Catatan Perjalanan menuju Festival Seni Multatuli 2019
“Namun, mereka akan berhemat di Lebak. Dan, mengapa tidak? Di desa yang tidak beradab semacam itu kau tidak akan melihat gadis-gadis di jalanan yang hanya punya sedikit kehormatan untuk dijual demi mendapatkan sedikit makanan. Di sana, kau tidak akan menjumpai orang-orang yang hidup dari pekerjaan yang problematis.” (Multatuli, “Max Havelaar”, 2016: 149—150).
Mungkin dalam melihat kutipan tersebut, kalangan strukturalis mengidentifikasi Lebak sebagai tempat imajiner! Namun, bagi kalangan poskolonialis, tentu sebutan itu tidak sekadar latar imajiner, tetapi sebentang diskursus tarik ulur kuasa—pengetahuan, karena dalam perjalanan waktu, Multatuli dan Max Havelaar kuyup dengan guyuran poskolonialitas. Nah, dalam diskursus pos(kolonialisme) itulah saya melakukan muhibah ke Lebak, Banten, pada 11—12 September 2019. Sebuah perjalanan tidak hanya fisik semata, karena dalam menempuhnya saya berbekal dua novel yahud tentang dunia kolonialisme di Indonesia, yaitu Max Havelaar dan Bumi Manusia, yang dari perjalanan itu pula memekarkan kembang-kembang puisi.
Sebermula dari adanya ‘call paper’ di laman Festival Seni Multatuli 2019, wabilkhusus Simposium Membaca Ulang Max Havelaar saya mengirimkan intisari gagasan ihwal perbandingan Max Havelaar dengan Bumi Manusia, sesuai batas tenggat asbtrak pada 15 Juni 2019. Saya berencana membandingkan kesadaran ruang kolonial yang berbeda antara latar Max Havelaar dan latar Bumi Manusia, meskipun keduanya sama-sama dibingkai pada latar waktu kolonial. Saya menyanding-bandingkan kedua novel itu dengan beberapa pertimbangan.
Pertama, Max Havelaar merupakan warisan sastra Belanda, dikarang oleh Multatuli atau Eduard Douwes Dekker (1820—1887), seorang asisten residen di Lebak. Pertama kali dicetak pada 1860 dalam bahasa Belanda, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, lalu ke dalam bahasa Indonesia. Terdapat beberapa versi terjemahan dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan penerbit berbeda. Banyak ahli memberi label novel ini sebagai novel yang antikolonial, dan disejajarkan dengan novel Uncle Tom’s Cabin (1852) karya Harriet Beecher Stowe yang turut andil dalam menghapus perbudakan di Amerika Serikat. Bahkan, Pramudya Ananta Toer melabeli novel tersebut sebagai pembunuh kolonialisme (New York Times, 18 April 1999). Banyak pendapat tentang novel ini dan sebagian besar memang terkait perihal kolonialisme di Indonesia, bahkan ada yang mengaitkannya tentang tanam paksa dan munculnya politik etis.
Kedua, Bumi Manusia ditulis Pramudya Ananta Toer (1925—2006), sastrawan terkemuka Indonesia, ketika ia diasingkan di Pulau Buru sebagai tahanan politik. Terbit pertama tahun 1980 oleh penerbit Hasta Mitra Jakarta dan dinyatakan sebagai bacaan terlarang oleh Orde Baru. Meski dilarang pemerintah, tetapi kajian terhadap novel tersebut melimpah, sebagaimana Teeuw, Anderson, dan lainnya. Adapun pasca-Reformasi 1998, cukup banyak kritikus sastra lain yang membahasnya. Novel ini dianggap sebagai novel poskolonial paling berhasil, dengan mengambil model ‘biografis’ tokoh Tirto Adhi Soerjo (1880—1920), tokoh perintis pers dan tokoh kebangkitan nasional kelahiran Blora, sebagai bahan penulisan, dengan menyajikan narasi pembentukan Indonesia, meskipun ada pendapat yang menyatakan bahwa Indonesia tidak hadir dalam Bumi Manusia (Lane, 2017).
Ketiga, adanya kesadaran ruang kolonial yang sama dan berbeda di antara kedua novel tersebut. Inilah kata kuncinya.
Akhirnya, dalam pengumuman penerimaan abstrak tanggal 22 Juni 2019, abstrak saya diterima di antara 15 abstrak lainnya, di luar empat pembicara utama —menurut panitia, yang ngirim abstrak berjumlah ratusan. Ehm. Artinya, saya mendapatkan kesempatan untuk mempresentasikan temuan saya terkait dengan perbandingan dua novel yang antikolonialisme dan antifeodalisme tersebut. Meskipun untuk menyelesaikan ‘paper’-nya nanti harus berjibaku dan babak-belur karena bertabrakan dengan beberapa jadwal yang tak dapat diundur.
Adapun saya tertarik mengikuti acara simposium tersebut, karena beberapa hal: (1) secara keilmuan, saya seperti mudik ke kajian sastra modern (2) para pemakalah yang lolos dapat beberapa fasilitas, salah satunya honor, karena beberapa acara serupa seringkali malah menarik biaya dari pemakalah dalam mempresentasikan buah pikirannya (3) saya mendapatkan pengalaman pertama ke Lebak, Banten, meskipun saya juga pernah ke Banten, terutama Banten kota dan kampung Badui, tetapi momennya jelas berbeda. (4) saya lupa. Hmmm. Sungguh, sejak penerimaan abstrak itulah, sejatinya perjalanan saya ke Lebak dimulai.
Yeah, karena itu juga, saya membaca novel Bumi Manusia lagi. Saat itu bertepatan dengan booming novel karya Pram itu diangkat ke layar lebar oleh Hanung Bramantyo dengan bintang utama Iqbal Ramadan sebagai Minke, Mawar Eva de Jongh sebagai Annelies dan She Ine Febrianti sebagai Nyai Ontosoroh. Sebagaimana yang sudah saya sitir di awal, pembacaan saya pada Bumi Manusia ini memang dalam rangka. Meskipun dalam rangka dan entah untuk yang ke berapa saya membacanya tapi saya menikmatinya.
Dari pergulatan yang dimulai dari Juni–Juli 2019 menerbitkan berbagai hal dari pembacaan ulang saya pada Bumi Manusia. Repotnya, saya semakin tergila-gila pada Nyai Ontosoroh. Sayangnya, sang nyai tidak mampir dalam puisi malam-malam saya, melainkan Minke. Sosok Minke membayang dari waktu ke waktu, dari ruang ke ruang. Ia kadang hadir sebagai diri saya, kadang ia terasa sangat dekat, tetapi kadang juga sangat jauh.
TAK ADA MINKE DI HINDIA
1/
di bawah gerimis, di bawah nol derajat celsius, ia membuka sekoper dokumen hindia khusus. ia tak hanya menemukan jaring laba-laba di antara lipatan kertas, waktu nan tumpas, dan ingatan-ingatan masa lalu yang membekas. ia mulai mengeja aksara demi aksara serupa membaca nisan tua, dengan epitaf yang telah berlumut dan terhapus pergantian musim dan cuaca. ia merasa dikurung kabut gaib nan wingit —yang membuatnya ingin lekas bangkit dan lari terbirit-birit, kerna ia tak menemukan diri sebagai manusia di bumi yang dipijaknya. ia merasa sejarah telah menghapus namanya dan yang tersisa hanya angka-angka.
2/
ia hanya ingat seorang di hindia: minke —tapi ia tidak dapat menemukan rautnya nan tropis, bajunya nan indies, dan sorot matanya yang rindu annelies. ia terus berjalan di koridor sekolah, pasar, dan mal. dari kranggan hingga wonokromo. dari batavia hingga suroboyo. ia tak berhenti mencari tokoh yang kokoh di kepalanya. tapi ia hanya menemukan parade manekin berjajar di balik kaca etalase. mereka berjas, berjeans, dan mengenakan t-shirt. ia pun berhenti di tepi, menatap kaki langit sepi: “di ujung bumi mana, kau terbit, minke?”
3/
minke
mungkinkah dolly dulu
hanya sepetak dunia
di luar peta
terkutuk
sepi & luka
Siwalanpanji, 21 Juli 2019
Sebagaimana yang sudah saya singgung, karena dalam rangka festival untuk ‘uri-uri’ yang dalam bahasa mbois adalah membaca ulang Max Havelaar, saya pun membandingkan Bumi Manusia dengan Max Havelaar, karya Multatuli —sebagai bahan kajian wajibnya. Sebenarnya, kajian film Saijah dan Adinda juga disilahkan, tapi karena saya tidak melek film, saya memilih novel saja.
