Taufiq Wr. Hidayat *
Pada suatu petang, jalanan itu telah ditinggal pergi sang penyair. Bersama tasnya yang kumal. Celana, baju kusut. Rambut yang panjang yang tak pernah dipotong atau diatur oleh kekuasaan. Ia pergi. Akan ke mana. Entah. Lampu-lampu. Dan bunga-bunga ungu merekah. Langkah demi langkah. Kemudian tak tahu lagi ke mana langkah akan dibawa, meninggalkan luka hati, dan kerinduan panjang yang tak terjelaskan.
Kereta biru. Orang-orang gagu. Wabah menyerbu kotamu. Jalanan sepi. Seperti di dalam hati. Tapi lampu-lampu dipadamkan. Orang meraba keadaan. Rumah-rumah. Jalanan kota. Kegelapan. Lorong hitam. Penyair Matjalut melangkah. Ke pinggiran kota. Rumahnya. Sebuah perumahan tepian, tipe 21. Tipe rumah yang tak dikerjakan lagi. Itu pun rumah warisan. Dan hanya dia yang menempati. Sendiri. Dengan halaman yang kotor. Lantai yang jarang disapu. Dan lampunya yang redup. Buku-buku. Seperti sebuah tempat persembunyian di pedalaman keterasingan. Pengangguran. Buntu. Tak bisa hidup dari puisi. Tak banyak orang membaca puisi, apalagi membeli puisi. Penyair Matjalut memasuki rumahnya, bagai memasuki lorong yang sepenuhnya gelap di dalam dada sendiri. Pintu yang lapuk. Dan lampu yang tak cukup terang menerangi buku puisi-puisi.
Di atas kasurmu yang lembab, kau berbaring. Penyair Matjalut mengenangkan masa lalu. Masa ketika memakai baju SMA. Atau ketika membaca puisi di sebuah universitas swasta. Wajah-wajah datang, wajah-wajah pergi. Kehilangan-kehilangan. Dan malam yang mengental. Dibukanya android. Tak ada paket data. Melihat-lihat foto atau video yang sempat tersimpan. Kemudian menyalakan sebatang rokok. Bangun. Direguknya kopi yang sudah dingin. Angin bulan Agustus. “Masih adakah pahlawan hari ini?” pikirnya. Tak ada perayaan. Orang-orang dicekam wabah. Negara menciptakan jarak dan menutup wajah supaya tak tertular, dan cuci tangan supaya bersih dari virus. Bukankah sejak dulu negara selalu menjaga jarak dengan warganya? Bukankah sejak dulu negara selalu menutup wajah di hadapan pengadilan kenyataan? Dan bukankah sejak dulu pula negara selalu gemar cuci tangan di tengah keributan? Begitu tanya Penyair Matjalut. Tapi pertanyaan seorang penyair, apatah gunanya? Tak ada orang meminta nasehat atau pendapat seorang penyair untuk menghadapi dan mengatasi wabah, apalagi membangun masa depan negara atau sebuah bangsa. Ia pun tersenyum sendiri ketika sebuah fotonya yang nyaris seperti orang gila tampak pada layar androidnya.
Hatinya patah. Karena hati Penyair Matjalut itu berbentuk panjang. Tak berbentuk gumpalan, sehingga tak mungkin diremuk-redamkan. Kemalasan-kemalasan. Janji yang percuma. Hutang-piutang. Tagihan-tagihan. Hingga pada suatu petang, gamang, dan menghilang. Simpang lima pada kotamu, dihuni hantu dan keranda. Jalan ke pusat kotamu pun ditutup agar tak banyak orang lewat lalu menularkan virus lewat udara. Lampu-lampu dipadamkan. Diingatnya mata sang perempuan pujaan hati. Seperti mengenangkan kedua mata seorang pemberontak yang ketakutan dikejar negara. Pemberontak itu menjatuhkan sehelai tali rambut kanak-kanak di tepi jalan itu. Tali rambut milik anak perempuannya yang masih balita yang kelak akan menjadi remaja, bersekolah, dan dewasa. Sang pemberontak kebingungan, kedua matanya memancarkan cahaya ketakutan yang sangat dalam, cemas, dan putus asa, menyimpan harap yang tak berdaya. “Tolonglah saya, Tuan,” ujarnya lirih. Tapi segala jalan keluar telah dijaga. Dia sudah terkepung. Seperti hati seorang pecinta, terkepung wajah kekasihnya, dan terkepung rasa kehilangan. Pemberontak itu memberikan senyum terakhir kali di ujung pintu keluar, sebelum petugas negara berhasil meringkusnya. Dan di tikungan, mobil negara yang meringkusnya itu menghilang. Tak pernah lagi datang.
