pembodohan Sejarah Sastra Indonesia, “33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh” yang dibuat seorang Filantropis, Denny JA(NCUK). Karena komitmen Maman S. Mahayana di dalam Sastra Indonesia buruk, maka tidak salah jika dia membuka tulisan kolotnya ini seperti mahasiswa Sastra Indonesia semester satu yang diberikan tugas menulis esei sastra. Perhatikan dua paragraf pertama ini: “Mengawali perbincangan tentang “Sepuluh Pesan Sutardji,” saya kutip terakhir Kredo Puisi Sutardji Calzoum Bachri (SCB) yang bertarikh 30 Maret 1973, hampir setengah abad yang lalu. [1] -> “Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata pada awal-mulanya. Pada mulanya–adalah Kata. Dan Kata Pertama Adalah Mantra. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantra.” Jika Maman benar-benar seorang intelek sastra yang cerdas, harusnya dia merombak pernyataan bodoh Sutardji yang dia kutip. Sejak kapan “Kata adalah Mantra”? Bukankah, dalam ilmu linguistik, telah dijelaskan bahwa kata lahir dari interpretasi individu terhadap suatu objek, subjek, benda, suasana, dan seterusnya yang kemudian disepakati oleh kelompok mereka?! Bukankah, “mantra” terbentuk setelah lahir kata-kata yang disepakati?!

Namun bukannya memberikan gambaran bagaimana proses “Kata adalah Mantra” seperti menjadi poin penting tulisannya, Maman malah terjebak dalam pola pembodohan yang dilancarkan Sutardji untuk birahi estetikanya. Karena itu pada paragraf berikut ini, tampak bahwa Maman tidak politis dalam menulis. Melainkan apolitis dan cenderung memberhalakan Sutardji. Baca paragraf ini dengan seksama: “Wilayah mantra–ternyata lagi, jauh lebih luas. Masyarakat di belahan dunia mana pun, punya mantranya masing-masing. Berbeda dengan pantun yang cenderung hadir menyelinap antara kegiatan sehari-hari, mantra punya dimensi vertikal dan horizontal. Dalam hubungan dengan penguasa jagat raya, dunia supranatural, dan kekuatan gaib, mantra terhubung dengan perkara sakralitas, maka ia bersifat sakral, khas, dan unik. Diyakini juga mengandung dan mengundang kekuatan magis. Dalam konteks ini, mantra hanya dapat dibacakan orang-orang tertentu, tokoh-tokoh pilihan masyarakat yang dianggap punya kemampuan dan kesaktian. Jadi, tidak setiap orang boleh membacakan mantra yang sakral. Lantaran mantra itu disampaikan sebagai media komunikasi dengan makhluk entah-berantah, maka banyak kosa kata dalam mantra itu tidak dapat dipahami maknanya.”

Jenis paragraf apa yang ditulis Maman ini? Apa ide atau gagasan yang ingin dia sampaikan? Betapa jeleknya paragraf dari seorang yang menjual dirinya ke Denny JA ini! Untuk paragraf ini, aku membaca berkali-kali untuk mencoba menemukan poin pentingnya. Tetapi, nihil. Aku hanya menemukan kejujuran bahwa Maman memberhalakan Sutardji yang disembunyikannya dalam paragraf itu. Kenapa dalam tulisannya, Maman tidak berani menyandingkan Puisi Mantra norak karya Sutardji dengan Mantra sesungguhnya?! Apa dia hanya tipu-tipu saja agar tampak intelek sebagai seorang Kritikus Sastra? Atau, dia pemalas?! Untuk pertanyaan ini, aku akan coba menyandingkan “Tragedi Winka dan Sinkha” karya Sutardji yang diklaim orang-orang aneh sebagai “Tragedi Pernikahan” itu dengan salah satu mantra milik leluhurku (Bangsa Dayak) bertajuk “Mohing Asang” atau “Genderang Perang” jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia.

Puisi Tragedi Winka dan Sinkha:

Kawin/kawin/kawin/kawin/kawin/ka/win
Ka/win/ka/win/ka/win/ka/win/ka/win/ka/winka
Winka/winka/sihka/sihka/sihka/sih
Ka/sih/ka/sih/ka/sih/ka/sih/ka/sih/ka/sih
Sih/sih/sih/sih/sih/ka/ku

DI MANA SAKRALITASNYA, MAMAN?! Tipu-tipu saja kau! Klaim bahwa puisi ini menggunakan pola zig-zag, benar. Akan tetapi inikah puisi mantra atau kata adalah mantra itu?! Oh Tuhan, betapa bobroknya kau dan para pemuja kalian! Coba kau baca, kau resapi, dan kau dengarkan bagaimana “Mohing Asang” ini:

Mohing bola ta mohing
(Kalau pulang, biarkanlah mereka pulang)
Mohing naing manok, lewe weung…
(Sudah nyaring kokokan ayam kampung itu)
Boso boko hang a boso
(Entah kenapa aku harus kembali)
Boso naing aping, tingang
(Karena burung enggang sudah bersuara)

Neng, neng, neng, neng, neng…
(Suara burung enggang)

Hawoi homat tak a hawoi
(Ingin aku memberi hormat tapi tidak kutahu pada siapa)
Hawoi neko kolo, hambong
(Ingin aku berbalik tapi bagaimana aku sudah terlanjur)
Ngindoko o mandau sipet, t’lawang, damek, neko tuntang, telep
(Kuambillah mandau, sumpit, perisai, dan anak sumpitnya)
Tejep pono pangkih siipet neng… neng, neng…
(Tusuk, bunuh, tebas, dan sumpitlah)

Kuberitahu kau, Maman. Mantra ini akan dinyanyikan oleh panglima perang Bangsa Dayak, terkhusus Dayak Ot Danum di Kalimantan bagian Tengah. Bila mantra ini dinyanyikan, setelahnya akan terdengar selentak tujuh kali. Dan, itulah tanda kami harus menyerang. Jadi, Maman, hentikan manipulasi pengetahuan tentang kata dan mantra yang kau lancarkan yang sesungguhnya hanyalah pemujaanmu kepada Sutardji belaka. Jangan membohongi orang-orang bodoh dengan permainan kuasa pengetahuan! Jangan pula membuatku melihatmu seperti melihat tissue toilet yang fungsinya hanya membersihkan kotoran manusia! Jika ingin berbohong, silakan. Tetapi, kau tidak akan selamanya melakukan itu. Jika ingin memberhalakan sesuatu, berhalakan. Tetapi, jangan ajak orang lain atau pengikutmu dengan tulisan jelek sok intelek itu! Pergilah sendiri dengan ide dan gagasan keterpelacuranmu. Bukankah Denny JA(NCUK) masih membuka pintu lebar-lebar untukmu dan parasite sastra lainnya. Mak, enyahlah kau dan berhalamu itu!

Surabaya, 2021.

Link terkait: https://pustakakabanti.wordpress.com/2021/08/24/sepuluh-pesan-sutardji-2/

One Reply to “Parasite Sastra Taik Kucing: Sutardji ft. Maman, Enyah Kau!”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *