SOLILOQUI PAK BUDI


Raudal Tanjung Banua

Seingat saya, sudah lima kali saya jumpa langsung dengan pengarang Budi Darma. Masing-masing dua kali di Pekanbaru, sekali di Tanjungpinang dan Makassar, terakhir di Jakarta. Itu pun dalam waktu singkat, boro-boro bicara sastra empat mata, kami hanya sempat tegur sapa.

Pertemuan di Makassar misalnya, maaf, berlangsung di toilet hotel tempat acara. Beliau ngantri di belakang saya, dan saat saya putar badan beliau menyapa,”Sehat, Mas?”

“Sehat, Pak, semua lancar,” jawab saya. Lalu saya menunggu di luar, untuk kemudian kami jalan beriringan sambil bercakap-cakap ringan kembali ke ruangan.

Di Pekanbaru juga begitu, hanya jalan bareng dari kamar hotel ke aula tempat acara dan sebaliknya. Di Tanjungpinang, meski ikut bantu-bantu panitia, tapi saya hanya sempat bicara soal teknis acara. Agak lama sedikit di lobi sebuah hotel di Palmerah, Jakarta Selatan, dalam sosoknya kian sepuh. Beliau didampingi putrinya, tapi seingat saya beliau masih pegang tas sendiri. Waktu saya bantu bimbing turun dari mobil, ia menolak halus. Saat duduk di sofa lobi, beliau bertanya tentang Yogya, di Yogya mana saya tinggal dan nanya apa masih ada sego gurih seharga 5000-an, saya jawab ada meski kini lebih banyak dalam format “nasi kucing” dengan harga setengahnya. Saya juga bilang suka soto ambengan, namun agak merinding dengan rawon setan yang pernah saya coba di Surabaya, dan obrol-obrol ringan sejenis itulah.

Tentu saja pertemuan singkat tersebut amat berkesan, salah satunya membuktikan omongan orang yang sejak lama saya dengar. Bahwa Pak Budi itu amat santun dan sejuk orangnya, tak seperti tokoh-tokoh prosanya yang dingin dan liar. Dan kerap jadi contoh soal tentang hubungan teks dan pengarang.

Saya ingat dulu sering mempercakapkan ini dengan Bang Tan Lioe Ie dalam sejumlah kesempatan. Bahwa, tokoh-tokoh fiksi ciptaan pengarang boleh senewen dan jungkir balik, tapi pengarangnya kudu adem, pandai bersosial, bisa santai dan normatif, meski sah-sah saja untuk ikut senewen. Tapi dalam konteks Pak Budi karakter beliau tampaknya cocok dengan yang pertama.

“Kurang apa liarnya karakter Orang-Orang Bloomington, beda jauh dengan pengarangnya,” kata Tan. “Dan pengarang Indonesia lain, jika mau bermain-main watak dan latar negeri asing, harus berjuang keras, jika tak mau di bawah bayang-bayang Budi Darma, atau sekalian belajar banyak dari kecanggihannya,” lanjut Tan.

Itu benar, bila sosok dalam pertemuan-pertemuan singkat dengannya itu harus dibandingkan dengan sosok Joshua Karabish, Orez, Yorrick, Charles Lebourne, Ny. Nolan, Ny. Casper, Ny. Elberhart atau keluarga M atau laki-laki tua tanpa nama yang sejak awal meneror kita dengan bermain-main pistol. Jauh tenan. Pak Budi sejuk sekali, dan rapi jali penampilannya.

Akan tetapi bagaimana dengan konsepsi Budi Darma sendiri mengenai soliloqui? Ini juga sering saya diskusikan dengan penyair Tan. Dalam arti sederhana itu adalah obsesi dan secara luas bisa berarti ideologi. Tapi jangan bayangkan ideologi kaffah dan masif. Ideologi tak harus menyangkut yang besar-besar, terkait “isme-isme”, termasuk Ideologi Pancasila yang tanpa “isme” itu, namun bisa ideologi kecil, sub-versi, tak mesti subversif.

