Siti Zubaidah adalah generasi kedua Datuk Burung; seorang sakti dan terkenal di sebuah kampung di pulau yang telah merenggut airmata dan kekuatan akal sehatku. Seorang Veteran Serdadu Soekarnois – yang tidak pernah meminta negara untuk mengakuinya dalam sejarah kebangkitan nasional dan kisah pembersihan Serdadu Soekarnois – yang sedang dalam pelarian, menikahi Siti Zubaidah. Hiduplah keduanya sebagai keluarga miskin yang tinggal di sebuah rumah sewa, di tepi danau, dan dikarunia tiga orang anak perempuan – kemudian melahirkan anak-anak selanjutnya, hingga berjumlah sebelas orang.
Dan, aku ingat, bahwa Idham Halid, Veteran Serdadu Soekarnois, adalah seorang tegas dan pemalas. Semenjak menolak ikut serta dalam Ganyang Malaysia 1963, dia memilih hidup bersama Siti Zubaidah dan memutuskan menjadi nelayan yang sepanjang umurnya dihantui masa lalu dan semangat pembebasan yang membisu di dadanya.
Untuk menutupi perasaan malu kepada keluarga besarnya, karena memiliki suami seperti Idham Khalid, Siti Zubaidah bekerja dan mengerjakan apa pun. Bahkan membersihkan kolong rumah saudara perempuannya sekalipun! Bila aku mengenangkan masa kanak-kanaku, ketika Siti Zubaidah secara sembunyi-sembunyi meninggalkan anak-anaknya di kala embun menyelimuti jalan setapak kampung, mengendap-endap dia berjalan di sana menuju rumah tetangga yang membuat kue-kue.
Dengan perahu kayu berpapan satu, setelapak tangan dari air danau, Siti Zubaidah mendayung menerabas embun dingin dan mencair di rambutnya, menuju kampung tetangga. Dia tidak akan pulang sebelum Tuhan membantunya menjajakan kue-kue itu hingga habis. Dan, yang merenggut perasaan adalah, tanpa sepengetahuan orang kebanyakan dan keluarga besarnya, dia menjajakan kue-kue itu sehari setelah melahirkan anaknya yang kesembilan!
“Tidak ada yang bisa engkau harapkan dari seorang veteran, masa lalu dan semangat pembebasan hanya membuat mereka malas dan habis dengan sendirinya tanpa sekali pun mereka mendapat penghargaan dari Soekarno dan negeri ini! Jadi, jangan engkau sekali-sekali memiliki cita-cita menjadi atau menyuruh anak-anakmu menjadi serdadu! Jadilah seperti yang engkau inginkan. Ikuti akal sehat dan nuranimu! Lihat kakekmu itu! Dia hanya memiliki cerita-cerita perang yang tidak selesai dan tidak dia menangkan! Engkau ingin seperti dirinya?!” kata Siti Zubaidah belasan tahun yang lalu kepadaku.
Tahun 2021, ketika aku menjadikan serdadu sebagai musuh ideologisku, Siti Zubaidah tebering lemah dihabisi kasih-sayang dan cintanya kepada anak lelakinya yang telah naik ke Sorga pada tahun 2017 yang lalu. Sehari sebelumnya, telah dikabarkan kepadaku bahwa penyakit nurani yang mendera Siti Zubaidah semakin memuncak. Sementara, di Surabaya saat ini, satu-satunya harta yang kumiliki adalah kesedihan. Kabar ini tentu saja memukul sukmaku.
Bagaimana pun, Siti Zubaidah adalah Mamak Tuaku. Dia serta membesarkanku. Dia mendidikku untuk tidak tunduk pada keadaan: “Menangislah, karena itu bahasa kejujuran dari makhluk di muka Bumi ini! Tetapi, jangan sekali pun engkau tunduk seperti barisan serdadu yang kalah perang, kemudian dihabisi negaranya sendiri!” Dan, ketika aku menapaki anak tangga menuju toko bukuku, Siti Zubaidah hadir di kaca pintu. Sepasang matanya sendu dan bibirnya yang pucat-kering, seakan-akan kehabisan tenaga untuk berkata bahwa ini adalah pertemuan terakhir kami di dunia. Dia bisu. Dan, semakin aku mendekat, Siti Zubaidah semakin menjauh dan benar-benar hilang dari kaca pintu.
Ada sofa dan meja serta beberapa buku berserak di atasnya di dalam toko bukuku. Aku duduk di sana, karena beberapa orang telah menunggu. Untuk menunggu waktu perbincangan dimulai, aku mendongakan kepala melihat setiap sudut langit-langit ruangan. Tidak ada apa pun selain kenyataan bahwa kesedihan hati benar-benar akan segera menghabisiku.
Tidak lama kemudian, telepon genggamku berdering. Sebuah pesan bertulis “Nenek sudah tiada, Bang!” Muncul di layar telepon. Artinya, Siti Zubaidah telah meninggalkanku ketika Surabaya memberiku harta satu-satunya, kesedihan ini! Dia telah naik ke Sorga sebelum aku datang kepadanya membawakan kain tenun dari kanal berair emas yang mengalir di bawah Jembatan Merah, sebelum aku mengatakan bahwa tidak menjadi seorang serdadu karena mereka adalah musuh ideologisku!
Siti Zubaidah, istri mendiang Idham Halid, seorang Veteran Serdadu Soekarnois, membawa airmataku, harapanku, dan segala tentang kebahagiaan terkubur ke dalam Bumi bersamanya, selamanya. Lengkaplah kesedihanku!
Surabaya, 2021
*Panglima Burung, gambar dari idayakdotblogspotdotcom