Ini adalah keikutsertaan saya pertama di acara Festival Seni Multatuli yang sudah kurang lebih empat kali digelar kawan-kawan Banten. Saat panitia menjaring abstrak atau call paper dengan pembicara utama empat orang ahli Max Havelaar (dan saya mengenal dua di antaranya), saya mengajukan abstrak dengan kajian bandingan. Memang, kajian bandingan kedua novel tersebut sudah ada, tetapi saya menggunakan cara pandang dan fokus yang belum digarap pemerhati sastra yang lain.
Oleh karena itu, setelah Bumi Manusia, saya pun membaca Max Havelaar. Namun, terus terang, berbeda dengan Bumi Manusia yang saya baca lebih dari satu kali, saya membaca secara tuntas-tas Max Havelaar baru tahun ini. Sebabnya sederhana: saya patah hati pada novel itu tepat pada pandangan pertama. Hal itu karena sesungguhnya saya sudah mulai membaca Max Havelaar waktu duduk di dampar SMA. Tapi, saya merasa kesulitan menembus barikade narasinya pada halaman-halaman awal. Biasalah, anak kampung. Akhirnya novel itu saya tinggalkan, lalu memilih novel lain yang lebih berterima di otak saya yang dangkal.
Pada tahun 2000, saya mendapatkan buku Max Havelaar di loakan —terjemahan HB. Jassin. Saya berusaha membacanya lagi, tapi lagi-lagi merasa tidak nyaman —apalagi soal-soal poskolonial belum menjadi salah satu minat, meskipun saya sudah membaca ulasannya, baik oleh Soebagyo Sastrowardoyo, Teeuw, dan lainnya. Ketika berniat kuat membacanya pada 2001, buku tersebut sudah ‘dibaca’ oleh rayap.
Yup, karena itu, saya berterima kasih kepada panitia Festival Seni Multatuli —yang berhasil memaksa saya untuk membaca Max Havelaar secara tuntas, meskipun dari versi terjemahan baru, terbitan Qanita (Mizan) cetakan tahun 2016. Sebenarnya saya ingin merunutnya dengan membandingkannya dengan terjemahan HB Jassin (kalau tidak salah diterbitkan Djambatan/Balai Pustaka) dan yang terbitan Narasi, tapi karena waktunya begitu mepet —seperti remaja ngebet kawin— akhirnya keinginan itu masih berupa keinginan.
Alhamdulillah, akhirnya paper selesai, meskipun agak sedikit melampaui tenggat pada 15 Agustus 2019. Hasilnya, saya menemukan ada perbedaan kesadaran ruang kolonial yang krusial di antara Max Havelaar dan Bumi Manusia , baik latar belakang pengarang, produk zaman, dan ruang geokulturnya. Perbedaan itu perlu diunggah karena dengan ngehits-nya teori poskolonial, ada anggapan bahwa kolonialisme/imperialisme dianggap homogen. Padahal kolonialisme itu berlangsung secara berbeda tergantung pada susunya, eh ngelantur. Tergantung pada bangsa yang menjajah, karena bangsa-bangsa Eropa memiliki corak berbeda dalam menyedot negeri jajahan, termasuk di beberapa kawasan di Indonesia —yang memang memiliki kesejarahan lokal-kolonial berbeda.
Soal susu tadi, ehm, saya klaim sebagai strategi pengarang Bumi Manusia mengkontruksi ruang kolonialnya. Lebih tepatnya adalah keberadaan ‘sapi perah’ di peternakan Herman Mellema untuk menghasilkan pasokan susu bagi kalangan Belanda/Eropa di Surabaya —yang terbiasa nyedot susu di negeri asalnya. Saya juga mengklaim bahwa strategi pengarang Max Havelaar alias Multatuli mengkonstruksi ruang kolonialnya adalah dengan menggunakan kerbau. Bagaimana persisnya, lalu bagaimana operasional metodologisnya? Hmmm. Makalah itu sudah dibukukan dan diterbitkan oleh panitian festival bersama dengan pembicara dan pemakalah yang lain dengan judul “Membaca Ulang Max Havelaar”. Sebuah buku yang ciamik, yang tersusun dari hasil telaah beberapa penulis dengan latar belakang dan disiplin keilmuan yang berbeda.
Saya masih ingat, ketika paper selesai, saya pun membuhulnya dalam beberapa larik puisi pendek. Saya memberinya judul “Mc Laren”.
