PROSES KREATIF AMING AMINOEDHIN

Aming Aminoedhin

Awal Menulis Puisi

Dalam hal menulis karya sastra, saya, selain lingkungan keluarga yang sangat mendukung, karena banyaknya yang suka membaca dan menulis, juga karena aktivitas di sekolah. Sewaktu di sekolah tingkat SMAN Ngawi (1974-1976), saya aktif ikut membuat majalah dinding. Selain aktif sebagai penulis majalah dinding, beberapa karyaku berupa puisi, saya kirimkan ke berbagai majalah di Jakarta.

Pada awalnya saya hanya coba-coba-coba mengirimkan puisi-puisi, tanpa punya mimpi-mimpi. Apa lagi mimpi jadi seorang penyair. Tidak! Saya tidak punya impian itu. Bahkan pada awalnya saya mimpi masuk fakultas pertanian, biar jadi insinyur pertanian. Hanya sayangnya, ketika naik ke kelas dua SMA, saya masuk jurusan SOS atau sosial. Pupuslah harapan saya untuk kuliah di fakultas pertanian.

Berangkat dari jurusan SOS, yang mana teman-teman se-angkatan saya (Puguh Kadaryono, Widodo, Pitoyo, IGA Oka Kusumahadi) sering mengakronimkan sebagai ‘sekolah orang santai’ itulah, yang kemudian menjadikan saya sekolah seenaknya, alias suka pulang pagi sebelum jam pelajaran diakhiri.

Dari awal coba-coba kirim puisi itulah, salah satu puisiku, termuat di Majalah TOP Jakarta, tahun 1975, dan ini merupakan karya puisi pertama dimuat di sebuah majalah. Pada waktu itu, masih kelas II SMA, dan masih menggunakan nama asli Moh Amir Tohar. Dari majalah tersebut, saya mendapatkan honorarium penulisan melalui wesel yang dikirimkan ke sekolah, SMAN Ngawi. Lantas honorarium yang sebesar Rp750,00 (Tujuh Ratus Lima Puluh Rupiah) itulah, yang kemudian untuk mentraktir teman-teman saya sekelas. Berangkat dari sinilah, saya dijuluki teman-teman sekelas, sebagai penyair. Puisi saya yang termuat tersebut berjudul:

BENDERA

merah
putih
biru
hilang paling bawah
Indonesiaku

Ngawi, 1975

Pada waktu puisi itu termuat, nama Aming belum saya gunakan, tapi masih menggunakan nama aslinya Moh. Amir Tohar. Ketika itu masih berada di kota kelahiran, Ngawi, aktif kegiatan remaja masjid dan teater. Dunia bermain teater pernah mengantarkan saya jadi juara, sebagai aktor terbaik Lomba Drama se-Jawa Timur 1983 di Surabaya, dari kelompok Teater Persada Ngawi, pimpinan Mh. Iskan. Melalui komunitas Teater Persada inilah yang kemudian memberikan banyak masukan inspirasi dalam berkarya sastra, utamanya menulis puisi dan bermain drama.

Selepas lulus SMAN Ngawi, saya melanjutkan ke Fakultas Sastra – Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sewaktu kuliah di Fakultas Sastra inilah, saya berkompetisi menulis karya sastra dengan Wieranta (sekarang: Dosen Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta), Junaidi HS (sekarang: Guru SMAN 2 Ngawi), Kristanto Agus Purnomo atau Kriapur (almarhum), Moh. Imam Thobroni, Tito Setyo Budhi (sekarang: pengusaha di Sragen), Dedek Witranto, Bambang AeRTe, Anas Yusuf, Dedet Setiadi, dan Juhardi Basri. Tiga nama yang terakhir adalah generasi di bawah saya, sewaktu kuliah di Fakultas Sastra Sebelas Maret. Mereka bertiga teman berkompetitif antarmahasiswa dalam hal menulis di Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret di Surakarta.

Selain itu, ada juga nama-nama: Jil P. Kalaran, Akhudiat, Sirikit Syah, Tengsoe Tjahjono, Redi Panuju, Herry Lamongan, Surasono Rashar, Tan Tjin Siong, Zoya Herawati, Roesdi-Zaki, Pudwianto Arisanto, Shoim Anwar, Suhandayana, Tubagus Hidayathollah (almarhum), dan banyak lagi; yang merupakan teman-teman segenarasi dalam hal menulis karya sastra, ketika saya berada di Surabaya. Menulis sastra, khususnya puisi, seakan tanpa henti. Bahkan membuat pentas-pentas sastra, termasuk Malam Sastra Surabaya, baca puisi di DKS, IKIP Ketintang, dan Taman Budaya.

Prinsip Menulis Sastra

Bagi saya menulis sastra, khususnya puisi, seperti halnya menuliskan ‘wejangan’ atau ‘pitutur’ bagi pembacanya. Artinya, bahwa saya menulis puisi bermaksud menyalurkan pikiran-pikiran/ide-ide kreatif saya tentang bagaimanakah seseorang tersebut bisa berbuat baik, setelah membaca puisi itu. Tidak hanya wejangan dan pitutur atau petuah saja, tapi juga terkadang berisi kritik, agar manusia tergelitik dengan kesalahan yang ada dalam dirinya selama ini.

Menulis sastra puisi, bagi saya juga merupakan ibadah. Karena banyak puisi saya yang bicara soal tentang kebenaran nyata yang ada di dunia ini. Baik itu kebenaran yang berdasarkan Qur’ani atau pun hukum/norma sosial kemasyarakatan yang ada selama ini. Coba kita baca saja puisi-puisi berikut ini:

BERJAMAAH DI PLAZA
Aming Aminoedhin

kata seorang kyai, belajar ngaji
adalah amalan yang patut dipuji
dan sholat berjamaah
dapat pahala berkah
berlipat-lipat jumlah

tapi kenapa banyak orang
belajar nyanyi, belajar tari
dan baca puisi?

tapi kenapa banyak orang berjamaah
hanya di plaza-plaza
hamburkan uang berjuta-juta?

adakah ini dapat dipuji, dan
adakah plaza menyimpan pahala
berlipat ganda?

ah… barangkali saja, plaza-plaza
telah jadi berhala baru
yang dipoles gincu
begitu indah
dan banyak orang ikut berjamaah

Surabaya, 1992

SURABAYA I *
Aming Aminoedhin

pasar kini telah berubah di sini
pasar adalah lampu-lampu iklan
di mana dagangan ditawarkan
lewat lampu-lampu iklan
yang gemerlap tinggi mencuat
aku hanya bisa nelangsa menatap
orang-orang dimuntahkan oleh bis-kota
dan plaza-plaza bertingkat, dan
di kemudian hari ditelan kembali
dengan jumlah dan hitungan kian sarat

plaza-plaza bertingkat
kian semakin padat pengunjung
rumah-rumah ibadat
semakin kehilangan juntrung
oleh pengunjung

lupakah mereka?
Itulah soalnya aku bertanya

Surabaya, 1986

LARUT MALAM SURABAYA *
Aming Aminoedhin

mobil-mobil yang lintas jalan layang
seakan terbang tanpa sayap
lampu-lampu jalan layang
berjejer diam menyimpan penyap

bunga-bunga taman mayangkara
tidaklah terhitung lengkap
rumput-rumputnya hijau meluas
tanpa ada tersisa sampah-sampah membekas
dan pohonan hias menyejuk mata
di antaranya terselip cahaya
lampu-lampu merkuri menebar asri

lampu-lampu kota warna-warni
lampu-lampu mobil tak mau mati
kota tiada mau diam, meski jam
telah sampai larut malam

kota ini adalah buaya, yang
menelan segala perangkat teknologi
teknologi abad ini, tanpa
terseleksi (diseleksi?)

1989

EMBONG MALANG *
Aming Aminoedhin

menelusuri jalan embong malang sianghari
terasa jalanan mengambang kebak polusi
kendaraan mengali satu arah
keringatku mencair begitu gerah

memandang selatan jalan embong malang
terasa diriku hilang ditelan gedung menjulang
engkaukah yang telah mengubah
wajah kota begitu gagah
atau mungkin menyulap kota tampak begitu gagah

sementara di beberapa tempat
banyak orang mengumpat
soal pendapatan upah buruh taklagi diterima utuh
soal rumah leluhur menuimpan arsitektur lama
dengan pongah digusur-gusur, kota lama
seperti telah dikubur

embong malang jalan satu arah
tak memberi satu arah, bagi
arti kehidupan tanpa jurang pemisah
antara yang mewah dan lainnya berdarah
atau mungkin bernanah?

Surabaya, 1996

Kota Surabaya, merupakan kota ketiga saya dalam berkiprah menulis karya sastra. Sebab kota pertama dalam mengawali menulis puisi adalah Ngawi; yang merupakan kota kelahiran. Kota kedua adalah Surakarta, ketika saya menimba ilmu sastra di sana. Lantas di kota Surabaya, saya tidak hanya berkiprah dalam dunia tulis-menulis saja, tapi juga pernah menjadi Pengurus Dewan Kesenian Surabaya, Biro Sastra (1990-an), Koordinator Forum Apresiasi Sastra Surabaya (FASS) di PPIA Surabaya (1986-1990-an), Koordinator Himpunan Penulis Pengarang dan Penyair Nusantara (HP3N) Jawa Timur (1987-1990-an), dan Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) (Forum Sastra Bersama Surabaya).

Ketika berada di kota budaya, Surakarta atau Solo itu, banyak puisi saya termuat di majalah “Zaman” dan “Horison”, yang di antaranya adalah:

SURAT DARI BLORA *
Aming Aminoedhin

Rumah di atas bukit
bukit bukit berenang atas danau
jembatan kayu gantung menyeberang
dedaun merimbun, jalanan
membelah pohon-pohon
sebelas kilo utara kota
menapak tiga kilo langkah kaki
rumah di atas bukit

Sepi menggasing tanpa tv tanpa polusi
fajar menyingsing ceria mentari
langit jingga berselendang senja
kaki pertama perempuan mandi danau
alam menyapa rembang petang

duka yang kemarin ada
kau tangkap sebentuk sepi
peronda tak kunjung bersuara
kokok ayam tak juga-juga tiba
malam pun enggan menggeliat

hari-hari berlanjut kecut
duka, sepi dan malam kaucampakkan

Sore puluhan putih burung mengepak sayap senja itik berbaris riang pulang kandang
malam perahu di danau, ikan dalam bubu mati udang-udang danau kaucari

Bulan berenang di danau, sendiri
kaudayung perahu arah bulan
bulan pecah, kembali tergantung di awan

sepi mengangkat muka
engkau menatap akrab

sawah meninggi, kali di bawah kaki sawah
air kali tanpa kincir air
sawah kehausan, bak
bulan tanpa malam
siang tanpa mentari

saat waktu lusa kau terlena malam
hari ini bulan masih tersisa,
jangan tunda perempuan selalu dihadang waktu
kunci yang kaubawa
kan berkarat nanti

air bagi sawah
malam bagi bulan
mentari bagi siang
adalah kunci-kunci manusiawi

Solo, 1981

Hidup di kota Surabaya inilah yang kemudian saya banyak menulis tentang kota Surabaya, dari persoalan kritik, sosial, dan bahkan kegelisahannya menatap kota metropolitan kedua Indonesia ini. Puisi-puisi saya banyak yang memotret keberadaan kota Surabaya tersebut.
Coba kita simak puisi berikut ini:

SURABAYA AJARI AKU TENTANG BENAR
Aming Aminoedhin

Surabaya, ajari aku bicara apa adanya
Tanpa harus pandai menjilat apa lagi berlaku bejat
Menebar maksiat dengan topeng-topeng lampu gemerlap
Ajari aku tidak angkuh
Apa lagi memaksa kehendak bersikukuh
Hanya lantaran sebentuk kursi yang kian lama kian rapuh

Surabaya, ajari aku bicara apa adanya
jangan ajari aku gampang lupa gampang berdusta
jangan pula ajari aku dan warga kota, naik meja
seperti orang-orang dewan di Jakarta

Surabaya, ajari aku jadi wakil rakyat
lebih banyak menimang dan menimbang hati nurani
membuat kata putus benar-benar manusiawi
menjalankan program dengan kendaraan nurani hati

Surabaya ajari aku. Ajari aku
Ajari aku jadi wakil rakyat dan pejabat
tanpa harus berebut, apa lagi saling sikut
yang berujung rakyat kian melarat kian kesrakat
menatap hidup kian jumpalitan di ujung abad
tanpa ada ujung. tanpa ada juntrung

Surabaya memang boleh berdandan
Bila malam lampu-lampu iklan warna-warni
Siang, jalanan tertib kendaraan berpolusi
Senja meremang, mentarinya seindah pagi
Di antara gedung tua dan Tugu Pahlawan kita

Surabaya ajari aku. Ajari aku bicara apa adanya
Sebab suara rakyat adalah suara Tuhan
Kau harus kian sadar bahwa berkata harus benar
Dan suara rakyat adalah suara kebenaran
Tak terbantahkan. Tak terbantahkan!

