Iwan Simatupang
Majalah Sastra, I/7, 1961
“Tunggu aku di pojok jalan itu,” katanya. “Aku beli rokok dulu ke warung sana.”
Ia pergi. Sejak itu, istrinya tak pernah melihatnya lagi. Sepuluh tahun kemudian, ia kembali ke kota itu. Dilihatnya istrinya masih menunggu di pojok jalan itu.
“Selamat sore,” sapa istrinya.
“Selamat sore,” sahutnya.
Ia mengharap lebih dari hanya selamat sore. Tetapi, istrinya tak lagi berkata apa. Ia cepat berpaling kepada laki-laki lain yang datang menghampirinya. Kepadanya ia juga memasang muka manis, dan menyapa, “Selamat sore.”
Laki-laki itu tak menjawab, tetapi terus saja menjentik pipi istrinya. Mereka bercakap sebentar. Berpegangan tangan, mereka kemudian menyusuri kakilima.
Ia memburu istrinya. Tetapi dilihatnya wajah istrinya sangat terusik.
“Selamat sore!” kata istrinya lagi.
Suaranya sangat saran dengan anjuran keras jangan mengganggu lagi.
Lama ia tegak termangu di bawah lentera pojok jalan itu. Angin malam sangat dingin. Leher bajunya ditegakkannya. Langkah-langkahnya yang lambat berangkat dari tempat itu menjalin perasaannya ke dalam kenangannya. Ia mengerti! Keratasapuan biru di langit malam yang masih muda, menyiramkan kesejukan maaf ke dalam dadanya.
Ia tersenyum, menganggukkan kepalanya. Cepat langkah-langkahnya menuju hotel kecil tempat ia menginap. Bersiul kecil, ia mengambil kunci kamarnya dari kantor pengusaha hotel.
“Agaknya kota kami menyenangkan Tuan?” sapa pengusaha hotel, seorang janda gemuk, lewat lima puluhan.
“Sangat menyenangkan,” sahutnya. “Mungkin saya menetap di sini.”
“Syukur.”
Otaknya cepat menghitung uang bayar makan per bulan yang akan dimintanya dari tamu yang tampaknya selalu riang ini. Di kamar mandi, dia ini senantiasa menyanyikan lagu-lagu yang kebetulan juga kesukaannya. Tetapi ia sangat heran, ketika tamunya itu menolak dipinjami gramofon bersama piringan hitam dari justru lagu-lagu yang dinyanyikannya di kamar mandi itu.
“Saya suka Tuan menyukainya,” katanya kecewa.
“Menyukainya tak harus berarti kita menjadi budaknya.”
Ia berusaha keras jangan melukai hati perempuan itu.
“Tuan sakit?” tanya janda itu sejam kemudian mengetuk pintu kamarnya. Di tangannya sepiring sup panas.
“Tidak,” sahutnya ramah. Hatinya mengutuk perempuan gemuk jelek yang tampaknya ingin mengobral kebaikan hati itu.
“Mengapa Tuan tidak pergi jalan-jalan? Di musim begini, kota kami paling indah.” Ia letakkan sup di atas meja. Dan, sambungnya genit, “Kota kami terkenal wanita-wanita cantiknya.” Ia mengedipkan mata kirinya.
“Mungkin besok. Tetapi malam ini, terang tidak.”
Dengan hormat sekali, ia untuk kedua kalinya malam itu berusaha jangan terlalu melukai perempuan itu. Pelan-pelan ia mengiringnya keluar pintu.
“Selamat sore,” sapanya sekali lagi, petang esoknya.
“Selamat sore.”
Nada suara istrinya seperti kemarin. Lurus, dangkal. Netral, seperti netralnya keindahan barang-barang di balik kaca pajangan.
Ia melihat ke sekeliling. Tak ada laki-laki lain. Ia hampiri istrinya. Istrinya memandanginya. Persis pandangan pedagang jagal sapi pada langganan yang baru masuk kedainya.
Bingung ia dibuat pandangan seperti itu. Danau biru bening yang ditinggalkannya sepuluh tahun lalu pada kedua mata itu, tak ditemuinya. Tiba-tiba satu rasa yang khas menusuk masuk ke dalam dirinya. Rasa, yang menyuruh ia cepat berpaling saja, lari meninggalkan istrinya. Tetapi, niatnya ini dibatalkan segera oleh satu bau di udara. Bau minyak wangi dan pupur harga murah.
Ia terkejut sekali! Berbeda bau ini dari minyak wangi yang dulu acap dibelinya bagi istrinya. Memang, tak sering ia membelinya. Tetapi, sekali ia beli, pastilah itu dari jenis paling bagus, paling mahal. Bau ini dapat memuncakkan segala kasih birahinya kepada istrinya.
Satu rangsang nakal hinggap atas pelupuk matanya. Ia ingin tajam-tajam memandang dalam mata istrinya. Kalau perlu, dengan segala risiko yang dibawa oleh pandangan nakal serupa itu.
Tetapi… di luar dugaannya, istrinya sedikit pun tak menundukkan kepalanya. Dengan usaha untuk di saat terakhir mempertahankan dirinya, ia membalas tatapan mata suaminya itu. Untuk suatu ketika, mereka saling berpandangan, menerobos ke lubuk jiwa masing-masing.
Tetapi, bintang-bintang di langit malam yang berangkat tua, memberi kodrat lain pada pertemuan pandang seperti itu. Apakah arti sepuluh tahun di bumi bagi bintang-bintang di ruang angkasa?
Sebelum keduanya tahu apa-apa, keduanya telah menemui diri mereka dalam pelukan pihak lain. Mata mereka basah. Bibir mereka berkali-kali saling bersentuhan. Sentuhan, yang dengan paksa membuka pintu besi berkarat ke masa lampau.
Tangan mereka saling berpegangan. Keduanya tak tahu mau mengungsikan ke mana bahagia mereka malam ini.
“Ke mana?” tanya istrinya.
Ke mana? Ya, Allah! Sesudah sepuluh tahun, ia masih juga belum dapat menjawab pertanyaan serupa itu. Dirinya adalah justru tanya itu sendiri, bukan jawabnya.
“Entah,” bisiknya. Bisik, antara bisik dan usaha untuk … namun tak menyia-nyiakan malam ini.
“Kau masih seperti dahulu juga,” kelakar istrinya.
Suara itu menyatakan dakwaan yang mengambang dalam kasmaran yang telah memperbarui dirinya kembali.
“Aku masih tetap aku,” jawabnya. Tangan istrinya semakin erat digenggamnya. Keduanya tak adapat memulai percakapan biasa. Dada mereka terlalu sesak. Kata-kata mereka sangkut di kerongkongan, untuk kemudian mereka telan kembali bersama ludah asin.
Mereka sampai di ujung kakilima. Mereka berhenti. Persimpangan jalan yang dihadapi itu sangat membingungkan. Ia selalu dibingungkan oleh sekian arah sekaligus. Pandangnya dilarikannya ke bintang-bintang langit malam. Lama ia menatapnya, sambil mendengarkan pernapasan istrinya yang tegak di sampingnya. Pelan mereka membalik, menyusuri kakilima itu kembali.
“Ya. Tampaknya kau masih tetap kau juga,” kata istrinya.
Ia terkejut. Suatu nada asing ditemuinya pada suara istrinya.
“Mengapa kau terkejut?” tanya istrinya.
“Kau bukan kau lagi.”
“Aku masih saja… menunggu,” sahut istrinya.
Ia berusaha memperdengarkan suara sungguh-sungguh.
“Ya. Kulihat kemarin.”
“Habis, kau suruh aku menunggu….”
Tiba-tiba mereka merasa yang sepuluh tahun itu telah menghadirkan dirinya antara mereka. Kehadiran, yang dipantulkan bintang-bintang di langit, yang berkedip telah jutaan tahun. Gong dalam hati sanubari mereka berbunyi. Gong! Yang menyatakan gugurnya babak bagi mungkinnya mereka bersatu kembali di masa datang.
Suatu benci mengental dalam dirinya. semua pada wanita yang tegak di sampingnya ini dibencinya. Sangat dibencinya! Minyak wanginya, pupurnya, cat bibirnya, cat kukunya, gaunnya dari sutra hijau. Semua dari harga murah, dengan hanya tugas: merangsang birahi jalang pada laki-laki.
Tiba-tiba saja ia memutuskan bagi dirinya, bahwa wanita yang berjalan di sampingnya ini pada hakikatnya adalah sama saja dengan wanita-wanita lainnya yang pernah ditegurnya di kaki-kaki lima. suatu rasa asing merebut dirinya. Napasnya mulai panas, sesak.
“Mari!” bisiknya, padat dengan birahi.
“Ke mana?” tanya istrinya. Pengalamannya selama sepuluh tahun ini cepat dapat menerka makna pegangan tangan dan tarikan napas laki-laki seperti itu.
“Masa kau tak tahu. Ayo!”
Istrinya tersenyum. Sejenak, ia menatapi suaminya baik-baik. Matanya menyatakan penjungkiran suatu harapan yang hampir berhasil dibangunnya. Sinar gaib memancar dari kedua bola matanya. Sinar dari penderitaan selama (dan pembalasan untuk) sepuluh tahun. Senyum bibirnya sejak itu memiliki kepastian.
“Ayo! Mari…,” desaknya lagi.
Berpegangan tangan erat sekali mereka berdua pergi dari pojok jalan itu. Langkah-langkahnya doyong, diseret oleh langkah-langkah pasti istrinya. Tiba-tiba istrinya berhenti.
“Tunggu dulu!” katanya, sambil mengetuk tangan suaminya.
“Ada apa?”
“Tarifku dua ratus sampai tengah malam. Sampai pagi, dobel….”
Seperti kena sambar halilintar di siang bolong, tubuhnya menjadi kejang dan kelu. Mukanya pucat pasi. Ludah basi dan asin sekali dengan kentalnya merekatkan geraham-gerahamnya. Pandangannya pudar, makin pudar. ia melihat segumpal bayang saja lagi.
Tetapi tak lama kiamat kecil ini berlangsung dalam dirinya. Pelan-pelan ia bangkit kembali dari titik nadir kesadarannya dan naik ke titik zenith-nya untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan tentang dirinya di dalam pertautan persoalan antara dia, istrinya, dan seluruh alam raya. Ia mengerti!
Pelan-pelan getar-getar kecil tadi datang kembali, makin lama makin banyak. Napasnya, tubuhnya, kembali membara. Akhirnya, ia dapat memulihkan kembali garis-garis profil wajah istrinya, wajah yang tersenyum menantang, tersenyum menang….
Esok paginya, dengan kereta api pertama yang berangkat subuh, ia meninggalkan kota itu. Ia telah memutuskan untuk mencari kota lain saja tempat ia menetap.
Petangnya, di bawah lentera di pojok sebuah jalan di kota itu, seorang wanita dalam gaun sutra hijau menunggu…, menunggu laki-laki mana saja. Kepada mereka yang datang kepadanya ia selalu berseru, “Selamat sore….”
***
(Disalin dari Tegak Lurus dengan Langit, Lima Belas Cerita Pendek Iwan Simatupang, Penerbit Sinar Harapan, cetakan II, 1985)