MC LAREN
di meja belajar, di antara tumpukan bumi manusia dan max havelaar, ia tahu, ada tokoh yang abadi:
sang makelar
seksi
Siwalanpanji, Agustus 2019
Alhasil, pada Rabu, 11 September 2021, saya berangkat ke Lebak. Hmmm. Padahal tanggal 11 tersebut acara dimulai. Pertimbangannya, jadwal saya maju ke tampil pada Kamis, 12 September. Saya harus menyesuaikan dengan patokan ongkos perjalanan, yang hanya untuk dua hari menginap. Jika saya berangkat tanggal 10, maka setelah presentasi harus langsung cabut dan harus sampai di Surabaya pada hari itu. Namun, jika saya berangkat tanggal 11, setelah presentasi tanggal 12, saya masih dapat bernafas! Pilihan yang sama-sama berisiko. Akhirnya saya memilih tanggal 11, dengan risiko dimungkinkan tidak dapat menyaksikan acara pembukaan dan suguhan para penyaji pada tanggal 11 September.
Saya berangkat dengan pesawat dari Bandara Juanda dan turun di Bandara Soetta, Jakarta. Dari bandara saya naik bus kota Damri jurusan Rangkas Bitung. Sesampainya di terminal Rangkas Bitung, saya oper angkot dengan tujuan lokasi acara digelar. Namun, ternyata saya diturunkan di terminal Lebak. Angkot tidak dapat menjangkau lokasi karena ada penutupan jalan. Akhirnya, dari terminal tersebut saya ngojek menuju lokasi. Hmmm. Sebuah perjalanan yang lumayan panjang dan melelahkan secara lahiriah, tetapi mengesankan secara batiniah.
Seperti yang saya prediksi sebelumnya, saya bakal telat pada acara sesi utama dan pembukaan, ternyata memang demikian adanya. Sesampai di lokasi acara di Museum Multatuli, hari sudah beranjak sore, suasananya pun sudah sepi, tinggal pameran di depan museum dan beberapa kegiatan tidak terkait Festival Seni Multatuli. Padahal para penyaji utamanya keren-keren, di antaranya Peter Carey, Mas Yusri Fajar, Lisabona Rahman dan Ruth Indiah Rahayu.
Akhirnya, saya pun nongkrong di depan museum, sendiri. Saya duduk di atas kursi dan bangku yang terbuat dari fosil kayu. Sebagai pegandrung akik, saya merasa tempat duduk, sekaligus meja, di sana begitu mewah. Ketika ada penjaja kopi instan lewat, saya pun memesannya, meskipun gelasnya dari plastik putih. Saya pun memandang cakrawala Lebak menjelang senja, sambil ngudud dan ngopi. Pada saat itulah, puisi hadir menyapa saya.
DI LUAR MUSEUM
1/
ketika senja, ada yang membaca talkin di atas bumi rangkas, serupa peziarah dekil mendaras sejarah ringkas.
‘bilakah kau datang dari negeri atas angin, kenapakah kau mendaku diri multatuli’
malam bergegas menutup alam kenang, seperti lagu sahdu menghidu kisah kasih silam.
‘bagaimanakah makelar kopi berhitung tentang para kerbau pribumi’
tepat dinihari, ada yang bermimpi mayat bangkit dari timbunan buku, lalu bercerita kisah masa lalu, mirip dalang wayang menghidupkan bayang-bayang kaku.
‘kenapa tulisanmu dapat menjadi bom waktu…..’
2/
di luar museum multatuli, ia duduk tertegun. ia menaksir fosil kayu yang dibaptis sebagai meja dan bangku. tapi bayang-bayang max havelaar membuatnya tergetar. ia pun datang dan membaca lembar demi lembar demi sebuah cinta dan getar.
sahdan ia hanya pemuda desa dari dunia ketiga —tapi ia menolak disapa saijah kerna ia tak mengenal makna kerbau selain dungu. ia punya cinta, tapi ia tak ingin cintanya sebagai adinda kerna nama kekasihnya aida. sebelum masuk museum, ia menginjak-injak bumi tiga kali, sambil berbisik lirih,
‘entah dari bumi mana kau berasal, tapi aku menggigil. aku tak ingin kau lekas kekal dan menjadi fosil!’