Surabaya ajari aku tentang benar. Tentang benar!

Surabaya, 21 November 2005

Saya juga merupakan penggagas adanya Malam Sastra Surabaya atau lebih dikenal dengan singkatan Malsasa, sejak tahun 1989-an hingga terakhir menggelar pada tahun 2007. Penggagas pula acara baca puisi peduli “Perang Irak” di Taman Budaya Jawa Timur, pentas seni kemanusiaan “Duka Aceh Duka Bersama” di Taman Budaya Jawa Timur. Terakhir, saya punya ide “baca puisi masuk teve”, lantas bulannya pas bulan Ramadhan, maka ide saya gelontorkan ke Imung Mulyanto yang kini jadi juragannya “Arek Teve – Surabaya Raya”. Ide itu ditangkap, lantas saya disuruh koordinir rekan-rekan penyair. Ternyata bisa! Rekaman dari habis tarawih hingga hampir imsak, jadilah rekaman itu dalam tiga episode, bertajuk “Tadarus Puisi”. Tidak hanya penyair dan penggurit yang tampil, ada juga KPJ (Kelompok Penyanyi Jalanan) Surabaya, pimpinan Bokir Surogenggong.

Sebagai penulis puisi, saya pernah ikut temu penyair jateng di Semarang (1983), temu penyair indonesia di Taman Ismail Marzuki Jakarta (1987), dan ikut memberikan pelatihan menulis dan baca puisi di berbagai kota di Jawa Tmur, antara lain: Batu, Lamongan, Madiun, Mojokerto, Lumajang, Banyuwangi, Tulungagung, Blitar, Probolinggo, dan banyak lagi kota.

Karya puisi saya banyak dimuat di koran dan majalah lokal dan ibu kota, antara lain: Surabaya Post, Berita Buana, Republika, Singgalang, Sriwijaya Post, Banjarmasin Post, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Bali Post dan banyak lagi. Sedang majalah yang memuat puisinya antara lain: Gadis, Putera dan Puteri Indonesia, Pusara, Bende, Media, Zaman, Majalah Sastra Horison, dan Majalah Kebudayaan Basis.

Kumpulan puisinya bersama rekan penyair lain, di antaranya: Husst, Nyenyet, Wajah Bertiga, Reportase Sunyi, Pagelaran, Malsasa ‘92, ‘94, ‘96, 2000, 2005, 2007; Surabaya Kotaku, Burung-Burung, Memo Putih, Tanah Kapur, Tanah Rengkah, Semangat Tanjung Perak, Kabar Saka Bendul Mrisi, Drona Gugat, dan banyak lagi. Kumpulan puisinya sendiri: Berjamaah di Plaza, Mataku Mata Ikan, Embong Malang, Kereta Puisi, dan Sketsa Malam. Kumpulan geguritan Tanpa Mripat, dan kumpulan sajak anak-anak ‘Sajak Kunang-Kunang dan Kupu-Kupu’, ” “Memutih Putih Begitu Jernih” (2008),

Sekarang aktif di PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya), Forasamo (Forum Apresiasi Sastra Mojokerto), Ketua FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya), ikut jadi motivator ARS (Alam Ruang Sastra) Komunitas Sastra Sidoarjo, dan kini masih bekerja di Balai Bahasa Surabaya di Sidoarjo.

Buku kumpulan puisi garapan Aming Aminoedhin:

Semangat Tanjung Perak, (editor, 1992), Surabaya Kotaku (editor, Dewan Kesenian Surabaya, 1990), Malsasa ’91 (editor, Dewan Kesenian Surabaya & Sufo, 1991), Malsasa ’92 (editor, Penerbit Sintarlistra, 1992), Malsasa ’94 (editor, Biro Sastra Dewan Kesenian Surabaya, 1994), Bunga Rampai Bunga Pinggiran (editor, antologi puisi, 1995), Malsasa ’96 (editor, Dewan Kesenian Surabaya, 1996), Malsasa 2000 (editor, Balai Bahasa Surabaya, 2000), Berjamaah di Plaza (kumpulan puisi, Mandiri Press Mojokerto, 2000), Omonga Apa Wae (editor kumpulan puisi, Taman Budaya Jawa Timur, 2000), Tanah Persada (editor, Teater Persada Ngawi, 1983), Tanah Kapur (editor, Komunitas Teater Persada Ngawi, 1990), Tanah Rengkah (editor, Komunitas Teater Persada Ngawi, 1997), Mataku Mata Ikan (kumpulan puisi, DKJT, 2004), Embong Malang ( kumpulan puisi, proses cetakan, 2005), Sketsa Malam (kumpulan puisi, dalam proses, 2000), Kereta Puisi (kumpulan puisi, Dewan Kesenian Surabaya, 1990), Wajah Bertiga (editor, Sintarlistra Surabaya, 1987), Burung-Burung (editor, Sintarlistra Surabaya, 1990), Tanpa Mripat, kumpulan guritan (FSBS, 2005), Malsasa 2005 (editor, kumpulan puisi bersama FSBS, 2005), Surabaya 714, Malsasa 2007 (editor, kumpulan puisi bersama FSBS, 2007), Sajak Kunang-Kunang dan Kupu-Kupu, kumpulan sajak anak-anak (FSBS. 2008), MEmutih Putih Begitu Jernih, kumpulan sajak – dalam proses cetakan (FSBS, 2008), Trilogi Tanah, dalam tahap proses cetak (2008), Memutih Putih Begitu Jernih, dalam tahap proses cetak (2008).

Latar Belakang Keluarga

Aming Aminoedhin, adalah nama samaran dari nama asli Mohammad Amir Tohar. Lahir di Ngawi, 22 Desember 1957. Ayah saya seorang guru agama Islam di sebuah SMPN, ibu pun juga seorang guru SDN Ronggowarsito 2 Ngawi. Ayah bernama A.H. Aminoedhin (lahir tahun 1918), sementara ibu bernama Soeparijem (lahir tahun 1925).

Saya adalah anak kelima dari delapan bersaudara. Dari kedelapan saudara ini, kakaknya nomor dua, bernama M. Har Harijadi, juga seorang penulis, baik cerpen, puisi, cerita anak, dan esai (wafat: 27 September 2007). Begitu pula kakak saya nomor empat, bernama Yulia Amirulfata (samaran: Lia Aminoedhin), juga seorang penulis puisi (tidak diteruskan karena sudah disibukkan jadi guru SMP Muhammadiyah di Yogya dan bersuami). Sedangkan dua adik perempuan, Ummi Hanifah Hariyani (samaran: Yani Aminoedhin) dan Ummi Mukharomah Hariyanti (guru SMAN 2 Ngawi), sebenarnya juga menulis; hanya saja tidak diteruskan bakat menulisnya, karena sibuk pekerjaan dan rumah tangga. Secara keseluruhan saudara saya: Ummi Haniek,B.A. (guru SMPN 5 Ngawi), M.Harijadi(almarhum), M. Anies Harijono (TU SMK Muhammadiyah Ngawi), Yulia Amirulfata (Guru SMP Muhammadiyah, Stan, Sleman, Yogyakarta), M. Amir Tohar (alias Aming Aminoedhin), Ummi Hanifah Hariyani (Bu Kadus Krapyak – Yogyakarta), Ummi Mukharomah Hariyanti (Guru SMAN 2 Ngawi), dan M. Yusuf Arsyad (usaha travel di Yogya).

Bakat menulis saya berangkat dari lingkungan keluarga yang banyak menulis, seperti kakak-kakak dan adik-adik. Termasuk pula di antaranya, paman saya seorang sastrawan yang merupakan salah satu tokoh Angkatan ’66 versi HB Jassin, bernama M. Alwan Tafsiri. Begitu pula tetangganya ada juga seorang penulis naskah drama dan puisi, Mh. Iskan.

Istri saya bernama Sulistyani Uran. Mantan seorang perawat RS Darmo Surabaya, kelahiran Kediri, 27 September 1963. Bersama istri, saya mempunyai 4 anak, yaitu Ade Malsasa Akbar (Surabaya, 02-12-1992, laki-laki), Tegar Kartika Akbar (Surabaya, 10-07-1994, laki-laki), Amri Perkasa Akbar (Mojokerto, 30-08-2000, laki-laki), Mira Aulia Alamanda (Mojokerto, 02-04-2003, perempuan).

