Jawa Pos, 2 Mei 2021
Di Teras Masjid Sothok
kepada aba
yang pernah ada di sini tetap menancap di hati
aku jauh, jauh sekali, tapi sebenarnya tak pergi
tak ke mana, sebagai bumi kepada matahari
tetap duduk denganmu di masjid ini
berdua kaki bersila, badan membungkuk
menghadap utara
menyaksikan sawah di depan hidung
menyaksikan akhirat di dalam relung
kudengar abjad jatuh dari remahan zaman
dari perasan seribu lantun dalail dan ajian
kau lafalkan dengan rasa dingin
udara bertiup, huruf kuhirup
”sulungku, jangan pernah pergi
kecuali untuk mewujudkan mimpi
aku wariskan kepadamu
sujud-sujudku, juga sebuah badai”
kebersamaan kita ingatan
kehidupan kita melukis bayangan
kuas meliuk menarikannya
seribu warna memori
pada kanvas angan-angan
yang kesunyiannya abadi
yang kesepiannya purba
Ganding Pustaka, 2021
Sebatang Rumput di Tanganmu Sunan Bonang
kepada sebatang rumput yang kau hentikan tumbuh
yang tanpa sengaja tanganmu mencabut liar helai-helainya
hingga akar berpisah dengan tanah,
kau menangis, kau bersedih, kau merasa
dosa demikian perih ditanggung dada.
seribu istigfar kau hela pada tiap helainya
apalagi kepada batang-batang
kepada cabang-cabang
kepada pohon-pohon
bila tanganmu berjemari lalim:
sebatang ranting yang jatuh
hati menanggung tengkujuh.
secabang yang ditumbang
kembang api neraka tak kempis rembang.
sebuah pohon ditebang, seharga jiwa
anak cucu, asa, dan margasatwa melayang
tak ada lagi cara nyenyak dalam sejuk dunia
dengan nyanyi, lelaku, dan doa
di antara amin bunga-bunga yang bermekar
amin akar-akar yang menjalar
amin daun-daun yang segar,
berayunan, menarikan permohonan pohon
dengan semerbaknya, menggerakkan sujud
dengan wangiannya, mengendapkan
khusyuk dengan hantaran oksigennya
o, kepada sebatang rumput yang kau
hentikan tumbuh, yang kau cerabut
tak sengaja, rupanya masih saja ego kami
tak pernah bertanya, apakah bumi
sebenarnya butuh kepada manusia?
Ganding Pustaka, 2021
Surat kepada Diri
mata boleh terbuka kendati lelap dalam tidur
kata-kata boleh berlepasan tanpa batasan
asalkan masih tertahan di dalam benak
kau boleh jatuh cinta untuk kedua kali
bahkan keseribu kali, tetapi masih kepada kekasih
yang setia menemanimu semata
berkenalan dengan diri sendiri
ternyata lebih susah ketimbang
melakukan pendekatan dengan orang asing
terlalu lama sebagai diri
lama sekali bukan sebagai diri
lalu harus berjumpa lagi dengan diri sendiri
seperti karib yang lama tak bercengkerama
ternyata bukan hal yang mudah
terlebih saat diri telah berubah bentuk
entah semakin keras atau lunak
menuju dewasa atau kembali kanak
tak ada bahasa yang lebih mewakili
selain getar bibir dan mata merah
yang kadang berlinang-linang
kaki boleh mengentakkan langkah
sejauh ujung daratan. tangan bisa
menjangkau apa pun yang menjadi hasrat
untuk diraih. namun bila jiwa lama abai
dan tersungkur di tepi risau, sesungguhnya
tujuanmu masih jauh
mata boleh terpejam, tetapi sedianya
tak pernah berhenti memandang diri sendiri
demikianlah surat ini kutulis
untuk diriku sendiri yang sekian lama
kurindukan.
Ganding Pustaka, 2020
RAEDU BASHA Kelahiran Sumenep, 3 Juni 1988. Buku-buku puisinya, Hadrah Kiai (2017), Matapangara (2014), dan buku-buku etnografi, Sastrawan Santri: Etnografi Sastra Pesantren (2020) serta Ya’ahowu: Etnografi tentang Nias (2018). Saat ini mengabdi ketua yayasan di Pondok Pesantren Darussalam Billapora, Sumenep, Madura.