3/
bila sejarah adalah
masa depan
: sungguhkah kita
hanya bayang-bayang
semu
Lebak, 11 September 2019
Setelah menghabiskan kopi, saya mulai beranjak untuk melihat situasi sekitar lokasi. Hal itu sebagaimana kebiasaan saya bila menghadiri acara di luar kota: berjalan 200 meter kanan-kiri dari lokasi acara –seperti tentara yang sedang diterjunkan ke sebuah area. Kemudian saya menuju sebuah hotel sederhana. Lokasinya di belakang Museum Multatuli, tepat di seberang Taman Makam Pahlawan (TMP) Sirna Rana, Rangkas Bitung. Hmmm. Dari lokasi acara ke sana, saya berjalan kaki. Saya keburu ke hotel karena ada pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan, yang sudah melampaui tenggat dan berulang-ulang ditagih kawan, yaitu menyeleksi, mengedit dan memberi pengantar pada kumpulan puisi seorang remaja puteri berbakat dari Pacitan. Di kamar hotel, saya pun melakukannya hingga jauh malam dan dinihari.
Keesokan hari, pukul 09.00, sesuai jadwal saya maju ke tampil acara, pada sesi pertama di pendapa Museum Multatuli, dengan dua orang pembicara lain yang mbois. Berbarengan dengan itu, ada sesi lainnya yang digelar di Aula Multatuli di kantor pemkab setempat. Simposium sesi saya dipandu Mas Wahyu Widodo, dari Malang. Saya mendapat giliran kedua. Di depan para hadirian yang berasal dari beragam latar belakang, saya pun nggedabrus terkait perbandingan kesadaran ruang kolonial dalam Max Havelaar dan Bumi Manusia. Karena terbiasa jualan obat, yang berisiko menghimpun massa, akhirnya banyak yang bertanya terkait paparan saya. Saya masih ingat, ada kawan arsitektur dari UI –yang juga pembicara tapi pada sesi berbeda, yang bertanya ihwal ruang kolonial dalam makalah saya bila dibandingkan dengan ruang dalam arsitektur. Tentu saja, saya megap-megap, karena saya tidak mudeng sama sekali dengan arsitektur. Untunglah, saya selalu menjunjung slogan ‘dalang tidak kehabisan lakon, dan tukang obat selalu saja dapat berkilah agar obatnya kelihatan manjur dan cespleng’ sehingga saya dapat terhindar dari kesan plonga-plongo.
Begitu acara selesai, saya menikmati kopi Lebak bersama kawan Niduparas Erlang, Prof. Nyoman Darma Putera dan lainnya di ajang pameran di depan Museum Multatuli. Begitu sesi kedua akan dimulai, saya balik ke Jakarta dengan menumpang mobil seorang mahasiswa Prof. Nyoman Darma Putera, yang tinggal di Lebak. Saya buru-buru balik ke Jakarta karena saya menghitung estimasi waktu dan membandingkannya dengan waktu keberangkatan kemarin. Saya tidak mungkin dapat datang di Jakarta sesuai jadwal penerbangan pesawat pagi yang sudah saya pesan, jika saya tetap ngotot menginap lagi di Rangkas Bitung pada malam itu, kecuali jika saya dapat meminjam karpet ajaib Aladin.
Dalam perjalanan kembali ke Bandara Soekarno-Hatta, sungguh, saya terkesan dengan festival tersebut. Saya kira salah satu titik asyik dari Festival Seni Multatuli, wabil khusus Simposium “Membaca Ulang Max Havelaar” adalah kemampuan menghidupkan teks. Sebagai novel warisan kolonial, Max Havelaar karya Multatuli alias Eduard Douwes Dekker memang ‘habis’ dalam pelajaran Sastra Indonesia, kecuali bagi kalangan spesialis.
Hal itu karena novel itu sering dijauhi peserta didik SMP karena terlalu berat untuk dikonsumsi. Bahkan, sebenarnya tak banyak peserta didik SMA dan mahasiswa yang mengendusnya. Klaim ini berdasarkan riset kecil-kecilan di luar Lebak terkait dengan respon pembaca terbatas pada novel yang diklaim Pram sebagai pembunuh kolonialisme tersebut. Takdir novel pun dapat diterka dengan gamblang: ia bakal ‘hanya’ terbujur sebagai arketip. Namun, Max Havelaar diuntungkan oleh suara zaman yang dibawanya terkait spirit antikolonial dan antifeodalisme. Bahkan gaungnya masih dapat kita dengar dari beberapa novel Indonesia generasi pascakolonial. Ia pun hadir dalam sejarah melebihi kapasitas takdir kesusastraannya.