Latar Belakang Pendidikan

Pendidikan yang pernah saya tempuh adalah: TK Muhammadiyah Ngawi (1968-1969), SDN Ronggowarsito 2 Ngawi (lulus 1970), SMPN 1 Ngawi (lulus 1973), SMAN Ngawi, Jurusan Sosial (lulus 1976).

Selepas pendidikan SD dan SMA, melanjutkan ke Fakultas Sastra, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sebelas Maret Surakarta (masuk kuliah tahun 1977). Lulus sarjana muda dengan gelar B.A. pada tahun 1982. Sebelum sarjana muda diraih, ia sempat kuliah D-III satu tahun, pada pada jurusan yang sama, fakultas keguruan di universitas yang sama, dengan mendapatkan ijazah Diploma dan Akta III, pada tahun 1981. Setelah itu melanjutkan kembali tingkat dotoralnya di fakultas sastra jurusan yang sama, dengan meraih sarjana sastra, jurusan bahasa dan sastra Indonesia dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, pada tahun 1987.

Latar Belakang Pekerjaan

Selepas kuliah dengan mendapat gelar sarjana muda, Aming Aminoedhin pulang ke kampung halamannya di Ngawi. Selama setahun saya sempat mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP PGRI 1 Ngawi.

Sewaktu masih kuliah pernah bekerja sebagai wartawan lepas di berbagai koran di Semarang, Surabaya, dan Jakarta. Pernah juga staf redaksi koran kampus ‘Sebelas Maret’ di Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Menjadi PNS di Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur sejak tahun 1984. Bekerja di Sub Bagian Penerangan, Bagian Tata Usaha, pada bidang penerbitan majalah bulanan “Media” sebagai pemimpin redaksi. Pernah juga ikut membidani dan mengelola keredaksionalan “Tabloid Bekal” koran pelajar Jawa Timur, yang diprakarsai Harian Surabaya Post dan Kanwil Depdikbud Jawa Timur. Ikut pula menjadi Redaksi Majalah Kebudayaan Kalimas di Surabaya, lantas termasuk ikut dalam Staf Redaksi Buletin DKS (Dewan Kesenian Surabaya), serta Majalah Memorida Kanwil Depdikbud Jawa Timur.

Dalam bidang seni dan budaya, saya, pernah jadi koordinator Forum Apresiasi Sastra Surabaya (FASS), Himpunan Penulis, Pengarang dan Penyair Nusantara (HP3N) Jawa Timur, dan Forum Apresiasi Sastra Mojokerto (Forasamo). Menjadi pengurus Dewan Kesenian Surabaya, Biro Sastra (1990-an), Sekretaris Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto (2004- sekarang). Periode tahun 1995- sekarang masih jadi pengurus Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS). Dalam PPSJS, ia membidani terbitnya “Teplok-Dluwangwarta PPSJS” sebagai pemimpin redaksi. Saya juga pernah dikirim dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara XII di Singapura, mewakili Jawa Timur (2003).

Jabatan yang masih diemban sampai sekarang Ketua FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya) yang telah dua kali penyelenggara pentas Malam Sastra Surabaya (2005-2007).

Sejak tahun 2000, saya, mutasi pekerjaan dari Kanwil Depdikbud Jawa Timur ke Balai Bahasa Surabaya, sebagai kandidat peneliti bahasa dan sastra Indonesia dan Jawa. Karena saya menganggap lebih cocok pada bidang penulisan dan penelitian, sesuai dengan ijazah sarjana sastra saya. Pada waktu itu, 2005, ia telah mengajukan jabatan fungsional sebagai peneliti ke Pusat Bahasa di Jakarta. Tapi hingga sekarang tak pernah turun jabatan fungsional sebagai peneliti. (Konon, umurnya terlalu tua jadi peneliti, ya,,, mau apa? Ya sudah, jadi penyair saja).

Ini hanya sebagian proses kreatif yang bisa saya tulis dengan tergesa-gesa, semoga besok-besok bisa mengedit lebih baik lagi. Salam budaya!

Desaku Canggu, 7 Oktober 2008

* termuat di Majalah Basis Yogyakarta, Agustus 1989
* termuat di Koran Memorandum – Surabaya, 30 Juni 1996
* dimuat di majalah Zaman Jakarta, 27 Desember 1981

***

Leave a Reply

Bahasa »