Bahkan ideologi bisa terkait kegelisahan personal, meski ingat, harus terus-menerus dipikirkan, konsisten diperjuangkan. Maka meski hanya kegelisahan tentang soal “kecil”, niscaya dapat menyublim. Dalam konteks Pak Budi sendiri, soal itu berupa relasi manusia urban, di mana satu sama lain tak bisa mendikte dan didikte, dan hubungan lazim digerakkan oleh kebutuhan, jika tak butuh amit-amit, mengingatkan saya sedikitnya pada filsafat Gabriel Marcel.

Kegelisahan yang menyublim bahkan mampu menggerakkan ketaksadaran saat menulis, tanpa pengarang sendiri tahu ke mana arah cerita, namun sepanjang itu berlangsung dalam tataran obsesi yang berurat-akar, maka percayalah sidik jari pengarang tak akan pernah hilang, dan semua terkendali. Mungkin itulah yang disebutnya bahwa mengarang adalah rangkaian pernyataan takdir, dan ia jadi pengarang karena takdir.

Sampai di sini saya jadi teringat buku-buku waktu SD yang sangat sederhana dan lugas penyajiannya seperti “Ini Budi,” atau “Ini bapak Budi,” namun begitu lama bersemayam dalam kepala. Seiring waktu, tentu menyebar dalam berbagai varian, versi atau variasi, yang akan muncul begitu saja saat saya berpikir katakanlah tentang dunia pendidikan. Dalam bentuk paling sederhana, demikianlah saya memahami soliloqui Pak Budi Darma.

Menarik juga gagasan Pak Budi tentang lokalitas Orang-Orang Bloomington, dalam makalahnya di Kongres Cerpen IV/2005. Ini menambah khazanah dan wacana lokalitas jadi tak sebatas etnisitas apalagi eksotisme, melainkan entitas semisal kehidupan urban- metropolitan. Makalah tersebut kami muat dalam Jurnal Cerpen edisi khusus Kongres, dan Lan Fang meminta membawakannya buat Pak Budi saat launching di Banjarmasin.

Ceramah Pak Budi dalam Temu Sastra Asia Tenggara di Pekanbaru sangat menarik, di mana ia melihat evolusi minat dan kecerdasan berlangsung dalam sastra, niscaya pembaca dan pencipta karya unggul ada seleksi alam juga. Tapi saya agak lupa persisnya, dan kudu membuka lagi makalah yang masih saya simpan itu, sebagaimana dulu saya selalu mengulang membuka-baca Soliloqui dan Harmonium.

Terakhir, saya paling suka cerpennya Derabat. Katanya Derabat dan Metropik yang sama-sama jahat itu, keduanya menyatu dalam diri Derabat dan sebaliknya; Metropik adalah Derabat dan Derabat adalah Metropik; biarlah iblis bertempur melawan iblis.

Berhadapannya tokoh-tokoh antagonis dengan sesama mereka sendiri untuk saling membunuh dan menundukkan, entah kenapa terasa aktual dan relevan dalam banyak sisi kehidupan kita kini.

Hingga saat ini saya dan istri di rumah punya istilah untuk menyebut suatu peristiwa, keadaan atau pola relasi yang analog dengan itu sebagai “derabat”.

“Mereka, para petualang itu adalah para derabat,” atau,”Ya, kejadiannya derabat amat!” itu sebagai misal. Senang membayangkan kapan-kapan entri ini bisa masuk kamus besar.

Selamat jalan pengarang Budi Darma, lapang jalanmu ke Sorga…

/Lemahdadi, 21 Agustus 2021

NB: buku Orang-Orang Bloomington hadiah dari Bang Idk Raka Kusuma bertahun-tahun lalu.

Leave a Reply

Bahasa ยป