Meski demikian, dalam situsi dan kondisi zaman yang serba asolole ini, diperlukan lebih dari sekadar kerja keras untuk menghidupkan teks Max Havelaar, yang sudah mulai semaput tersebut. Kerja keras yang dilakukan mungkin harus melebihi apa yang dilakukan para filolog ketika berhadapan dengan teks-teks yang sudah mati –apalagi jika dikaitkan dengan seluruh rangkaian gawe besarnya. Sebenarnya, ada anjuran menarik dari Robson, filolog asal negeri kincir angin, terkait kematian teks lawas dalam manuskrip-manuskrip kuno di Indonesia. Seyogyanya, katanya, teks lawas tidak diterjemahkan dalam kelawasannya, tetapi disesuaikan dengan kondisi kekinian, sehingga masyarakat kekinian dapat mengakses dan menghidupkannya sesuai dengan kebutuhan. Ia berkata demikian pada tahun 1990-an. Ia berbicara tentang vitalitas teks.
Lalu bagaimana dengan vaitalitas teks-teks sastra Indonesia modern kita? Semoga alat vitalnya, eh vitalitasnya tetap tegak lurus dengan langit —meminjam judul tulisan Iwan Simatupang. Memang ada pergeseran-pergeseran perspektif pada sastra Indonesia kekinian, tapi pergeseran itu belum mampu membuatnya loyo. Dari pengalaman saya di acara tersebut, saya sih berharap, Festival Seni Multatuli terus berlangsung. Begitu pula dengan festival lain, dengan semangat untuk menghidupkan teks, terus meluas dan semakin berkualitas.
Begitu sampai di Bandara Soetta, hari sudah sore. Tak lama kemudian, saya lontang-lantung sendirian, karena saya meninggalkan Prof Darma yang asyik berbincang-bincang dengan mahasiswanya dalam rangka konsultasi disertasi. Pada saat itulah, saya kembali seperti orang kampung ‘terdampar’ di rimba metropolis. Ketika senja menjelang, saya pun memilih bermalam di hotel kapsul di bandara, dengan pertimbangan, saya mengambil penerbangan pagi ke Surabaya. Ini juga sekaligus pengalaman pertama.
Sepanjang malam, saya tidak dapat memejamkan mata dalam kamar-kapsul tersebut. Begitu malam berganti dinihari, saya disergap ngilu dan sepi. Entah kenapa, situasi itu segera mengingatkan saya pada sosok Sri yang minggat, dalam lagu campursari Didi Kempot yang berjalin kelindan dengan sosok Dewi Sri dalam mitologi Jawa, ihwal asal-usul padi. Saya pun membuhul pengalaman itu dalam sebuah puisi sederhana.
SEMALAM DI BANDARA
kau mengerti arti sepi, sri? mungkin ia bukan sendiri di tepi sawah, sambil merapal mantra agar padi bersemi dan berisi —kerna harapan masih bertahta, angin mengajak bercanda, burung-burung tertawa, dan rindu mendapatkan tempatnya…
mungkin sepi adalah sendiri di tengah lalu-lalang suara —racauan televisi, deru pesawat, dan percakapan sepasang pria dalam bahasa kroasia. sepi adalah terjebak di kotak persegi dengan dinding dipenuhi tombol-tombol digital canggih, ketika malam merangkak ke dinihari tanpa dimengerti kerna bohlam telah menggantikan tugas matahari –tak ada doa, hampa mimpi, tanpamu, sri…
sepi adalah dendang langgam jawa, yang sayup-sayup meringkus dada: ndang, balia sri…
Soetta, 13 September 2019
Paginya, pada pukul 07.00, saya pun sudah nangkring di pesawat yang mulai perlahan-lahan meninggalkan Ibukota. Sesampainya di Bandara Juanda, Surabaya—Sidoarjo, pukul 08.00, entah kenapa saya teringat Sri, eh Dolly, yang sudah tutup beberapa tahun sebelumnya.
Hmmm, mungkin karena kemarin dalam paparan di simposium, saya sempat menyinggung bahwa salah satu kesadaran ruang kolonial ‘penting’ tetapi dianggap ‘pinggir’ dalam Bumi Manusia adalah keberadaan rumah pelesir Babah Ah Tjong di Wonokromo, tempat nongkrong Herman Mellema. Ah, mungkinkah rumah pelesir itu adalah salah satu cikal bakal atau mbah buyut Dolly-Dolly lain di Surabaya atau berparalel dalam ruang dan waktu yang sama di pinggiran kota….
Masaawoh, Cak!
MA, On Sidokepung, 2021.
*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.