Djoko Saryono *
Apresiasi sastra tidak dapat berlangsung secara tiba-tiba dan serta-merta. Ada prasyarat-prasyarat yang menentukan dapat berlangsung tidaknya. Hal ini berarti ter-dapat unsur penentu yang menjadi conditio sine qua non untuk keberlangsungan apresiasi sastra. Tanpa unsur penentu ini mustahil apresiasi sastra dapat berlangsung. Unsur penentu yang dimaksud adalah (i) karya sastra, (ii) pengapresiasi sastra, dan (iii) kontak karya sastra dengan pengapresiasi sastra. Artinya, berlangsung tidaknya apresiasi sastra memprasyaratkan adanya Belenggu (Armijn Pane), Atheis (Ahdiat Kartamihardja), Vickers Jepang (Nugroho Notosusanto), Langit Makin Mendung (Ki Panji Kusmin), dan Salah Asuhan (Abdul Muis) sebagai karya sastra di satu pihak dan di pihak lain memprasyaratkan adanya (sebutlah orang bernama) Rindang Kasih, Teduh Bumi, dan Angin Kembara selaku pengapresiasi sastra, dan proses kontak karya-karya tersebut dengan nama-nama tersebut yang tak kasat mata dan tanwujud.
Ketiga unsur penentu tersebut memiliki ciri khas/karateristik berbeda. Perbedaan ciri khas karya sastra, pengapresiasi sastra, dan proses kontak karya sastra dengan pengapresiasi sastra memengaruhi proses keberlangsungan apresiasi sastra, dalam hal ini mekanisme proses keberlangsungan dan hasil atau perolehan kegiatan apresiasi sastra. Bahkan perbedaan ciri khas antar-karya sastra dan antar pengapresiasi sastra dapat membedakan mekanisme proses keberlangsungan dan perolehan kegiatan apresiasi sastra. Jadi, perbedaan ciri khas antara Langit Makin Mendung, Atheis, dan Vickers Jepang dapat membedakan mekanisme proses keberlangsungan dan perolehan kegiatan apresiasi sastra. Demikian juga perbedaan ciri khas antara Rindang Kasih, Teduh Bumi, dan Angin Kembara. Perbedaan ciri khas kedua unsur penentu ini malahan dapat membedakan proses kontak antara karya sastra dan pengapresiasi sastra (unsur penentu ketiga). Ketiga unsur penentu tersebut tidak otomatis membuat apresiasi sastra dapat berlangsung. Kedapatberlangsungan masih ditentukan oleh beberapa prasyarat lain. Pertama, karya sastra dan pengapresiasi sastra harus mempunyai aktivitas dan melaksanakan aktivitas seturut kebutuhan masing-masing. Dalam masing-masing unsur tersebut perlu ada dinamika internal. Maksudnya, karya sastra harus diandaikan memiliki sukma yang menggerakkan dirinya untuk ber hubungan dengan pengapresiasi sastra; dan pengapresiasi sastra harus memiliki gerakan-gerakan dan tindakan-tindakan yang bisa digunakan untuk berhubungan dengan karya sastra.
Kedua, unsur proses harus bisa “memaksa” atau membimbing karya sastra dan pengapresiasi sastra untuk melakukan kontak atau komunikasi. Ini mengisyaratkan bahwa antara karya sastra dan pengapresiasi sastra harus berada pada “jalan” yang sama, tapi pada titik berbeda, mengarah pada aras berlawanan, dan masing-masing ber gerak menuju titik pusat yang sama yang disebut proses kontak atau komunikasi. Di sini bisa diandaikan baik karya sastra maupun pengapresiasi sastra berada di suatu jalan yang membujur selatan-utara. Karya sastra berada di ujung selatan jalan, bergerak ke utara ke arah pengapresiasi sastra, sedang pengapresiasi sastra berada di ujung utara jalan, bergerak ke selatan ke arah karya sastra. Keduanya bergerak dengan kecepatan sama dan pada saat bersamaan pula. Keduanya bertemu di tengah, kemudian saling menyapa dan menjamu; dan inilah yang disebut proses kontak atau komunikasi. Hal ini dapat berlangsung bila dipenuhi prasyarat ketiga berikut.
Ketiga, karya sastra harus menghidangkan sinyal-sinyal sastra wi atau kesastraan yang merangsang dan memikat radar-radar nurani, rasa, dan budi pengapresiasi. Pada saat bersamaan radar-radar nurani, rasa, dan budi itu harus menyantap sinyal-sinyal sastrawi atau kesastraan tersebut. Demikian juga sebaliknya: nurani, rasa, dan budi pengapresiasi harus mengirim sinyal-sinyal apresiatif ke pada karya sastra. Bila hal ini terjadi, maka telah terjadi persambungan hubungan dan perjamuan antara karya sastra dan pengapresiasi sastra di dalam (unsur) proses kontak atau komunikasi.
Jika butir ketiga tersebut dapat berlangsung dengan baik dan mulus, maka dapat dikatakan telah terjadi perjamuan dan percakapan antara karya sastra dan pengapresiasi sastra di dalam proses apresiasi sastra. Ini berarti apresiasi sastra dapat dikatakan telah berlangsung. Kegiatan apresiasi sastra yang bisa berwujud membaca karya sastra, melisankan karya sastra, dan menyimak pelisanan karya sastra dapat disebut berlangsung. Masing-masing dapat berdiri sendiri, dapat pula saling mendukung.
Bersambung 10
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
2 Replies to “PRASYARAT KEBERLANGSUNGAN APRESIASI SASTRA (9)”