Bawah pohon beringin, sebuah bangku. Stasiun kereta yang gelap di masa-masa yang gagap. Seperti menerka duka. Gelisah pertanyaan. Ketika segaris senyum, menentramkan segala kecemasan dalam ancaman segala kesempitan. Melewati malam. Perjalanan-perjalanan panjang dan melelahkan. Puisi-puisi tergeletak sendiri di dalam ketakmungkinan. Seperti kesetiaan. Penyair Matjalut mendesah, di bawah lampu rumahnya. Meja kuno. Sebuah pena. Buku tulis. Dan asap tembakau. Kata selalu terpukau pada engkau, pada daun-daun bakau yang menyentuh risau. Penyair Matjalut melihat pengumuman lomba menulis puisi, festival-festival sastra, dan ruang-ruang mewah suatu pertemuan. Ia melihat penyair-penyair membacakan puisi di panggung agung, dengan lelampu, dan meja yang bisu. Orang-orang tertawa. Sesekali tepuk tangan. Namun suara penyair-penyair itu meledak di dalam gemuruh perlombaan, festival, dan sebuah lampu ruangan yang tak mungkin dibeli oleh seorang penyair jembel sepertinya seumur hidup. Penyair Matjalut tak pernah mengikuti lomba, baginya puisi bukan untuk diperlombakan. Bukan difestivalkan seperti akrobat. Dan penyair bukan yang menikmati kemewahan di atas wabah penderitaan. Itu bagi Penyair Matjalut. Orang tak perlu mendengarkannya. Ia hanya penyair gagal, bukan penyair festival, bukan penyair perlombaan, bukan penyair yang gagah di dalam pertemuan-pertemuan bergengsi. Ia cuma penyair sosial media. Sesekali menuliskan puisi pada status Facebook, sekadar menguraikan isi hati. Hingga bertahun-tahun kemudian, puisi-puisi pada status Facebooknya itu hanya di-like oleh dirinya sendiri dan sebuah akun yang tak lagi bertuan.
Di dalam kepalanya tagihan-tagihan. Jalan pulang yang terbenam-benam. Jalan aspalan yang meletus-letus. Para penyair, para sastrawan, dramawan, dan entah siapa lagi, di situ tersipu menjabat tangan menteri di tengah pandemi. Mereka tidak patuh pada protokol kesehatan, gerutu Penyair Matjalut. Ia menulis pun sebuah puisi, menumpahkan kekesalan waktu ke dalam keabadian, atau yang katanya mengabadikan—yang entah apa, yang nantinya akan hilang. Itu puisi yang tak pernah ikut lomba dan festival.
“Di manakah dikau, Kekasihku? Bulan-bulan meleleh dalam dadaku, entah yang keberapa-ribu kali sudah. Lautan anak-anak gelombang. Di hadapan lobang-lobang hitam, dan kematian yang dirayakan. Di sana ada virus, Kekasihku, Covid 19 namanya. Tapi yang tengah mewabah adalah ketertindasan, ketakberdayaan, dan kepatuhan yang melumpuhkan tulang-belulangku. Di manakah dikau, Kekasihku sayang? Yang senyummu tak pernah terbuang, yang aroma tubuhmu tak kunjung hilang di dalam kenang. Jangan senyummu terkena virus. Jangan jiwamu tertindas batas dari duplikat, dari kuasa yang berkarat. Di dalam hari-hari kelam yang gawat, bayangmu selalu memikat. Aku terbakar kesunyian. Kesunyian dari kesendirianku tanpamu, Kekasihku!”
Penyair Matjalut membacakan puisinya itu. Tak ada yang mendengar. Sendiri. Ia pun enggan menayangkan rekaman video di YouTube. Instagramnya penuh foto-foto bercocok tanam bibit-bibit buah. Rumahnya darurat. Kekasihnya hilang entah ke mana. Pergi bersama kereta malam, meninggalkan bangku stasiun lama dan pohon beringin yang tua. Dan tak kembali. Tak ada WA. Tak ada nomor rumah. Tak ada akun sosial media. Lenyap. Senyap. Hati yang panjang itu pun kembali dipatahkan. Kepedihan yang jauh di kelam lembah, yang tak dapat dijelaskan ketika malam tiba, tatkala lampu-lampu kota dipadamkan oleh negara.
Tembokrejo, 2021
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.